• Tentang SM
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Media Siber
  • Term & Condition
  • Privacy Policy
  • Hubungi Kami
Rabu, April 21, 2021
Suara Muhammadiyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
No Result
View All Result
suaramuhammadiyah
No Result
View All Result
Home Wawasan Pediamu

Fikih Kebencanaan Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah by Suara Muhammadiyah
15 Maret, 2021
in Pediamu
Reading Time: 2 mins read
A A
0
Fikih Kebencanaan

Foto Buku Fikih Kebencanaan

Share

Fikih Kebencanaan Muhammadiyah

Dalam suasana rentan, panik, dan tidak berdaya karena suatu bencana, masyarakat sering bertindak tidak masuk akal dan bahkan melakukan kesyirikan. Ada yang merespons dengan kepasrahan, ritual-ritual mistik, hingga dengan pengobatan atau sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Baca Juga

Bukhara, Kotanya Imam Bukhari dan Ibnu Sina

Haedar Nashir: Junjung Tinggi Hukum, Tegakkan Good Governance

Masyarakat kadang memvonis semua bencana terjadi karena manusia melanggar syariat. Bencana dipandang sebagai hukuman kemarahan Tuhan, dan korban bencana dinilai sebagai pelaku maksiat. “Dengan cara berpikir demikian, pihak yang paling kasihan adalah korban bencana karena harus mengandung derita ganda. Mereka sudah kehilangan segalanya, mulai dari harta, nyawa sanak famili, bahkan kebahagiaan hidup, sekaligus juga mereka menjadi sasaran kutukan  pihak lain.”

Perubahan cara pandang masyarakat terhadap bencana perlu dilakukan dengan tetap berpijak pada ajaran dan doktrin keagamaan. Oleh karena itu, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyusun Fikih Kebencanaan (2015) guna memahamkan tentang konsep bencana, memaknai bencana, cara pandang pengelolaan bencana, pemenuhan hak korban bencana, dan masalah ibadah dalam situasi bencana. Hasil Munas Tarjih tentang Fikih Kebencanaan tersebut disahkan melalui SK No. 102/KEP/I.0/B/2015 tanggal 29 Syakban1436 H/16 Juni 2015 M.

Fikih Kebencanaan tidak dalam pengertian fikih tentang hukum kongkret (al-ahkam al-far’iyah) semata, namun juga mencakup seperangkat ketentuan Islam tentang nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah) dan prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah). Ijtihad kolektif Majelis Tarjih selama ini dilakukan dalam kerangka menggali tiga ketentuan tersebut.

Pemahaman yang tepat tentang bencana akan melahirkan sikap arif dan bijak, berpijak pada hukum sains, menjalani proses pencegahan dan mitigasi bencana. Bencana merupakan hal yang niscaya, tinggal mengubah cara kita mensikapinya. Merespons bencana apapun, manusia harus mampu bangkit, memelihara harapan, dan melanjutkan hidup. Masyarakat yang tidak terkena bencana punya kewajiban membantu pemenuhan hak korban bencana dan memulihkan keadaan secara bermartabat.

Fikih Kebencanaan memahami bahwa bencana merupakan wujud kasih sayang Allah kepada manusia. Bencana merupakan ujian dan cobaan keimanan. Orang beriman akan memahami bahwa apapun yang menimpa mereka adalah “kebaikan” dari Allah yang Rahman dan Rahim. Bencana merupakan ketetapan dan ketentuan (takdir) dari Allah.

Ada bencana yang terjadi karena perubahan siklus alam yang tidak ada kaitannya dengan manusia seperti gempa; dan ada bencana yang terkait dengan perilaku manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahan, semisal eksploitasi alam. Bencana bisa terjadi karena “dosa sosiologis” manusia yang salah perhitungan terhadap alam, seperti membangun pemukiman di lereng gunung sehingga terjadi longsor dan banjir.

Tim Perumus Fikih Kebencanaan menemukan beberapa istilah dalam Al-Qur’an yang memiliki padanan serupa dengan bencana: musibah, bala’, fitnah, ‘azab, fasad, halak, tadmir, tamziq, ‘iqab, dan nazilah. Masing-masing kata tersebut memiliki penekanan makna dan konteks berbeda. Pemahaman masing-masing istilah ini akan meluaskan cara pandang dalam memaknai bencana secara positif.

Fikih Kebencanaan memuat fikih ibadah dalam suasana darurat bencana dahsyat, semisal sahnya  salat dalam keadaan najis dan aurat tidak tertutup, atau tentang batasan waktu jamak salat pada saat bencana dipahami sebagai kesukaran (masyaqqah) dan kesempitan (haraj). Fikih Kebencanaan memahami dua prinsip umum: kemudahan (taysir) dan perubahan hukum sesuai dengan perubahan situasi (tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-azminah wa al-amkinah). Islam tidak membebani di luar kemampuan manusia. Di luar itu, terdapat ketentuan maqashid syariah dan fikih prioritas. (muhammad ridha basri)

Sumber: Majalah SM Edisi 16 Tahun 2020, dengan judul asli “Fikih Kebencanaan)

Tags: bencanaFikihFikih KebencanaanmuhammadiyahPediamu
Suara Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Related Posts

Bukhara
Dunia Islam

Bukhara, Kotanya Imam Bukhari dan Ibnu Sina

21 April, 2021
hukum
Berita

Haedar Nashir: Junjung Tinggi Hukum, Tegakkan Good Governance

21 April, 2021
zuhud
Akidah Akhlak

Meluruskan Makna Zuhud

21 April, 2021
Next Post
Wadahi Kreativitas Bidang Penyiaran, UKM Radio Siap Mengudara

Wadahi Kreativitas Bidang Penyiaran, UKM Radio Siap Mengudara

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Kotak Pos
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media

© SM 2021

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora

© SM 2021

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In