• Tentang SM
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Media Siber
  • Term & Condition
  • Privacy Policy
  • Hubungi Kami
Senin, Juni 27, 2022
Suara Muhammadiyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Edutorial
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Edutorial
No Result
View All Result
suaramuhammadiyah
No Result
View All Result

Noblesse Oblige Sang Pemimpin

Suara Muhammadiyah by Suara Muhammadiyah
2 Agustus, 2021
in Ibrah
Reading Time: 2 mins read
A A
0
Abu Bakar

Foto Dok Ilustrasi

Share

Noblesse Oblige Sang Pemimpin

Dalam sejarah peradaban umat manusia secara garis besar selalu muncul dua lapisan: elite dan massa; pemimpin dan pengikut. Stratifikasi ini terjadi dalam berbagai skala dan level. Terkait dengan strata yang pertama banyak nomenklatur yang dipakai bagi orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang, di antaranya: pemimpin, penguasa, raja, presiden, kaisar, dan sebagainya. Tidak semua orang bisa menjadi pemimpin karena sang pemimpin membutuhkan orang-orang yang  dipimpinnya.

Baca Juga

Buku Sejarah Kulliyatul Muballighien Padang Panjang Diluncurkan

Prof Haedar Nashir Resmikan Fasilitas Canggih RS ‘Aisyiyah Pariaman

Dalam relasi antara dua lapisan tersebut tampaknya sang pemimpin yang kerap menempati posisi kontroversi dan menimbulkan polemik dalam dinamika kehidupan manusia. Gelombang protes dan aksi demo pun bisa merebak di mana-mana, baik di dunia maya maupun di alam nyata. Itulah misalnya yang terjadi sekarang ini terhadap Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, yang telah mengambil keputusan politik secara sepihak: Yerusalem menjadi ibukota negara Israel. Kecaman keras dan kritik pedas datang dari berbagai belahan dunia serta berbagai demonstrasi pun merebak di pelbagai penjuru bumi.

Jika pemimpin itu acapkali dipertanyakan dan digugat karena sering memicu kontroversi dan menimbulkan masalah yang kontraproduktif, lalus apa maknanya menjadi pemimpin?

Biasanya seseorang pemimpin menempati status sosial tertentu sebagai kelas elite atau termasuk the ruling class. Ada juga pandangan yang menyebutkan bahwa pemimpin itu bukan masalah kelas sosial atau kelompok khusus dalam suatu masyarakat atau bangsa karena yang penting adalah fungsi dan peran kontributifnya bagai masyarakat luas dan orang banyak.

Dengan kata lain, predikat sebagai pemimpin itu di samping menimbulkan kesan sendiri yang berkelas dan membanggakan, pada dasarnya menyiratkan beban dan tanggung jawab moril yang tidak ringan. Individu yang mempunyai kompetensi lebih dan kemampuan di atas rata-rata ini sepanjang zaman selalu ada menyertai laju sejarah dan arah peradaban umat manusia. Dengan kualitas dan kompetensi di atas rata-rata serta perannya yang menonjol, maka pemimpin memiliki akses dan kewajiban untuk menahkodai biduk sejarah  dan peradaban manusia. Tanpa kesadaran seperti ini maka sang pemimpin bisa terjerembab pada keangkuhan dan kediktatoran, merasa sebagai orang yang paling berkuasa dan penentu segala-galanya.

Boleh jadi untuk menemukan pemimpin yang hebat dan adil seperti yang dicontohkan oleh jungjungan kita Nabi Muhamamd Saw serta empat khalifah yang beroleh petunjuk ibarat mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Teramat sulit untuk menemukan sang pemimpin sebagai pelayan masyarakat luas (khadimul ummah) yang mengabdikan posisi dan status sementaranya itu untuk kebajikan publik dan kemajuan orang banyak.

Dalam konteks inilah terdapat pertautan noblesse oblige bagi sang pemimpin. Dalam leksikon, noblesse oblige berarti nobility obliges, the inferred obligation  of people of high rank or social position to behave nobly or kindly toward others (Webster’s New World Dictionary, 1991: 919).

Sesuai dengan strata dan tugas mulianya, maka sang pemimpin terkena aksioma ini sebagai kewajiban yang intrinsik dalam pengkhidmatannya yang tidak bisa dinegasikan. Sang pemimpin  adalah noble man karena gagasan tindakannya yang sarat pengabdian dan penuh ketulusan, bukan karena keturunan atau statusnya secara genealogis. Itulah noblesse oblige sang pemimpin, keningratan yang memberinya kewajiban. [asep p. bahtiar]

Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2018

Tags: ibrahmuhammadiyahNoblesse Obligepemimpin
Suara Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Related Posts

Buku Sejarah Kulliyatul Muballighien Padang Panjang Diluncurkan
Berita

Buku Sejarah Kulliyatul Muballighien Padang Panjang Diluncurkan

27 Juni, 2022
Prof Haedar Nashir Resmikan Fasilitas Canggih RS ‘Aisyiyah Pariaman
Berita

Prof Haedar Nashir Resmikan Fasilitas Canggih RS ‘Aisyiyah Pariaman

27 Juni, 2022
Mengaktualisasi Nilai Silaturahmi untuk Membangun Keadaban
Berita

Mengaktualisasi Nilai Silaturahmi untuk Membangun Keadaban

27 Juni, 2022
Next Post
Unismuh

Sukses Tahap Pertama, Unismuh Makassar Laksanakan Vaksinasi Tahap Kedua

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Kotak Pos
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media

© SM 2021

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Editorial
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Edutorial

© SM 2021

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In