Berguru Kepada Kiai Zuhri Hasyim
Mulai pukul enam pagi tamu berdatangan. Berasal dari desa-desa sekitar Pleret dan Grojogan. Lelaki dan perempuan. Usia mereka beragam. Ada yang setengah umur, lebih tua dikit, ada yang muda. Ada yang perempuan muda yang suaranya merdu dan wajahnya manis.
Agak siang yang datang orang-orang Kotagede, sudah berumur, mereka mubaligh yang ingin menambah ilmu dan pengetahuan agama yang akan mereka pergunakan untuk bahan mengisi pengajian.
Menjelang tengah hari biasanya datang orang tua berambut putih, mengaji atau lebih tepatnya bertukar kawruh. Yang dibahas adalah yang muskil dan dalam. Saya kapok nguping pembicaraan model ini. Sebab pernah sekali saya nguping, tercetus kata dan kalimat tertentu yang membuat saya gelisah puluhan tahun. Baru setelah saya berumur limapuluh tahun ke atas saya bisa memahami kalimat gawat dan kata keramat itu.
Entah kenapa saya kalau ada waktu libur sering nguping dan memperhatikan pengajian model maraton di rumah Mbah Hasyim ini. Di ruang tamu dengan tiga atau empat stel meja tamu, pesholatan di sudut dengan dinding dipasang gambar dari kalender. Para tamu datang pada jam tertentu. Tempat duduknya selalu sama. Saya bisa mengabsen mereka dengan pura-pura hilir mudik melirik mereka lewat pintu dan jendela. Saya waktu itu hafal suara siapa mengaji apa di depan Kiai Zuhri Hasyim yang duduk di sebuah kursi kayu rendah dengan anyaman rotan rapi. Maka saya tahu ada perempuan muda suaranya merdu itu.
Di sebelah ruang tamu yang setiap hari Ahad, seharian, berubah menjadi ruang belajar ini ada pawon. Dapur model Jawa dengan amben besar untuk duduk santai, di depan keren, anglo, dingklik, tumpukan kayu bakar kayu sonokeling dan tempat arang. Di meja ada gelas bersih, teko dengan tekosi, toples berisi gula pasir, teh cap buaya dan harimau bakul nasi dari anyaman bambu dengan tutup juga dari anyaman bambu. Ada piring besar berisi lauk goreng. Ada kuwali kuwali berisi sayur.
Sehabis pulang sekolah di hari Ahad, sekolah saya libur hari Jum’at, saya ke rumah simbah ini untuk mengaji bahasa Arab, khususnya nahwu shorof kepada Kiai Zuhri Hasyim, pakde saya sendiri. Pakde adalah kakak dari ayah yang di waktu remaja sama-sama belajar di pesantren Wonokromo Pleret.
Kadang saya harus menunggu karena masih ada tamu. Saya menunggu di dapur, minum teh manis dan penganan atau kadang saya ditawari makan siang.
Jam dua saya dipanggil untuk masuk ‘ruang praktek ngaji’ Pakde. Saya membawa kitab kuning berisi sarah Jurumiah dan buku skrip. Ngaji nahwu shorof dicampur. Kadang suatu hari saya dihajar shorof berikut tasrifannya sampai klenger. Pakde terus mendiktekan langkah demi langkah yang rupanya dia hafal. Demikian juga nahwunya. Ketika saya mengulangi bacaan dan ada satu huruf yang sengaja saya baca salah, Pakde langsung menegur. Ternyata Pakde tidak tidur walau tampak tidur. Atau sebenarnya dia tidur tetapi sensor ilmunya masih berfungsi. Setelah tiga kali saya menguji Pakde dalam tiga kali pertemuan, saya kapok. Saya berusaha membaca kitab gundul itu dengan bacaan yang benar. Belajar bahasa Arab seperti ini imajinasi dan intuisi harus kuat dan berkoordinasi rapi.
Dari mengaji di pesantren mingguan di rumah Simbah dengan guru Kiai Zuhri Hasyim ini, pelajaran bahasa Arab saya di sekolah lancar. Pelajaran Bahasa Arah karangan Mahmud Yunus dan Bustami Abdul Ghani yang berjilid-jilid itu bisa saya pelajari cepat. Dan belajar bahasa Arab di sekolah guru agama seperti sekolahku memudahkan saya mempelajari tafsir, hadist, fikih, ushul fikih, mustholah hadits, mahfudlot dan muthola’ah. Apalagi ketika di kelas lima dan enam diajar ilmu balaghoh.
Waktu itu, ketika di Kotagede masih banyak kiai hidup dan mengajarkan ilmu agama berikut ilmu alat, terasa sekali kalau sesungguhnya Kotagede merupakan sebuah pesantren besar. Di pojok utara timur, ada Kaji Ridlo yang bersama Pakde Zuhri mensosialisasikan hadis yang kuat dan layak untuk hujjah atau pedoman beragama. Di situ di kampung Basen ada Mbah Syuhada yang ada anaknya sekolah di Muallimat dan Muallimin. Dan selatannya ada Kaji Masruri, Kaji Masyhudi, Kiai Asrofi. Di Prenggan ada ayah Kiai Abdul Muhaimin dan Mbah Dullah Qomari bin Amat Ilhar, guru ngaji dan imam di Masjid Perak. Di Pekaten ada Kiai Chirzin. Di sekitar Masjid Perak ada Kaji Hisyam, Kaji Yunus, Kaji Anwar Utara. Di sekitar Masjid Gede Kotagede ada Mbah Kiai Pengulu, Kiai Abu Jakfar, Kaji Muhsin. Di Selakraman ada Kiai Abdul Kahar Muzakir, Kiai Khudori, Kiai Slamet Ahmad, Mbah Zubair Muhsin, Kiai Humam. Di Joyipranan ada Mbah Muhdi, Kiai Hamam, Kiai Juweni, di Ngledok ada Bani Hasyim dan Kaji Anwar selatan, dan Mbah Dimyati. Di Cokroyudan ada Mbah Bajuri dan Keji Ansor. Di Ndalem ada Kaji Marjuni dan dulu ada Mbah Berat. Di Pondongan ada Kaji Thohir, Mbah Nasir, Mbah Kasan Anom. Dan seterusnya, masih banyak lagi tokoh agama yang bertempat tinggal di kampung Citran, Bodon, Jagalan, Celenan dan Ndarakan. Banyak alumni pesantren yang tinggal di Kotagede. Belum lagi alumni pesantren yang jadi Pendekar.
Ketika Kotagede sebagai pesantren besar dan para kiai menyekolahkan anaknya di pesantren atau di Muallimat, Muallimin, Pesantren Gontor dan sebagainya maka kehadiran Pakde Zuhri Hasyim terasa wajar. Kalau setiap Ahad banyak santri mengaji juga merupakan pemandangan yang biasa. Saya yang merasa pelajaran bahasa Arab di sekolah kurang mencukupi pun belajar di tempat Pakde Zuhri Hasyim.
Ketika saya setelah lulus sekolah guru dan kuliah di kota kemudian lebih terlibat di kegiatan jurnalistik dan sastra saya menjadi tidak sempat lagi mengaji di Ngledok. Lebih-lebih ketika Pakde Zuhri pindah rumah di kampung Suronatan lalu lebih aktif mengajar ngaji di masjid Taqwa dan di kampung sekitarnya.
Karena belajar dan mengaji saya belum tuntas, ini justru membuat saya mencari guru agama, guru sastra, guru jurnalistik serta guru kehidupan di Kota Yogyakarta. (Mustofa W Hasyim 2021).