Kekuatan Muhammadiyah terletak pada prinsip kebersamaan atau kolektivitas. Secara struktural spirit kebersamaan itu dikatrol dengan sistem organisasi dan kepemimpinan kolektif-kolegial yang mapan. Secara kultural dibangun di atas kekuatan jamaah yang menjadi basis massa gerakan. Secara teologis asas kolektif keorganisaian tersebut memiliki pijakan pada Al-Quran Surat Ali Imran 104. Ayat yang menjadi inspirasi lahirnya Muhammadiyah itu meniscayakan adanya “segolongan umat” yang dihimpun dalam organisasi sebagai pelaku dakwah kolektif. Siapapun yang bersetuju dengan prinsip dan misi Muhammadiyah itu maka menjadi anggota Persyarikatan.
Kekuatan kolektif Muhammadiyah itu terbukti handal dan mampu bertahan sejak gerakan Islam ini berdiri hingga saat ini. Setiap pelaku gerakan apakah itu anggota biasa lebih-lebih kader dan pimpinan di seluruh struktur organisasi benar-benar menghayati prinsip kolektivitas tersebut. Bahwa setiap orang dalam Muhammadiyah memiliki peran kolektif untuk berkhidmat memajukan gerakan dari Pusat hingga Ranting dan jamaah. Artinya kekuatan Muhammadiyah berada pada gerakan kolektifnya, bukan pada penonjolan individu. Individu itu menyatu dalam sistem dan bukan di atasnya. Dengan kekuatan kolektifnya, setiap anggota Persyarikatan disatukan dalam organisasi untuk mencapai tujuan.
Muhammadiyah menjadi besar karena disangga oleh anggota, kader, dan pimpinan yang masing-masing memiliki kemampuan saling melengkapi dalam sistem kolektivitas yang kokoh. Semangat bersinergi dan bekerja sama dalam kolekivitas menjadi utama. Secara kelembagaan kekuatan Pimpinan Pusat bersinergi dengan Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang, dan Ranting. Termasuk di dalamnya organisasi otonom, majelis, lembaga, amal usaha, dan institusi lainnya. Semua dijalin dalam ikatan ideologis yang kuat sebagaimana tekandung dalam Muqaddimah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup, Kepribadian, Khittah, Pedoman Hidup Islami, dan nilai-nilai dasar Islami lainnya.
Sejarah menunjukkan fakta. Sejumlah organisasi Islam yang dulu besar karena ketokohan pendirinya tetapi tidak ditransformasikan menjadi sistem kolektif dan organisasi yang kuat akhirnya mengalami kemunduran. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa kekuatan sistem organisasi dan kolektivitas yang kuat jauh melampaui tokoh atau figur, sehingga pergerakan Islam itu mampu berkembang. Kini dalam konteks organisasi-organisasi modern dikedepankan penguatan sistem dalam manajemen yang unggul sehingga maju dan kompetitif. Hal yang diperlukan ialah mobilisasi seluruh anggota sehingga mau dan mampu memberikan komitmen dan pengkhidmatan optimal bagi kemajuan organisasi dalam menjalankan usaha mencapai tujuannya.
Bermuhammadiyah itu seperti megikuti filosofi rumpun bambu. Begitulah pendapat almarhum Prof Dr Mukti Ali dan HS Projokusumo. Bambu serumpun masing-masing berbeda tetapi terikat dalam kesatuan kolektif. Prof. H. M. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 dalam sejumlah kesempatan menyatakan, bahwa Muhammadiyah saat ini berhasil membangun kebersamaan sebagai suatu kekuatan organisasi. Hadis Nabi bahkan menisbahkan kebersamaan sesama muslim ibarat tubuh manusia, yang satu saling menyangga lainnya. Maka, sungguh penting memperkokoh sistem kolektivitas dalam organisasi dan kepemimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan dan institusi gerakan. Prinsip dan etos kolektivitas ini harus tetap tegak dan jangan sampai tergerus oleh penonjolan individu sebagaimana budaya dan kontestasi demokrasi liberal yang kini mewabah di negeri ini! (hns)
Tulisan ini menjadi Tajuk Majalah Suara Muhammadiyah Edisi Nomor 6 tahun 2015