• Tentang SM
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Media Siber
  • Term & Condition
  • Privacy Policy
  • Hubungi Kami
Selasa, Juni 28, 2022
Suara Muhammadiyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Edutorial
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Edutorial
No Result
View All Result
suaramuhammadiyah
No Result
View All Result

Tidak Ada Paksaan dalam Beragama; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 256-257

Suara Muhammadiyah by Suara Muhammadiyah
10 Juni, 2021
in Tafsir
Reading Time: 7 mins read
A A
0
Beragama
Share

Tidak Ada Paksaan dalam Beragama; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 256-257

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦ اللّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ ۗ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ٢٥٧

Baca Juga

Tafsir untuk Pencerahan Peradaban

Beragama Tampak Punggung

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 256.

Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” 257

Ayat di atas terkait dengan kebinekaan dalam agama dan sikap yang harus dilakukan oleh kaum beriman terhadap kebinekaan itu. Ayat ini memberikan ketegasan bagi orang yang beriman tentang mana yang benar dan mana yang batil dalam urusan agama. Sehingga, orang-orang yang beriman tidak perlu lagi memiliki keraguan untuk meneguhkan keimanan mereka kepada Allah swt. Tetapi, lebih jauh dari itu, ayat ini juga mengindikasikan bahwa kehidupan beragama itu sangat dinamis dan dalam faktanya masyarakat bersifat plural. Kondisi ini pula yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Dalam Tafsirnya, Imam al-Thabari (Ibnu Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta`wil Ayi al-Qur`an, jilid IV (Cairo: Maktabah Dar al-Hijr, 2001), hlm. 548.) menguraikan suatu riwayat dari Sa‘id atau ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbas,

نُزِلَتْ فِي رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ مِنْ بَنِيْ سَالِمٍ بنِ عَوْفٍ يُقَالُ لَهُ الْحُصَيْنُ كاَنَ لَهُ اِبْنَانِ نَصْرَانِيَّانِ وَكَانَ هُوَ رَجُلاً مُسْلِمًا فَقَالَ لِلنَّبِيِّ ألاَ أَسْتَكْرِهُهُمَا فَإِنَّهُمَا قَدْ أَبَيَا إِلاَّ النَّصْرَانِيَّةَ فَأَنْزَلَ اللهُ فِيْهِ ذَلِكَ

Ayat ini diturunkan kepada lelaki Anshar Bani Salim bin ‘Awf; ada yang menyebutnya al-Hushayn. Dia mempunyai dua anak lelaki Nasrani, sementara dia sendiri Muslim. Dia lalu bertanya kepada Nabi saw., “Tidak perlukah aku memaksa mereka berdua, karena mereka telah enggan kecuali tetap memeluk Nasrani?” Kemudian, dalam hal ini Allah menurunkan ayat tersebut.

Riwayat mengenai sebab turunnya ayat di atas sangat berpengaruh dalam menentukan apa maksud frase la ikraha fiddin (لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ) yang artinya “tidak ada paksaan dalam beragama”. Lafadz ini merupakan shiyagh al-‘umum yang mengandung konotasi meniadakan semua jenis paksaan dalam beragama, apa pun bentuknya; baik lisan maupun fisik seperti ancaman, intimidasi, penyiksaan, atau teror fisik. Keimanan adalah masalah hidayah dan mengenalkan Islam kepada non-Muslim harus dilakukan dengan cara-cara yang bisa membuat mereka mendapatkan hidayah dari Allah swt.

Karena itu, dakwah tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang memaksa. Sebab, bila seseorang tunduk dan beriman dan berislam karena paksaan, maka besar kemungkinan akan mengakibatkan dampak buruk bagi yang dipaksa, misalnya menjadi bersikap munafik, dan juga berdampak buruk bagi masyarakat Muslim secara lebih luas, yaitu tidak diamalkannya Islam secara sungguh-sungguh.

Di dalam sejarah, Islam memiliki kekuasaan politik yang begitu luas. Penduduk yang berada dalam wilayah kekuasaan politik Islam menganut pelbagai macam agama, baik Yahudi maupun Nasrani. Dalam konteks inilah masalah kata ‘paksaan’ dapat dimaknai ulang. Artinya, makna kata ‘paksaan’ disesuaikan dengan konteksnya, karena kalimat tersebut bermakna umum. Misalnya, sebab turunnya ayat ini telah menegaskan bahwa larangan untuk memaksa orang non-Muslim agar memeluk Islam. Namun itu tidak berarti tidak tunduk dalam sebuah yurisdiksi Islam. Dalam yurisdiksi Islam di masa lalu, seorang non-Muslim tidak boleh dipaksa untuk menganut Islam, tetapi pada saat yang sama mereka diminta untuk membayar jizyah (pajak). Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surah al-Taubah (9): 29 yang berbunyi,

حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.

Kalimat wahum shaghirun (وَهُمْ صَاغِرُونَ) yang artinya “sedangkan mereka dalam keadaan tunduk”, merupakan takhshish (pengkhususan) yang telah mengeluarkan larangan paksaan dalam beragama. Artinya, larangan paksaan tersebut telah dikecualikan dari paksaan terhadap orang ahl adz-dzimmah, baik Ahli Kitab maupun musyrik, agar mereka tunduk dan patuh kepada hukum Islam ketika mereka hidup di bawah naungan Negara Islam. Mereka tetap harus mengikuti hukum yang berlaku dalam kekuasaan politik Islam, namun pada saat yang sama mereka tetap dibiarkan memeluk agama mereka, makan dan minum, berpakaian, serta menikah sesuai dengan ketentuan agama mereka.

Ayat lain yang memberikan takhshish (pengkhususan) terhadap ayat tentang tidak ada paksaan dalam beragama adalah terkait dengan peperangan yang terjadi di kalangan muslim dan kaum kafir. Hal ini muncul ketika orang-orang Baduwi yang boleh jadi belum memeluk Islam tetapi tinggal dalam kekuasaan politik Islam diajak untuk bersama-sama memerangi kaum kafir yang memiliki kekuatan besar. Firman Allah dalam surah al-Fath (48): 16 menjelaskan,

قُلْ لِلْمُخَلَّفِينَ مِنَ الأَعْرَابِ سَتُدْعَوْنَ إِلَى قَوْمٍ أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ تُقَاتِلُونَهُمْ أَوْ يُسْلِمُونَ

Katakanlah kepada orang-orang Baduwi yang tertinggal, “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka memeluk Islam.

Berdasarkan sejarah dan beberapa periwayatan dapat dilihat bahwa ayat larangan paksaan memiliki konteksnya tersendiri. Dahulu, peperangan menjadi tradisi yang dilakukan dalam menyelesaikan sengketa politik dan keagamaan. Pihak yang menang akhirnya menjadi pihak yang diikuti. Peperangan kaum Muslim dan kaum kafir juga seperti itu. Ketika Islam berjaya, maka kaum musyrik yang kalah harus berserah diri, dan memeluk Islam, dan hal yang serupa akan terjadi ketika Muslim kalah.

Ayat tentang tidak ada paksaan dalam beragama di atas sangat relevan bila dikaitkan dengan model dakwah Islam. Sebab Islam tidak melakukan pemaksaan terhadap manusia untuk mengikuti agama, tetapi Islam justru mendorong kaum muslimin untuk mengajak manusia agar berpikir dan merenung, sampai mereka mampu untuk memilih jalannya sendiri atau mendapatkan hidayah. Kaum muslimin bertugas untuk menjelaskan mana yang baik dan buruk, atau mana jalan yang lurus dan jalan yang sesat sebagaimana tersurat dalam penggalan ayat qad tabayyanar rusydu minal ghayyi (قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِ) yang artinya “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”, agar tidak ada suatu alasan lagi bagi seseorang untuk menolak kebenaran yang telah digambarkan dengan jelas.

Umat manusia lainnya tinggal memiliih jalan yang mereka ingin tempuh (Dalam hal ini, Allah memisalkan Islam dengan ar-rusyd dan kekufuran dengan al-ghayy; perumpamaan yang dibuat dengan meminjam kata lain dengan maksud untuk memperjelas impresi orang yang disebut. Secara harfiah, al-ghayy berarti al-dhalal (kesesatan), al-khaybah (kegagalan), atau suluk thariq al-halak (menyusuri jalan kehancuran); sedangkan ar-rusyd adalah kebalikan al-ghayy, yang berarti petunjuk, keberhasilan, dan menyusuri jalan kebaikan).

Terdapat dua isu pokok yang terkandung dalam ayat di atas. Pertama, Islam menghargai kebebasan beragama, dan menghormati pluralitas agama. Pasalnya, pluralitas agama dan budaya adalah sunnatullah. Keberagamaan seseorang ditentukan oleh kesadaran historis dan kesadaran spiritual yang berbeda-beda yang dialami oleh individu masing-masing. Keberagamaan bersifat sukarela dan berdasarkan kesadaran serta pilihan. Adalah hal setiap inidividu untuk memilih agama yang mereka anut, apakah menjadi muslim atau memeluk agama lainnya.

Namun, begitu seseorang sudah menentukan pilihan agamanya, maka konsekuensi untuk memenuhi dan menunaikan kewajiban dari pilihannya itu menjadi tidak terhindarkan. Artinya, bila seseorang sudah mendeklarasikan diri memeluk Islam, maka ia wajib mematuhi dan melaksanakan ajaran Islam sesempurna mungkin. Dalam konteks ini pula konsep ‘tidak ada paksaan dalam agama’ bisa dimaknai.

Kedua, ayat diatas juga mengajarkan tentang perlunya memperkuat komitmen keagamaan bagi kaum mukminin. Kata “telah jelas mana yang lurus dan mana yang sesat” merupakan kata yang menekankan pentingnya bagi kaum mukminin untuk bersikap teguh ajaran agama dan keyakinannya. Bahkan, para ulama merumuskan bahwa salah satu tujuan pokok ajaran agama (maqasid al-syari’ah) adalah memelihara agama (hifdhu al-din). Orang yang telah memeluk Islam dituntut untuk melakukan peningkatan pemahaman mereka terhadap ajaran agamanya serta membentengi diri dari setiap usaha pencemaran kemurniannya (Quraish Shibab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), hlm. 368).

Hal ini juga menunjukkan bahwa meskipun manusia bebas memilih dalam beragama, itu bukan berarti bahwa ketika dia memeluk suatu agama, dia memilih dan membedakan mana yang dia suka dan mana yang dia tidak suka berdasarkan hawa nafsu semata, menerima yang sesuai dan menolak yang tidak diinginkan secara subjektif tanpa didasarkan hujjah yang kuat (Quraish Shibab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 368). Para ulama juga berpendapat bahwa kalau pun kebebasan dalam memilih pelaksanaan ajaran Islam bukanlah dalam hal aqidah atau ushuluddin, melainkan pilihan untuk hal-hal yang bersifat furu’iyyah yang zhanniy. Agama pilihan adalah utuh dan tidak parsial, karena itu penolakan terhadap satu bagian dapat mengakibatkan penolakan terhadap keseluruhan paket tersebut (QS. Al-Baqarah (2): 85).

Kemudian penggalan ayat yang berbunyi faman yakfur bi thaghut wa yu`min billahi (فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ) yang artinya “barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah”, memberi penjelasan bahwa Allah membagi manusia kepada dua bagian. Pertama, manusia yang beriman kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, serta menolak kepada thaghut yaitu segala hal yang meniadakan keimanan kepada Allah dari kesyirikan.

Istilah thagut juga diartikan segela bentuk sesembahan, baik berupa wujud manusia ataupun benda-benda, yang dapat memalingkan manusia dari Allah swt. Bisa juga diartikan sebagai otoritas yang dipatuhi manusia yang bertentangan dengan tauhid. Orang yang beriman kepada Allah dan menjauhi thaghut adalah orang-orang yang berpegang pada tali yang amat kuat yang tidak akan putus sebagaimana bunyi ayat faqadistamsaka bil’urwatil wutsqa lanfishama laha (فَقَدِاسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا),yang artinya “maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus”, dan akan mengantarkan mereka kepada kemuliaan.

Kategori yang kedua adalah orang-orang yang justru bersikap dan berpandangan sebaliknya, yaitu orang-orang yang berpegang pada thaghut, dan tidak beriman kepada-Nya. Mereka mematuhi hukum-hukum duniawi yang didasarkan pada hawa nafsu ketimbang pada hukum-hukum Allah yang sesuai dengan fitrah manusia. Mereka bersifat kufur terhadap Sang Pencipta dan tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan-Nya. Orang-orang inilah yang akan mencapai kebinasaan dan siksa tidak hanya di dunia tetapi di akhirat kelak (Sesungguhnya hanya ada dua pilihan yaitu petunjuk atau kesesatan, karena jika kalau ada yang ketiga maka Allah swt akan menyebutkannya, karena kedudukannya di sini adalah pembatasan, dan yang menunjukan hal tersebut adalah firman Allah:

(فَمَاذَابَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ) Tidak ada setelah kebenaran kecuali kebatilan (Q.S. Yunus: 32), dan firman Allah: (وَإِنَّآأَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ) dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada di dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata (Q.S. al-Saba’:24). Dalam keterangan firman Allah swt yang lain disebutkan demikian,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَـلاَلاَ بَعِيْدًا

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah mengimani apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum pada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (Q.S. al-Nisa’ [4]: 60).

Dalam konteks inilah, kaum mukminin dituntut agar membersihkan keimanan kepada-Nya seraya hanya menjadikan-Nya sebagai satu-satunya Zat yang harus disembah dengan hati yang tulus dan ikhlas sebagaimana firman Allah sebagai berikut,

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus (Q.S. al-Bayyinah [99]: 05)

Mengaitkan keimanan kepada Allah swt dengan kebahagiaan dan kejayaan, dan mengaitkan kepatuhan kepada thaghut dengan kebinasaan bukan merupakan hal yang tanpa alasan. Allah swt lah yang memberikan petunjuk kepada manusia dan membawanya dari kegulitaan hati kepada cahaya yang terang benderang dan menentramkan. Allah yang memberikan hati dan akal fikiran agar manusia bisa memilih dan menentukan mana yang terbaik bagi mereka. Ayat berikut ini menjadi landasan dari argumen di atas.

Kemudian firman Allah dalam penggalan ayat ini yang berbunyi Allahu waliyyulladzina amanu yukhrijuhum minazhulumati ilannur (اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ) yang artinya “Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)”, menjelaskan bahwa Allah menjadi wali yang membimbing manusia. Istilah wali dalam ayat di atas dapat diartikan ‘pemimpin’ atau ‘penolong’ yang mengantarkan manusia dalam ruang yang terang benderang dan jelas, dan terhindar dari kegelapan (al-zhulumat) yang juga menjadi simbol kesesatan. Kata al-zhulumat juga identik dengan kata-kata lain dalam bahasa Arab yang megindikasikan kekufuran atau ketertutupan (al-kufr) syirik (al-syirk), kemunafikan (al-nifaq) serta kemaksiatan (al-‘ishyan).

Bagaimana memahami konsep cahaya (al-nur) dan kegelapan (al-zhulumat) dalam konteks dewasa ini? Prinsipnya tetap sama, yaitu bahwa orang-orang yang berpegang pada prinsip-prisnip dasar tauhid untuk menegakkan kebenaran di perbagai bidang, sosial, ekonomi dan politik adalah orang-orang yang akan mendapatkan kemuliaan. Misalnya dengan prinsip tauhid dan dengan berpegang kepada tali Allah, seseorang berjuang menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Sebaliknya orang-orang yang gelap mata dan jauh dari pirnsip-prinsip tauhid, seperti berikap zalim, tidak adil, tidak menjunjung tinggi kejujuran, maka lambat laun akan jatuh dalam kegelapan. Praktik korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang tamak yang gelap mata dan hatinya, lambat laun membawa mereka ke dalam kegelapan dan kenistaan. Karena itulah, orang-orang yang bertakwa dan berpegang kepada petunjuk-Nya selalu merasa was-was dengan risiko kegelapan hati dan selalu gelisah untuk mencari kebenaran.

Secara gramatikal, ayat di atas menggunakan dua bentuk kata yang berbeda untuk menyebutkan cahaya dan kegelapan. Lafaz yang digunakan untuk ‘cahaya’ menggunakan bentuk tunggal, yaitu al-nur bukan jamak (anwar). Itu artinya, prinsip kebenaran (al-haqq) hanyalah satu yang harus dipegang sebagai petunjuk. Sebaliknya, untuk kata ‘kegelapan’ digunakan kata jamak (zhulumat), bukan dalam bentuk tunggal, zhalam (kegelapan). Pasalnya, kebatilan itu memiliki banyak ragam bentuk, dan banyak pilihan. Oleh karena itu, kegelapan dan kekufuran dapat lebih memudahkan menggiring manusia untuk berpaling dari yang benar.

Orang-orang yang hidup dalam kegelapan tentu karena mereka tidak memiliki cahaya kebenaran, dan oleh karena itulah mereka juga akan ditempatkan dalam kegelapan, yaitu neraka. Itulah hasil dari kepatuhan seseorang kepada thaghut dan memalingkan diri dari kebenaran tali Allah. Mereka akan dijauhkan dari cahaya kebenaran dan akan menyesatkan dan menyengsarakan diri mereka dalam kegelapan, berupa tempat yang akan membuat mereka abadi dalam keadaan tersiksa (neraka).

Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr. Hilman Latief, M.A

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11-13 Tahun 2019

Tags: beragamapaksaanSurat Al BaqarahSurat Al-Baqarah Ayat 256Tafsir at-Tanwir
Suara Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Related Posts

Tafsir untuk Pencerahan Peradaban
Analog

Tafsir untuk Pencerahan Peradaban

19 Februari, 2022
Beragama
Beranda

Beragama Tampak Punggung

15 Februari, 2022
Tafsir At Tanwir
Berita

Tafsir At Tanwir: Sebuah Proyek Peradaban

23 Desember, 2021
Next Post
Tidak Ada Paksaan dalam Beragama; Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 256-257

Penghijauan sebagai Solusi, Kader IMM Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Kotak Pos
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media

© SM 2021

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Edutorial

© SM 2021

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In