• Tentang SM
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Media Siber
  • Term & Condition
  • Privacy Policy
  • Hubungi Kami
Selasa, April 13, 2021
Suara Muhammadiyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
No Result
View All Result
suaramuhammadiyah
No Result
View All Result
Home Humaniora

Sandal Penduduk Syam

Suara Muhammadiyah by Suara Muhammadiyah
19 April, 2020
in Humaniora
Reading Time: 2 mins read
A A
0
Sandal Penduduk Syam

Foto Dok UN

Share

Cerpen Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi

“Cara terbaik mengecewakan penderitaan dan kesedihan adalah menjalaninya dengan penuh kelapangan.”

Baca Juga

Pulsa Misterius

Menyiram Pohon

“Kami di desain oleh Tuhan untuk menghadapi kemungkinan terburuk dan keadaan paling menyedihkan,” ujar salah seorang bocah penjual kue saat ditanya perihal negerinya yang hancur akibat perang yang tak berkesudahan. Pernyataan tersebut terlontar begitu saja dengan penuh kenyakinan. Sorot matanya menantang siapa dan apa saja yang datang dari masa depan. Nyalinya kuat, menyusun dan merangkai jalan untuk ia tapaki menuju kebijaksanaan dan keadilan Tuhan. Seolah kesedihan yang ada pada dirinya telah menguap habis oleh panasnya jutaan mesin perang abad modern.

Bocah penjual kue di salah satu perempatan lampu merah Kota Kilis itu adalah Adnan, bocah asli Suriah yang dilahirkan dari rasa kehilangan, dibesarkan oleh ketidakadilan, dididik oleh kemiskinan dan kelaparan, serta disayangi oleh jiwa kesederhanaan. Ia merupakan bocah yang hidup sebatang kara. Di usia yang masih sangat belia, jiwa dan pikirannya telah jauh berkelana menyelami samudera kehidupan nan ganas dan kejam. Jika di dunia ini terdapat Universitas yang memiliki Fakultas Kegigihan di Tengah Kegetiran, maka ia adalah satu-satunya orang yang pantas menyandang gelar guru besar di fakultas tersebut.

Bagi sebagian orang yang mengenal dirinya dan mengerti kisahnya, Adnan adalah sebuah oase di tengah bumi yang gersang dan tandus. Ia merupakan sumber kebanggaan yang melahirkan optimisme. Di samping oase, Adnan juga seorang petarung sejati untuk kepentingan kemanusian, perdamaian, dan kebahagiaan demi keberlangsungan hidup keluarga miskin yang ditelantarkan kemewahan.  

Sejurus kemudian ia balik bertanya kepada orang dewasa yang menghampiri dirinya karena merasa iba, “Paman, apakah semua orang di dunia ini hidup bahagia?”

Seperti tersambar petir di siang bolong, sang pria muda mencoba menjawab, namun dihantui dengan perasaan ragu dan berkata “Mungkin sebagian orang bahagia dan sebagian yang lain tidak merasakannya.”

Adnan kurang puas dengan jawaban yang diberikan. Ia kembali bertanya dengan pertanyaan yang lebih spesifik, “Darimana paman tahu bahwa seseorang bahagia atau menderita dalam hidupnya?”

Pria muda itu terdiam beberapa saat. Berpikir, mencari jawaban yang tepat. Sesekali membetulkan posisi kaca matanya yang sebetulnya tidak bermasalah, hanya agar terlihat sedikit serius dan berwibawa. Memejamkan mata diiringi dengan tarikan nafas panjang, getaran gelombang merabat dengan cara merangkak sehingga terdengar agak terbata-bata, “Orang yang bahagia adalah mereka yang memiliki segalanya. Sedangkan mereka yang menderita adalah mereka yang tak memiliki apa-apa.”

“Apakah paman, yakin dengan jawaban itu?” tatapan matanya seperti mengintrogasi. Jiwanya membela diri yang seakan tersudutkan oleh waktu dan keadaan. Di akhir perjumpaannya, langit berusaha menampakkan wujud yang sebenarnya, warna merah jingga menghiasi atap semesta. Jalanan mulai sepi seiring dengan meredupnya radiasi elektromagnetik oleh cahaya matahari.

Sore itu, dipandanginya langit yang mengirimkan pesan keteduhan dalam setiap perasaan. Senyumnya merekah. Ditatanya kembali kue jualan yang masih utuh karena tak ada satu pun orang yang membeli.

“Paman, hari ini aku merasa sangat bahagia karena aku dapat kembali menyapa semesta. Berjalan dan berlari kesana kemari menghampiri calon pembeli dengan sepasang sendal yang kumiliki. Terkadang orang kaya lupa bahwa orang miskin mampu bahagia walaupun dengan cara yang sangat sederhana.”

*) Kota Kilis merupakan kota yang ada di Turki dan berbatasan langsung dengan Suriah menjadi tempat yang aman bagi ratusan ribu warga Suriah dan Palestina.  

Tags: Cerpen IslamiDiko Ahmad Riza
Suara Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Related Posts

Pulsa Misterius
Humaniora

Pulsa Misterius

16 Januari, 2021
Menyiram Pohon
Humaniora

Menyiram Pohon

6 Januari, 2021
Kiat Gemar Membaca ala Ustadz Yunahar Ilyas 
Humaniora

Jadi Penulis

27 September, 2020
Next Post
Sunan Kalijaga Mancing di Kali Gajah Uwong

Sunan Kalijaga Mancing di Kali Gajah Uwong

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Kotak Pos
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media

© SM 2021

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora

© SM 2021

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In