• Tentang SM
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Media Siber
  • Term & Condition
  • Privacy Policy
  • Hubungi Kami
Jumat, April 23, 2021
Suara Muhammadiyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
No Result
View All Result
suaramuhammadiyah
No Result
View All Result
Home Editorial Sajian Utama

Muhammadiyah dan Budaya Ramadhan

Suara Muhammadiyah by Suara Muhammadiyah
11 Desember, 2019
in Sajian Utama
Reading Time: 2 mins read
A A
0
Muhammadiyah dan Budaya Ramadhan
Share

Konsep Ramadhan sebagai bulan penuh rahmat merupakan konsep yang sudah diterima oleh ummat Islam di seluruh dunia. Rahmat Allah yang tercurah pada saat bulan Ramadhan tidak hanya dinikmati oleh umat Islam, tapi seluruh alam ikut menikmati berkah kesucian bulan ini.

Ribuan tradisi dan festival keagamaan pada bulan Ramadhan terbentuk dan tersaji dengan beraneka wujud mengikuti adat kebiasaan masyarakat setempat. Untuk masyarakat Jawa misalnya, satu bulan sebelum kedatangan Ramadhan, ada tradisi bakti leluhur, bulan Syakban diberi nama bulan ruwah. Bulan para arwah. Aneka tradisi dan ritual “keagamaan semu” tersaji di sini dengan berbagai festival yang sudah sangat sulit dirujuk asal-usulnya. Tata cara adat berbagai agama melebur berwadah Islam.

Baca Juga

Soft Launching Logmart Purwomartani, Outlet Yang Dikelola Langsung Anak Muda

Suara Muhammadiyah Apresiai 50 Sekolah Mitra Pelanggan LKS

Sedangkan sehari sebelum Ramadhan tiba, ada juga tradisi mandi bersama dengan aneka sebutan yang berbeda. Filosofi dari tradisi sebenarnya cukup mulia. Menyucikan raga dan mempersiapkan jiwa memasuki bulan riyadhah dan tarbiyah. Pada bulan Ramadhan juga masih ada tradisi adat yang beragam. Mulai tradisi megengan, maleman, selikuran, maupun pitulikuran. Sekali lagi, di sini tatacara adat menyatu dalam tradisi yang dianggap berjiwa Islam.

Ini semua menandakan masyarakat nusantara memang sangat menyukai “perayaan penyucian jiwa” yang bersifat individual. Semua perayaan yang digelar ditujukan agar para pelaku memperoleh berkah dan keberuntungan.

Semua tradisi itu telah berjalan ratusan tahun dan diwariskan ke beberapa generasi. Namun, sebenarnya pewarisan yang ada hanyalah pewarisan tradisi tanpa dibarengi pewarisan nilai. Aneka simbol penuh sandi yang disajikan hanya terhenti sebagai simbol tanpa makna. Isyarat petunjuk yang ada justeru dianggap sebagai kelengkapan ritual penyembahan Tuhan. Pada titik inilah sesungguhnya benih “penyimpangan” mulai bersemi.

Dalam kondisi seperti ini, Muhammadiyah datang menawarkan tradisi baru. Mengubah tradisi Ramadhan yang semula didominasi ritual pribadi menjadi ritual komunal. Menjelaskan jiwa agama yang semula tersamar menjadi kian benderang. Dalam istilah Kuntowijoyo, Muhammadiyah telah membadarkan semua misteri yang tersembunyi sehingga dapat dinilai bahkan diuji secara terbuka.

Bagi mayoritas orang Nusantara, puasa dianggap sebagai ritual penyiksaan diri. Jadi siapapun yang lebih menderita saat puasa maka dia lebih utama. Oleh karena itu, setengah abad yang lalu tradisi Muhammadiyah mengakhirkan sahur dan mensegerakan berbuka itu banyak ditertawakan orang.

Saat itu orang Muhammadiyah dianggap sebagai para priyayi yang kurang kuat berprihatin, sehingga baru bisa puasa syariat. Puasa minimalis. Namun, lambat laun semua umat Islam akhirnya sadar bahwa puasa “minimalis” itu adalah puasa yang sesuai tuntunan Kanjeng Nabi Muhammad.

Muhammadiyah juga memulai tradisi bagaimana cara “menghidupkan” dan memproduktifkan bulan Ramadhan yaitu dengan membentuk kepanitiaan kegiatan Ramadhan di setiap masjid Muhammadiyah. Sehingga setiap hari di bulan suci itu tidak ada yang terlewat dari kegiatan yang bermanfaat.

Saat ini, semua tradisi produktif yang dirintis oleh Muhammadiyah itu telah diterima sebagai tradisi seluruh umat Islam Indonesia, termasuk oleh mereka yang dahulu pernah menentang.

Namun dari sini pula timbul tantangan baru, yaitu membekaskan ritual selama bulan Ramadhan menjadi akhlak keseharian dalam sebelas bulan yang lain. Sehingga umat Islam tetap menjadi produktif meski Ramadhan telah berlalu. (isma)

Tags: muhammadiyahramadhan
Suara Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Related Posts

Soft Launching Logmart Purwomartani, Outlet Yang Dikelola Langsung Anak Muda
Berita

Soft Launching Logmart Purwomartani, Outlet Yang Dikelola Langsung Anak Muda

23 April, 2021
Suara Muhammadiyah
Berita

Suara Muhammadiyah Apresiai 50 Sekolah Mitra Pelanggan LKS

23 April, 2021
syirik
Beranda

Jangan Dekati Syirik

23 April, 2021
Next Post
Lazismu dan AMM Banjar Gelar Program BBM

Lazismu dan AMM Banjar Gelar Program BBM

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Kotak Pos
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media

© SM 2021

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora

© SM 2021

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In