Ketika Kekuatan Cinta Bisa Menebar Jihad
Oleh: Alif Sarifudin
Para pembaca setia suara Muhammadiyah Online yang budiman! Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan yang berjudul “Puisi Imam Syafii dalam Cinta Bersemi tak Pernah Pudar: Upaya menghilangkan ketakutan dan kesedihan di zaman akhir.” Puisi Imam Syafii yang begitu dahsyat akan mampu menggerakkan dan menebar jihad apabila kita cermati dengan baik. Jihad yang merupakan puncak dari pengamalan agama berawal dari pencarian tentang sebuah kebenaran.
Banyak di luar sana, kita melihat dan menyaksikan orang yang pandai berbicara, bisa menyusun kata-kata untuk memberi nasihat tetapi bersamaan dengan itu, ia tidak bisa menerima nasihat dan tidak sanggup mengubah diri dari apa yang ia katakan. Beberapa orang bisa membuat wacana yang luar biasa, tetapi kadang-kadang orang tersebut tidak bisa dinasihati. Kadang ada orang yang seperti lilin, ia bisa menyinari lingkungannya tetapi ia tidak sanggup menyinari dirinya. Ia akan hancur dan sia-sia karena tak bisa memberi perubahan pada diri sendiri sedikitpun.
Semestinya kita bersunggguh-sungguh untuk dapat mengubah diri agar tidak seperti lampu listrik. Lampu listrik sifatnya sementara, ia hanya menyinari sementara, terbatas dan sering mengecewakan kala padam, saat lampu sudah usang tidak bisa memberikan fungsinya hingga dibuang menjadi barang rongsokan. Kita tidak ingin seperti kasur, semua orang akan menyukai saat kasur itu baru, tetapi saat kasur sudah usang kadang dijemur juga tidak sempat dan dibuang di tempat yang tak terhormat.
Berbeda dengan kekuatan kata-kata yang indah dan akan terus menjadi pedoman dari orang-orang yang menyukai sebuah kemajuan dan pencerahan. Puisi Imam Syafii adalah tulisan yang mengandung makna introspeksi diri untuk perubahan dan pencerahan menuju yang lebih baik. Kata-katanya penuh dengan nasihat yang indah dan abadi. Kata-katanya penuh nasihat.
Dalam sebuah hadis riwayat dari Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda,
عن أبي رُقية تميم بن أوس الدَّاري : أن النبيَّ ﷺ قال: الدِّين النَّصيحة، قلنا: لمَن؟ قال: لله، ولكتابه، ولرسوله، ولأئمَّة المسلمين وعامَّتهم
“Dari Tamim ad-Dari, Rasulullah SAW bersabda, “Agama adalah nasihat.” Para sahabat bertanya “Untuk siapa wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan kalangan umum.”
Nasihat untuk Allah maksudnya dengan kekuatannya digunakan untuk beriman kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya serta meninggalkan larangan-Nya. Adapun nasihat bagi Rasululah artinya dengan kekuatannya ia kerahkan untuk beriman kepada Rasulullah dan kepada semua yang dibawa serta mengikuti sunnah beliau. Nasihat untuk para pemimpin kaum Muslim adalah kekuatan yang dimilikinya dikerahkan untuk kebaikan para penguasa, para pemimpin, para pejabat dan selain mereka yang mengurus perkara kaum Muslim.
Nasihat bagi umumnya kaum Muslim merupakan nasihat dengan mencintai sesuatu untuk mereka sebagaimana mencintai untuk diri sendiri, menunjukkan kepada maslahat mereka, mengajarkan masalah agama untuk pencerahan dan perubahan demi kebaikan bersama. Itulah inti dari kekuatan cinta untuk menggerakan makna sebuah jihad.
Nasihat adalah simbol cinta kepada dua pihak. Orang yang menasihati karena mencintai dan orang yang dinasihati selayaknya menerima dengan cinta. Karena itu bagi kita yang ingin menasihati sesama muslim berilah nasihat yang menyejukkan dan penuh hikmah. Orang tua minta nasihat kepada anak kalau dalam mendidik kurang baik. Anak pun meminta nasihat dari orang tua dengan sabar dan sungguh-sungguh. Suami minta masukkan dari istri kalau selama ini kurang berkenan, juga seorang istri minta nasihat suami kalau dalam pengurusan rumah tangga ada yang salah.
Pejabat minta nasihat rakyat. Rakyat menerima dan melaksanakan nasihat pejabat. Janganlah seperti perhiasan, indah dipandang tapi tak pernah bisa berbagi, dipakai dan hanya riya yang didapat. Harta, tahta, dan dunia hanya memberikan kesenangan sementara. Kenikmatan yang membuat kebanyakan kita lalai adalah ketika diberi nikmat sehat dan sempat tetapi tidak digunakan untuk bersyukur. Karena itu , disaat kita mendapat dua nikmat itu salinglah memberi nasihat untuk keberkahan bersama.
Jadilah seperti sinar matahari dan cahaya bulan, dua cahaya itu bisa berguna untuk semua kehidupan sampai bumi ini berhenti berputar. Berbuatlah yang bisa menghibur sesama seperti semilir angin saat banyak yang membutuhkannya, ia membuat orang berbahagia. Nasihatilah aku dengan berkata, “Wahai sahabatku, tolonglah aku karena yang aku takutkan adalah pandai menyampaikan tapi sulit tersampaikan, itulah nasihat bijak kepada sahabatnya.
Para pembaca berikut lanjutan puisi karya Imam Syafii,
Jangan pernah engkau tunduk kepada musuh (kafir) penuh hina,
Sungguh, bahagianya mereka bagimu layaknya petaka.
Jangan pernah mengaharap kasih dari si kikir,
Sungguh dalam nyala api, orang haus takkan menemukan air.
….
وَلا تُرِ لِلأَعادي قَطُّ ذُلّاً
فَإِنَّ شَماتَةَ الأَعدا بَلاءُ
Jangan pernah engkau tunduk kepada musuh (kafir) penuh hina,
Sungguh, bahagianya mereka bagimu layaknya petaka.
Kekuatan cinta untuk membela agama Allah akan terpatri sehingga hati orang yang beriman tak kan pernah tunduk dengan musuh Allah. Kekutan cinta itu dinamakan jihad. Baginya segala gerakan nafasnya adalah ibadah sehingga harta, dunia, dan tahta itu hanya sarana tidak menjadikan tujuan utama. Berbeda dengan orang-orang yang ingkar kepada Allah di muka bumi ini, ia begitu sombongnya terkadang dengan menghalalkan segala cara untuk kepentingan dan kenikmatan dunia semata hingga nafsunya terpenuhi. Orang-orang yang ingkar menjadikan dunia sebagai tuhan dan kadang akan mempengaruhi serta mengajak orang beriman untuk tunduk kepadanya.
Kekuatan cinta bagi orang yang beriman akan tetap tegar sehingga tidak akan pernah tunduk kepada orang-orang kafir yang kelihatannya bagaikan raja dan penguasa dunia tetapi hakikatnya ia adalah hina dina dan durjana. Surganya orang orang- ingkar adalah kenikmatan dunia dan semua menjadi penjara bagi orang beriman, bahagianya orang yang ingkar di dunia adalah petaka bagi orang beriman. Riba, zina, dusta, syirik, adalah aktifitas sehari-hari yang menurut mereka menjadi nikmat tiada tara.
وَلا تَرجُ السَماحَةَ مِن بَخيلٍ
فَما في النارِ لِلظَمآنِ ماءُ
Jangan pernah mengaharap kasih dari si kikir,
Sungguh dalam nyala api, orang haus takkan menemukan air.
Kata-kata itu sarat dengan nasihat yang luar biasa. Agar kita tidak sama dan mengharap atau menyerupai sifat yang dimiliki orang-orang penghamba harta alias kikir. Apabila kita bertemu dengan orang-orang yang tidak mau berbagi karena dunia baginya adalah segala-galanya, maka kita harus berpikir untuk kebaikan diri sendiri. Bahwa harta yang kita miliki sebenarnya adalah cinta sementara.
Sudah menjadi kebutuhan manusia untuk mencari harta sebanyak-banyaknya selama hidup di dunia. Setiap manusia pasti berusaha mencari harta untuk mencukupi diri dan keluarganya. Sehingga karena begitu senangnya kepada harta secara tidak disadari akan mempunyai sifat kikir. Sifat ini juga sudah menjadi darah daging bagi manusia karena merasa memiliki apa yang selama ini diupayakan. Hanya sedikit sekali dari kita yang mampu mengendalikan diri dari sifat kikir menuju ke arah yang lebih dicintai oleh Allah yaitu saling berbagi.
Imam Ibnu Jauzi dalam kitabnya at-Thibbu ar-ruhi mendefinisikan kikir sebagai sifat enggan menunaikan kewajiban. Baik itu bersifat harta benda atau jasa.
Pada praktiknya, sifat kikir banyak ditemui saat seseorang mimiliki kecukupan harta. Di saat inilah manusia diuji untuk saling berbagi. Jika orang tersebut memiliki keimanan yang kuat, sudah tentu dia dengan mudah mengeluarkan hartanya untuk sesama. Namun jika tidak maka sifat kikir dan hobi menumpuk-numpuk harta telah menguasai jiwanya yang hampa.
Orang-orang kikir itu akan menumpuk-numpuk harta sampai dia dimasukkan ke kubur karena cintanya kepada harta. Allah berfirman dalam surat At-Taktsur ayat 1 dan 2,
أَلْهَىٰكُمُ ٱلتَّكَاثُرُ [١٠٢:١]
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
حَتَّىٰ زُرْتُمُ ٱلْمَقَابِرَ [١٠٢:٢]
sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada penyakit (hati) yang lebih berbahaya dari sifat kikir.” Hadis ini dengan jelas menerangkan bahwa penyakit kikir bukanlah penyakit yang biasa. Penyakit kikir adalah penyakit hati yang perlu serius dalam mengobatinya. Imam Syafii mengibaratkan Sungguh dalam nyala api, orang haus takkan menemukan air. Orang kikir itu tak kan pernah merasa cukup dan akan kehausan terus karena hatinya akan panas bagai nyala api.
Setidaknya ada tiga bahaya besar dari penyakit kronis ini. Pertama, kikir senantiasa menjadikan penghamba dunia menjadi orang yang cinta terhadap dunia secara berlebihan dan tak kan pernah merasa cukup sehingga baginya hidup adalah menumpuk-numpuknya.
Kedua, menghilangkan sifat peduli terhadap mereka yang tidak mampu dan membutuhkan. Orang yang kikir itu baginya harta adalah miliknya dan tidak boleh berkurang sedikirpun sehingga tidak mempunyai sifat dermawan. Dia akan merasa rugi dengan berbagi kepada sesama. Baginya harta adalah teman setia yang selalu menemaninya.
Ketiga, sifat kikir menularkan sikap hobi menimbun-nimbun harta.
Untuk itu Imam Ibnu Jauzi memberikan obat penangkal dari sifat kikir. Di antaranya, Kita bersungguh-sunguh untuk senantiasa merenungi bahwa mereka yang tidak mampu juga masih merupakan saudara kita. Karena manusia berasal dari nenek moyang yang sama yaitu Adam Alaihissalam.
Kata-kata yang dimunculkan melalui puisi Imam Syafii dapat menggerakkan kita dalam mengarungi bahtera hidup yang penuh tantangan dengan semangat perjuangan jihad yang bisa mengubah warna pencerahan. Perjuangan kita tidak mudah karena tantangan ke depan lebih dahsyat. Dari pesan yang disampaikan dari puisi di atas ada makna jihad yang kalau kita kaitkan dalam Al Qur’an semakin memberi penguatan cinta.
Sebagaimana iman bisa naik dan turun, semangat jihad pun kadang menguat dan kadang melemah. Semakin kencangnya arus rekayasa musuh dakwah, bagi sebagian kader akan semakin menguatkan militansinya dalam berjuang; tetapi, ada pula yang kemudian ghirahnya mengendor dan memudar.
Di saat-saat seperti ini, taujih Rabbani sangat kita perlukan. Ayat-ayat jihad menjadi penawar, sekaligus penguat semangat. Seperti yang semangat ‘jihad’ yang pernah ditorehkan oleh para syuhada menjadi kembali menyala.
Ayat pertama,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At Taubah : 36)
Dalam ayat ini bisa kita ambil kesimpulan bahwa Allah memerintahkan kita untuk memerangi orang-orang musyrik, sebagaimana mereka telah memerangi orang-orang yang beriman. Ayat ini sebagai awal pemanasan semangat jihad kita sekaligus mengingatkan kita kembali bahwa berjihad –dalam arti luas- adalah tabiat jalan dakwah kita. Al Jihad sabiluna.
Ayat kedua,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa perang adalah hal yang dibenci oleh umat muslim, akan tetapi karena hal tersebut merupakan perintah wajib dari Allah untuk berperang maka wajib pula kita lakukan. Dijelaskan pula bahwa bisa jadi itu (perang) adalah hal yang sangat kita benci tapi itu adalah baik bagi kita dalam pandangan Allah.
Jika kita implikasikan pada realitas kehidupan kita saat ini, bisa jadi saat ini kita tidak berperang mengangkat senjata, akan tetapi perang pemikiran dan politik terus berlangsung setiap saat. Dan musuh-musuh Islam senantiasa mengarahkan amunisinya kepada kita. Tentu kita merasa lebih nyaman berdakwah sekadar amar ma’ruf, masyarakat mempersilakan dengan wajah manis, tanpa memusuhi. Tapi tidak begitu sejarah Nabi. Menjadi sebab dakwahnya mengguncang sendi-sendi ekonomi, politik dan kekuasaan kaum jahiliyah, mereka pun memusuhi dakwah. Perang tak terhindarkan. Dan umat Islam harus siap jihad, meski ia tidak disukai. Tapi yakinlah, dalam ketidaksukaan itu ada banyak kebaikan. Jihad fi sabilillah hanya melahirkan dua hal; menang dengan membawa ghanimah dan kekuasaan atau mati syahid beroleh surga.
Ayat ketiga,
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At Taubah : 41)
Dalam ayat ini dikuatkan kepada kita bahwa keadaan apapun; berat-ringan, mudah-susah, ada dana-atau tidak, jihad harus tetap berlanjut dengan harta dan jiwa kita. Kata-kata ini bukan perintah dari orang tua kita atau perintah dari atasan kita atau perintah dari manusia yang serba kekurangan tapi ini adalah perintah dari Zat Yang Menggenggam jiwa-jiwa kita, lalu apalagi yang kita tunggu.
Akhirnya melalui tulisan ini, penulis berharap dari kita ada pencerahan untuk berjuang dengan segala yang kita miliki. Baik dengan harta, tenaga, atau waktu yang selama ini kita gerakkan. Janganlah menganggap sia-sia apabila kita bergerak dalam dan untuk persyarikatan. Semuanya selama ini yang kita persembahkan untuk persyarikatan asal diniati karena Allah akan bermakna kebaikan dan dinilai tak terkira. Nashrun Minallahi Wa Fathun Qorieb Wa Bashshiril Mu’minin.
Alif Sarifudin, Ketua PDM Kota Tegal