Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Lantaran suka berdiskusi dengan teman-teman di kantor, saya pernah sesekali mendengar ada doa-doa tertentu yang tidak lazim saya dengar (walau saya sendiri tidak terlalu menguasai berbagai macam doa dalam Islam). Singkat cerita, beberapa teman pernah menyebutkan doa Nadi Ali Kabir jika ingin keinginan kita cepat diijabahi. Pertanyaan saya bagaimana keshahihan doa-doa tersebut, apakah sesuai syari’at Islam, sedangkan informasi yang saya dapat di internet belum ada yang bisa memberikan penjelasan yang meyakinkan. Tujuan saya bertanya adalah supaya tidak tersesat dalam ibadah.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Indra Tripe (disidangkan pada Jum’at, 16 Rabiulawal 1438 H / 16 Desember 2016 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Terima kasih kami sampaikan kepada saudara atas kepercayaan kepada kami untuk menjawab pertanyaan saudara.
Memang didapati klaim (yang ternyata tidak terbukti) bahwa doa yang saudara sebut sebagai doa Nadi Ali Kabir itu adalah doa yang bersumber dari Nabi saw dan diucapkan oleh beliau di Perang Uhud. Dalam perang Uhud, ketika pasukan Nabi saw mengalami kekalahan dan Nabi saw sendiri mengalami luka-luka, Nabi saw, demikian klaim tersebut menegaskan, mendengar suara (dari Malaikat Jibril) yang memerintahkan beliau supaya menyeru Ali yang akan membantu beliau seperti dalam matan doa itu. Kata-kata Nadi Ali Kabir itu sendiri berarti “Panggillah Ali yang agung”. [Catatan: (1) Perang Uhud menurut catatan Ibn Ishak (w. 151 H) terjadi pada hari Sabtu 15 Syawal tahun 3 H/ 30 Maret 625 M; (2) Doa Nadi Ali Kabir yang saudara tanyakan itu dalam literatur berbahasa Arab disebut Du‘a Nadi ‘Aliyyan].
Matan doa yang diklaim Malaikat Jibril menyuruh Nabi saw mengucapkannya tersebut ada yang dalam versi panjang dan ada yang versi pendek. Versi panjang doa tersebut adalah:
بسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ نَادِ عَلِيّاً مَظْهَرَ الْعَجَائِبِ تَجِدْهُ عَوْناً لَكَ فِي النَّوَائِبِ لِي إِلَى اللهِ حَاجَتِي وَعَلَيْهِ مُعَوَّلِي كُلَّمَا رَمْيَتُهُ وَرَمَيْتَ مُقْتَضَي كُلِّ هَمٍّ وَغَمٍّ سَيَنْجَلِي بِعَظَمَتِكَ يَا اللهُ وَبِنُبُوَّتِكَ يَا مُحَمَّدُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَبِوَلَايَتِكَ يَا عَلِيُّ يَا عَلِيُّ يَا عَلِيُّ أَدْرِكْنِي بِحَقِّ لُطْفِكَ الْخَفِيِّ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَنَا مِنْ شَرِّ أَعْدَائِكَ بَرِيءٌ بَرِيءٌ بَرِيءٌ اللهُ صَمَدِي بِحَقِّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ يَا أَبَا الْغَيْثِ أَغِثْنِي يَا عَلِيُّ أَدْرِكْنِي يَا قَاهِرَ الْعَدُوِّ وَيَا وَالِيَ الْوَلِيِّ يَا مَظْهَرَ الْعَجَائِبِ يَا مُرْتَضَى عَلِيُّ، يَا قَهَّارُ تَقَهَّرْتَ بِالْقَهْرِ وَالْقَهْرُ فِي قَهْرِ قَهْرِكَ يَا قَهَّارُ يَا ذَا الْبَطْشِ الشَّدِيدِ أَنْتَ الْقَاهِرُ الْجَبَّارُ الْمُهْلِكُ الْمُنْتَقِمُ الْقَوِيُّ وَالَّذِي لَا يُطَاقُ انْتِقَامُهُ وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللهِ إِنَّ اللهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ يَا غِيَاثَ الْمُسْتَغِيثِينَ أَغِثْنِي يَا رَاحِمَ الْمَسَاكِينِ ارْحَمْنِي يَا عَلِيُّ وَأَدْرِكْنِي يَا عَلِيُّ أَدْرِكْنِي يَا عَلِيُّ أَدْرِكْنِي بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Panggillah Ali, yang nampak padanya sifat-sifat yang luar biasa. Kau akan mendapatinya sebagai pembantu di kesusahan-kesusahanmu. Kepada Allah aku berharap untuk hajat-hajatku. Aku meminta pertolongan darimu untuk kesusahan-kesusahanku. Aku menyeru kepadamu agar susah dan sedihku menjadi reda. Demi keagungan-Mu ya Allah. Demi kenabianmu wahai Muhammad. Demi kewalianmu ya Ali, ya Ali ya Ali. Demi kasih dan karuniamu. Allahu Akbar. Aku berlindung dari-Mu akan bahaya musuh-musuh-Mu. Allah yang tak membutuhkan apapun, Engkau-lah yang menjadi pertolonganku. Dan kepada-Mu aku bersandar. Demi iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (kepada-Mu kami menyembah dan dari-Mu kami meminta pertolongan). Wahai Abul Ghaits berilah aku pertolongan. Wahai Abul Hasanain tolong aku. Wahai pedang Allah tolong aku. Wahai pintu Allah tolong aku. Wahai hujjah Allah tolong aku. Wahai wali Allah tolong aku. Demi kasihmu yang tak terlihat. Wahai yang maha kuat dengan kekuatanmu. Kekuatan dan dalam keangkuhanmu. Wahai yang kokoh terhadap musuhmu. Wahai wali-nya wali. Wahai manifestasi keajaiban. Wahai Murtadha Ali. Engkau melemparkan panah dan menghunuskan pedang Allah terhadap orang yang berbuat aniaya padaku. Kuserahkan perkaraku kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui keadaan hambanya dan tuhan kalian adalah Tuhan yang Satu. Tiada tuhan selain-Nya, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tolong aku. Wahai pertolongan orang-orang yang mencari pertolongan wahai petunjuk orang-orang yang kebingungan wahai pelindung orang-orang yang ketakutan. Wahai penolong orang-orang yang bertawakal wahai pengasih orang-orang miskin, wahai Tuhan semesta alam. Dengan rahmat-Mu. Sampaikanlah shalawat-Mu kepada junjungan kami Muhammad dan keluarganya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”
Pelacakan terhadap berbagai sumber dari ucapan ini menunjukkan bahwa ucapan yang diklaim sebagai doa ini tidak terdapat dalam semua sumber hadis, sirah Nabi saw, tarikh, fikih dan tafsir mana pun. Oleh karena itu ucapan di atas bukan hadis Nabi saw, dan tidak benar pula bahwa beliau pernah mengucapkannya dalam doa di Perang Uhud. Jadi ini adalah hadis palsu. ‘Ali al-Qari (w. 1014/1605), seorang ulama Hanafi ahli hadis, dalam kitabnya al-Asrar al-Marfu‘ah (h. 368) dan al-’Ajaluni (w. 1112/1700), ulama Syafii yang juga ahli hadis, dalam kitabnya Kasyf al-Khafa’ (II: 441) menegaskan, “Termasuk pemalsuan hadis oleh orang-orang Syiah adalah hadis Nadi ‘Aliyyan”.
Memang teks ucapan tersebut terdapat dalam sumber-sumber Syiah. Teks yang dikutip di atas diambil dari kitab Miftah al-Jinan yang dicetak bersama kitab Zadul-Ma‘ad (h. 429-430; bukan Zadul-Ma‘ad karya Ibnul-Qayyim) yang ditulis oleh ulama Syiah Muḥammad Baqir Ibn Muḥammad Taqi al-Majlisi (w. 1111/1690). Dalam kitabnya yang lain, yang berjudul Bihar al-Anwar (XX: 242), ketika menguraikan kisah Perang Uhud, al-Majlisi mengutip lagi Doa Nadi Aliyyan ini, tetapi dalam versi pendek sebagai berikut,
نَادِ عَلِيّاً مَظْهَرَ الْعَجَائِبِ تَجِدْهُ عَوْناً لَكَ فِي النَّوَائِبِ
كُلِّ هَمٍّ وَغَمٍّ سَيَنْجَلِي بِوَلَايَتِكَ يَا عَلِيُّ يَا عَلِيُّ يَا عَلِيُّ
“Panggillah ‘Ali yang menampakkan keajaiban-keajaiban, niscaya engkau mendapatinya sebagai pemberi bantuan bagimu dalam kesusahan-kesusahan. Setiap kegundahan dan kegalauan akan berlalu, karena walayah (kewalian)-mu O Ali, O Ali, O Ali.
Dalam kitab ini al-Majlisi mengatakan bahwa pensyarah (komentator) ad-Diwan (Antologi Puisi) yang diriwayatkan dari Ali mengatakan, “Dikatakan bahwa pada hari itu (hari Perang Uhud) Nabi saw dipanggil [oleh suara Jibril], Panggillah Ali …” dan seterusnya seperti dikutip dalam versi pendek di atas. Kitab Syiah yang lain yang mengutip doa ini adalah Mustadrak Safinat al-Bihar karya ‘Ali an-Namazi asy-Syahrudi (w. 1405 H). Pada jilid V, halaman 452, ia menegaskan, “Pada hari Perang Uhud Nabi saw dipanggil oleh suara yang berbunyi “Panggillah ‘Ali … dst”. Sementara itu kitab Syajarah Tuba (h. 266) yang ditulis oleh Muhammad Mahdi al-Ha’iri mengutip kitab Bihar al-Anwar dengan mengatakan, “Dalam kitab Bihar al-Anwar, diriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa ia berkata: Nabi saw pada hari itu [hari Perang Uhdud] dipanggil oleh suara yang mengatakan. “Panggillah ‘Ali yang menampakkan keajaiban-keajaiban … … …” dan seterusnya seperti dikutip terdahulu dalam versi pendek. Di sini al-Ha’iri menyebutkan bahwa “hadis” Nadi Aliyyan ini bersumber kepada Sahabat Ibn Mas‘ud sebagaimana dikutip dari Bihar al-Anwar. Pada hal sesungguhnya Bihar al-Anwar tidak menyebutkan bahwa hadis itu berasal dari Ibn Mas‘ud. Ini adalah suatu kesalahan kutip. Cukup banyak lagi sumber-sumber Syiah yang mengutip “hadis” palsu ini.
Perlu dicatat bahwa Doa Nadi Aliyyan ini tidak terdapat dalam sumber-sumber klasik Syiah seperti al-Kafi karya al-Kulaini (w. 329/941) yang merupakan kitab hadis utama Syiah dan merupakan “Sahih al-Bukhari”-nya Syiah, kitab Man La Yahduruhu al-Faqih karya Ibn Babawaih (w. 381/992), Da’aim al-Islam karya al-Qadi an-Nu’man (w. 363/974), dan karya-karya klasik lainnya. Doa Nadi Aliyyan ini baru muncul pertama kali dalam karya Syiah abad 9/10 H (15/16 M), yaitu dalam kitab al-Misbah karya al-Kaf’ami (w. 905/1499). Tetapi ia tidak menyatakannya sebagai hadis dan doa yang diucapkan Nabi saw di Perang Uhud. Ia mengatakannya sebagai doa yang dibaca untuk mendapatkan kembali barang atau hewan yang hilang. Ia mengatakan, “Dan di antara doa (zikir) yang bisa dibaca untuk mengembalikan barang atau binatang yang hilang adalah dua bait berikut” [h. 207]. Maksudnya dua bait Doa Nadi Aliyyan versi pendek di atas.
Intinya dari segi historis, Doa Nadi Ali ini sama sekali bukan hadis dan tidak benar pula secara historis bahwa Nabi saw pernah mengucapkannya di Perang Uhud. Ucapan ini hanya puisi yang direka secara tidak benar bahwa Nabi saw di Perang Uhud berdoa dengan syafaat Ali.
Dari segi isinya, makna doa tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang mengindikasikan adanya unsur Syiah:
- Adanya kultus individu yang luar biasa terhadap Ali, yaitu pada kalimat:
یا اَبَا الَحَسَنَین اَدْرِکْنِی
- Adanya tawashul pada Ali
- Adanya kepercayaan yang berlebihan terhadap manfaat doa tersebut. Bagi golongan Syiah, mereka mempunyai banyak kepercayaan mengenai doa ini, di antaranya adalah untuk memenuhi hajat, agar terjauh dari musuh-musuh, mengobati penyakit, dan lain sebagainya.
- Adanya unsur kesyirikan, sebagaimana pada kalimat:
یَاحُجَّةَ اللهِ اَدْرِکْنِی یا وَلِیَّ اللهِ اَدْرِکْنِی
Padahal sudah jelas bahwa syirik termasuk dosa besar, sebagaimana dalam hadis:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا الْإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
“Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abu Bakrah dari bapaknya (diriwayatkan) dia berkata: Saat kami di sisi Rasulullah saw, beliau bersabda: Maukah aku ceritakan kepada kalian dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar? Adalah tiga perkara, yaitu syirik (menyekutukan) Allah, mendurhakai kedua ibu bapak” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Doa bermakna memohon sepenuh hati kepada Allah dengan suatu permohonan, menginginkan kebaikan yang dimiliki-Nya, merendahkan diri kepada-Nya dalam mewujudkan sesuatu yang diharapkan, atau agar terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan. Sehingga berdoa merupakan salah satu bentuk ketundukan dan ikhtiar seorang hamba dalam mewujudkan apa yang diharapkannya. Meyakini bahwa Allah lah satu-satunya Zat yang dapat mengabulkan doa dari seorang hamba. Sebagaimana firman Allah:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ [غافر، 40: 60]
“Dan Tuhanmu berfirman, berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina” [QS. Ghafir [40]: 60].
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ [البقرة، 2: 186]
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka memperoleh kebenaran” [QS. al-Baqarah (2): 186].
Begitu pula dalam QS. al-A’raf (7) ayat 28, 55 dan 56, yang kesemuanya itu menunjukkan agar berdoa ditujukan kepada Allah tanpa adanya perantara. Akan tetapi dalam hal ini terdapat perintah lain dalam al-Quran:
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [المآئدة، 5: 35]
“Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” [QS. al-Maidah (5): 35].
Adapun untuk mendekatkan diri kepada Allah swt yaitu dengan menaati dan mengikuti keridaan-Nya. Dikutip dari kitab at-Tauhid karya Imam Fauzan mengenai tawasul, terdapat tawasul yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, di antara yang diperbolehkan adalah,
- Tawasul kepada Allah dengan Asma’ dan sifat-Nya
- Tawassul kepada Allah dengan iman dan amal saleh yang dilakukan oleh orang yang bertawassul
- Tawassul kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya
- Tawassul kepada Allah dengan menampakkan kelemahan hajad dan kebutuhan kepada Allah
- Tawassul kepada Allah dengan doa orang-orang saleh yang masih hidup
- Tawassul kepada Allah dengan mengakui dosa-dosa.
Tawassul dengan selain rincian di atas tidak diperbolehkan.
Berkenaan dengan cepat lambatnya doa dikabulkan adalah mutlak pada Allah swt. Meskipun demikian, Islam memberikan tuntunan kepada umatnya tentang tatacara berdoa yang dapat dikabulkan oleh Allah swt. Dalam hal ini, Majelis Tarjih dan Tajdid telah menerbitkan buku Tuntunan Dzikir dan Doa yang merupakan Keputusan Muas Tarjih XXV di Jakarta tahun 2000. Dalam buku tersebut diuraikan tentang keutamaan dan manfaat doa, syarat-syarat berdoa, waktu yang makbul untuk berdoa, adab berdoa, orang yang makbul doanya serta cara Allah mengabulkan doa.
Namun, secara ringkas dapat kami uraikan di sini, bahwa waktu yang makbul untuk berdoa antara lain adalah pada hari Jum‘at, pada waktu berpuasa, pada waktu sepertiga malam terakhir, pada waktu antara adzan dan iqamah dan pada waktu sujud. Adapun orang-orang yang makbul doanya antara lain adalah orang yang berpuasa, pemimpin yang adil, orang yang teraniaya, orangtua (ayah dan ibu) serta musafir. Mengenai cara Allah mengabulkan doa hambanya, dapat saja doa tersebut langsung dikabulkan atau beberapa waktu kemudian, dapat pula ditangguhkan atau ditabung di akhirat dan dapat pula dijauhkan dari keburukan yang sebanding dengan doanya. Untuk lebih jelasnya, kami menganjurkan kepada saudara untuk memiliki dan membaca buku tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejauh penelitian kami doa tersebut bukan berasal dari Nabi saw maupun dari para sahabat. Oleh karena itu, dilihat dari segi teks, makna serta kesahihan doa tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa tidak sepatutnya doa Nadi Ali Kabir ini digunakan.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 13 Tahun 2018