Pada masa demam pengobatan rukyah, ada sebuah pesantren yang sebenarnya aman-aman saja. Tidak pernah ada kasus santri kesurupan. Namun, pengurus pesantren itu mendatangkan seorang ustadz yang ahli rukyah untuk merukyah semua santri.
Mungkin syetannya tersinggung, karena tidak pernah mengganggu kok dirukyah. Akibatnya, setelah ustadz rukyah itu pulang. Banyak santri yang malah kesurupan.
Kelakar tentang rukyah yang salah sasaran ini dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum MUI Pusat, Prof Dr H Yunahar Ilyas dalam seminar tentang moderasi Islam yang diadakan oleh Majalah Suara Muhammadiyah di Yogyakarta.
Menurut Buya Yunahar, program deradikalisme yang tengah dijalankan pemerintah saat ini mirip dengan kelakar tentang rukyah di atas. Tanpa ada pemilahan yang jelas mana masyarakat atau pesantren yang menyimpan potensi radikalisme mana yang tidak, semua hendak dideradikalisasi.Akibatnya, pesantren yang tidak punya pemikiran radikal pun malah bisa tertular.
Yunahar juga menjelaskan bahwa MUI pernah meminta data pesantren mana saja yang diindikasikan mempunyai potensi radikal, kalau data itu disampaikan ke MUI maka MUI siap membantu untuk membuat mereka menjadi tidak radikal.
Selain itu, Yunahar juga menyorot ketidakjelasan standar radikalisme yang dikenakan sehingga ada kejadian yang cukup aneh. “Ada ormas yang dimasukkan dalam daftar radikal. Padahal ketua umum ormas itu ikut ketua BNPT dalam program deradikalisme”. Tandas Yunahar.
Salah satu penyebab radikalisme, menurut Yunahar adalah provokasi dari kelompok radikal yang lain. Kelompok radikal yang lain yang dimaksud Yunahar di sini adalah kelompok yang memuja kebebasan tanpa batas. “Orang yang berlindung atas nama kebebasan, HAM, dan demokrasi kemudian mengolok-olok agama, kepercayaan, dan paham yang lain sebenarnya juga radikal” tegas Yunahar.
Selain itu, Yunahar juga menyebut kalau hadirnya rasa keadilan dan pemerataan kemakmuran juga bisa mencegah berkembangnya radikalisme. Pendapat yang senada dengan Yunahar ini juga dikemukakan oleh Prof Franz Magnis Suseno di forum yang sama.
Di seminar yang merupakan rangkaian kegiatan milad ke-101 Suara Muhammadiyah itu, Franz Magnis mengatakan, “Selama rakyat kecil mempunyai harapan untuk masa depan dirinya dan anak-anaknya, radikalisme tidak akan menjadi ancaman yang sangat berbahaya di Indonesia”.
Franz Magnis juga menyebut bahwa Indonesia lebih beruntung daripada Mesir. Ketika terjadi reformasi 1998 Indonesia bisa segera keluar dari situasi krisis. Amien Rais yang saat itu jadi Ketua MPR RI bisa dengan cepat mampu mensolidkan kekuatan politik yang ada sehingga bisa menyelesaikan perubahan konstitusi yang bisa disepakti semua pihak.
Hal yang terjadi di Indonesia ini tidak terjadi di Mesir, Moursi dan IM gagal membuat kompromi yang akhirnya memancing rezim militer untuk kembali berkuasa. Pertikaian sesama kelompok radikal di Mesir itu tampaknya perlu dijadikan ibrah bagi semua kalangan di Indonesia untuk bisa saling menenggang. [k’ies]