• Tentang SM
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Media Siber
  • Term & Condition
  • Privacy Policy
  • Hubungi Kami
Kamis, April 22, 2021
Suara Muhammadiyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
No Result
View All Result
suaramuhammadiyah
No Result
View All Result
Home Hadlarah Akidah Akhlak

Percaya Diri Karena Allah

Suara Muhammadiyah by Suara Muhammadiyah
22 Januari, 2020
in Akidah Akhlak
Reading Time: 2 mins read
A A
0
spiritual

Jadikan Kita Seperti Al-Qur’an Berjalan JEWEL SAMAD/AFP/GettyImages

Share

Oleh; Bahrus Surur-Iyunk

1

Baca Juga

Bukhara, Kotanya Imam Bukhari dan Ibnu Sina

Haedar Nashir: Junjung Tinggi Hukum, Tegakkan Good Governance

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamu­lah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs Ali Imran [3]:139)

Ayat ini turun setelah umat Islam mengalami kekalahan dari kaum kafir Quraisy pada perang Uhud. Kaum muslimin saat itu merasa terpukul. Di antara mereka ada yang merasa bersalah, rendah diri, bersedih dan kemudian tidak percaya diri untuk bisa menjadi pemenang kembali di pertempuran berikutnya. Allah kemudian menghibur dan memberi semangat kepada umat Islam dengan menurunkan ayat ini. Kata Allah pada ayat berikutnya, “Jika kamu mendapat luka, mereka juga luka. Dan jika mereka menang, pada perang Badar kamu pun sebagai pemenang. Dan itulah cara Allah menunjukkan kepada umat Islam dan manusia bahwa kemenangan dan kekalahan itu akan dipergilirkan di antara manusia.”
Itulah ketidakpercayaan diri gaya masa lalu sejarah Islam. Dalam konteks kekinian, fenome­na ketidakpercayaan diri umat Islam itu sesungguhnya mulai tampak –meski kadang tidak disadari. Tandanya, sebagai seorang mukmin sea­kan sudah tidak lagi percaya diri de­ngan keimanan dan sudah tidak lagi peduli dan cenderung meninggalkan ibadahnya. Bahkan, tidak pernah malu saat mengambil prosesi ritual yang dilaksanakan umat agama lain. Umat Islam juga cenderung meniru perilaku dan ritual orang-orang non-muslim yang dibungkus dengan statemen budaya, modernitas, “biar gaul” atau mengikuti perkembangan zaman.
Ketidakpercayaan diri itu muncul misalnya saat Hari Natal. Atas dasar toleransi dan menghargai teman, tidak sedikit umat Islam ikut-ikutan Natalan atau setidaknya memberi uca­p­an selamat Natal. Di tahun baru Masehi umat Islam ikut meniup terompet layaknya orang Yahudi; menyalakan kembang api layaknya orang Majusi saat hendak beribadah; ikut menabuh genderang dan bunyikan lonceng layaknya orang Nasrani hendak melakukan kebaktian. Bukan hanya itu, pada Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha dan peringatan Maulid Nabi ju­ga dianggap tidak ramai jika tidak ada perayaan kembang api.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketidakpercayaan diri itu sering muncul karena dorongan hal-hal yang bersifat duniawi. Tidak menjadi “orang” kalau tidak punya mobil. Malu karena tidak sama deng­an yang dimiliki tetangganya. Merasa minder karena tidak punya jabatan yang bi­sa dibanggakan. Dan, anak-anak kita pun tidak pernah percaya diri di hadapan teman-temannya jika tidak bersepeda motor bagus dan ber-handphone mahal. Mena­rik­nya, para muslimah banyak yang tidak percaya diri ke undangan resepsi pernikahan jika tidak berhijab –meskipun jika keluar rumah masih sering lupa dengan hijabnya itu.
Dalam konteks yang demikian, kita bisa bandingkan keadaan kita ini dengan kondisi pada masa Jahiliyah. Dulu, orang-orang kafir Quraisy merasa percaya diri karena memegang jabatan tertentu, seperti pemegang kunci Ka’bah, penjaga air Zamzam, penjaga patung-pa­tung di Ka’bah. Mereka menjadi percaya diri karena silsilah keturunan dengan beragam suku­nya. Mereka juga percaya diri karena kekayaan yang dimiliki.
Tetapi, setelah Rasulullah menyampaikan risalah tauhid, semua berbalik 180 dera­jat. Kemuliaan dan derajat seseorang sudah tidak lagi didasarkan pada kekayaan, keturunan dan jabatannya. Tetapi, kemuliaan, ketinggian dan derajat seseorang lebih ditentukan oleh ke­imanan dan ketakwaannya. Para sahabat yang digembleng oleh Rasulullah merasa yakin de­ng­an keimanan mereka. Mereka percaya diri dengan jaminan Allah di dunia dan akhirat. Saat perintah hijrah turun, mereka tinggalkan harta benda yang dimiliki untuk membangun peradaban baru di Madinah atas dasar iman. Di kemudian hari, generasi awal Islam bisa mengalahkan orang kafir Quraisy, Persia, Romawi, merebut kembali Palestina, menaklukkan Semenanjung Spanyol (Andalusia), bukan karena kaum muslimin saat itu banyak jumlahnya. Namun, lebih karena kepercayaan diri bahwa seorang mukmin itu lebih mulia. Semoga kita bisa meneladaninya. Amin.•

Tags: bina akidahmuhammadiyahPercaya Diri
Suara Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Related Posts

Bukhara
Dunia Islam

Bukhara, Kotanya Imam Bukhari dan Ibnu Sina

21 April, 2021
hukum
Berita

Haedar Nashir: Junjung Tinggi Hukum, Tegakkan Good Governance

21 April, 2021
zuhud
Akidah Akhlak

Meluruskan Makna Zuhud

21 April, 2021
Next Post
PTM Harus Miliki Pusat Pengkajian Ayat-Ayat Kauniyah

PTM Harus Miliki Pusat Pengkajian Ayat-Ayat Kauniyah

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Kotak Pos
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media

© SM 2021

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora

© SM 2021

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In