Perantau Madura adalah ‘Para Nelayan’
Oleh: Syauqi Khaikal Zulkarnain
“Ngapote wak lajarah etangale”
(Layar putih mulai kelihatan)
Begitulah lagu Tanduk Majang dimulai. Tanduk Majang adalah lagu daerah Madura yang bercerita tentang kehidupan masyarakat pencari ikan. Menjadi seorang nelayan tidaklah mudah, di tengah laut begitu banyak kemungkinan dan bahaya. Pada mulanya lagu ini dinyanyikan oleh ‘para mama’ ketika menunggu para nelayan di tepian Madura.
Lagu ini barangkali adalah lagu daerah Madura yang paling banyak didengar dan diperdengarkan. Selain karena mayoritas mata pencaharian masyarakat Madura adalah nelayan, lagu ini menjadi semacam lagu wajib bagi pegiat musik tradisional Madura untuk dibawakan ketika Pemkab mengadakan lomba “Pagelaran Musik Sahur” setiap tahunnya.
Namun apakah Tanduk Majang memang cuma dikhususkan untuk keluarga nelayan saja? Dalam hal ini ditemukan sebuah hal yang cukup menarik terkait korelasi lagu daerah ini pada kebiasaan merantau masyarakat Madura. Seperti yang disebutkan Hamka dalam Dari Perbendaharaan Lama, “bahwa sudah sejak dahulu penduduk Madura, pulau kecil yang didinding lautan itu mengarung ombak gelombang dan menempuh laut luas dengan perahu-perahu layarnya. Sudah sejak dulu anak Madura dan perahunya itu berlayar ke Malaka, Kerajaan Islam.”
Oleh karena itu, lagu Tanduk Majang bukan cuma lagu yang berkisah tentang seorang nelayan yang ditunggu pulang oleh istrinya di tepian pulau. Lagu ini berlaku pula kepada siapapun bangsa Madura yang pergi meredam gelombang ganas, menyeberang laut lepas, dan merantau ke tanah-tanah yang lebih luas.
Reng majang tantona lah pada mole
(Nelayan tentulah pada pulang)
Berbicara tentang merantau pada akhirnya tidak akan terlepas pula dari kata pulang, di Madura sendiri pulang adalah semacam kewajiban yang mesti dipenuhi. Tidak dihitung dari berapa pun lamanya meninggalkan kampung halaman, sekali waktu tuntutan dan rasa untuk pulang tidak akan pernah bisa dibantah. Bahkan pulang sudah menjadi semacam tradisi sendiri bagi masyarakat Madura, terutama tradisi mudik pada musim lebaran. Hal ini juga disuarakan oleh penyair besar Madura D. Zawawi Imron dalam salah satu puisinya yang berjudul Madura, Akulah Darahmu.
…
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan air matamu
…
Mon etengguh deri abid pajalannah
(Kalau dihitung dari lamanya perjalanan)
Mase bennyak’ah le-ollena
(Tentu sangat banyak hasilnya)
Pada potongan lirik ini, penantian para mama yang menunggu di tepian pulau agaknya akan segera berakhir. Perahu-perahu menepi setelah sekian lama tak melihat daratan dan pesisir. Akan tetapi pulang di Madura bukanlah sekadar pulang bermodal diri. Ada harga diri dan nama baik keluarga yang mesti kita jaga tinggi-tinggi. Sanak-keluarga yang kita tinggal tak terhitung lamanya itu tidak hanya menunggu seorang nelayan menepi, tapi juga menunggu ikan-ikan yang dijaring di tengah laut sebagai bukti bahwa kita memanglah benar-benar ‘nelayan Madura’ yang beringas menaklukkan samudera. Hal ini menjadi semacam pecutan keras bagi perantau-perantau Madura, maka tidak diherankan jika perantau-perantau Madura menjadi salahsatu dari sekian bangsa perantau tangguh di Indonesia.
Duh mon ajalling odiknah oreng majangan
(Duh kalau melihat kehidupan para nelayan)
Abental ombek sapok angen salanjengngah
(Berbantal ombak selimut angin selamanya)
Reng majang bennya’ onggu babajana
(Nelayan banyak sekali hambatannya)
Kabileng alako bendhe nyabanah
(Dapat dikatakan bekerja bermodal nyawa)
Dapat kita sadari bersama, menjadi nelayan bukanlah pekerjaan yang mudah lagi sederhana. Dari saking bukan main-mainnya pekerjaan ini, sampai digambarkan bahwa nelayan adalah pekerjaan dengan modal nyawa. Setiap hari berbantal ombak berselimut angin menjelajah samudera. Tapi mundur bagi bangsa Madura bukanlah sebuah pilihan. Seperti kata pepatah Madura “bengok pote tolang etembeng pote matah”, lebih baik mati daripada kehilangan hargadiri. Bagi masyarakat Madura merantau sudah menjadi kewajiban, terutama bagi yang masih hijau usianya.
Perantau Madura adalah ‘para nelayan’ yang menaklukkan samudera dengan perahu-perahu layarnya.
Syauqi Khaikal Zulkarnain, Ketua Umum IMM FSBK