YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Dr Casmini SAg MSi, anggota Majelis Tabligh PP Aisyiyah dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Psikologi Umum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam rapat Senat Terbuka Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 11 November 2021, Casmini membawakan orasi ilmiah dengan judul “Resiliensi Keluarga dan Pencarian Kebahagiaan Masyarakat Jawa di Era Global”.
Casmini melihat bahwa belakangan ini, globalisasi dan perluasan imajinasi sosial telah menggeser fungsi psikologis keluarga secara tradisional. Jika dulu kita menyerahkan semua urusan diselesaikan secara “kekeluargaan,” maka sekarang kita percaya ada bentuk ikatan baru yang seolah-olah dapat menyelesaikan semua masalah bernama “demokrasi” atau “neoliberalisme.” “Maka saya tergugah untuk melihat bagaimana manusia dan masyarakat memikirkan, mempercayai dan mendayagunakan kekuatan sosial tradisional bernama keluarga,” ujarnya.
Casmini menjelaskan bahwa resiliensi keluarga dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti adaptasi dengan lingkungan, kemampuan lingkungan untuk berubah dan merespons kebutuhan, serta adanya dukungan sosial di sekitarnya. “Titik paling tinggi dari kualitas kehidupan manusia adalah kebahagiaan. Sebab, motivasi terdalam mempertahankan kehidupan bagi manusia adalah menghindari penderitaan. Kita mengenal dua bentuk ekspresi yang membentuk kebahagiaan, yakni material dan immaterial,” katanya.
Mengutip Martin Seligman (2002), Casmini menyebut ada enam gagasan moral yang dapat meningkatkan kebahagiaan keluarga. Pertama, setiap anggota mempunyai daya belajar dan/atau daya serap inspirasi dari lingkungan di sekitarnya. Kedua, mempunyai semangat menghadapi segala tantangan. Ketiga, punyai sikap mengasihi, menyayangi, dan membangun kenyamanan dengan anggota keluarga yang lain. Keempat, menjunjung nilai keadilan dan kesetaraan di tengah keluarga. Kelima, mempunyai sikap moderasi. Keenam, mempunyai kesadaran transendental.
Menurut Casmini, terpenuhinya enam gagasan itu di dalam sebuah unit keluarga akan melahirkan kebahagiaan dalam bentuk material dan immaterial. Kebahagiaan memang tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kepemilikan harta (materi). Rasa aman, damai, dan tenteram (immateri) juga menjadi penentu kebahagiaan seseorang atau sebuah keluarga. Pencapaian kebahagiaan, kata Casmini, adalah perpaduan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani.
Dalam konteks masyarakat Jawa, seseorang akan terus berproses hingga memenuhi kualifikasi sebagai “dadi wong”, “dadi Jowo”, atau “manungsa tanpa ciri”. Lebih lanjut, Casmini menyebut tiga kualitas kematangan pribadi orang Jawa, yakni sepuh, wutuh, dan tangguh. Kebahagiaan dalam makna kesempurnaan menjadi orientasi akhir dari kehidupan orang Jawa
“Pribadi sepuh adalah pribadi yang senantiasa mengoptimalkan fungsinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Pribadi wutuh adalah pribadi yang utuh tanpa kesengajaan melenceng. Pribadi tangguh adalah pribadi yang mampu melaksanakan kehidupan dengan rasa suka cita meski berada di tengah ujian, duka, dan nestapa. Ketiga kategori kualitas psikologis tersebut menunjukkan seorang yang sehat pribadi, dan merupakan wujud pencapaian tertinggi dari pencarian makna hidup orang Jawa,” ungkap Casmini.
Tiga kualitas itu tak dapat dilepaskan dari nilai utama orang Jawa, yakni; (a) pengayatannya atas nilai Ilahiah; (b) usaha untuk menjaga keharmonisan, baik internal maupuan eksternal; (c) fokusnya pada perasaan, dan; (c) integrasi antara pikiran, perasaan, dan perbuatannya untuk selalu selaras aturan Tuhan. Nilai-nilai itulah yang mempengaruhi kualitas kebahagiaan orang Jawa.
Pencapaian orang Jawa menemukan kebahagiaan, ungkap Casmini, dilakukan dengan berpegang pada tautan pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan yang seimbang. Perbuatan merupakan cerminan jiwa manusia. Jika perbuatan sejalan dengan jiwa, maka orang tersebut baik, lurus, dan sehat kepribadianya. “Hidup tidak harus memiliki japa mantra yang muluk-muluk dan dalil yang pelik-pelik. Kebahagiaan hidup adalah manakala dirinya mampu menerima kasunyatan atau kenyataan hidup,” tukasnya (Ribas).