Spirit Al-Ma’un sebagai Representasi Gerakan Filantropi
Oleh: Rizal Firmansyah Putra Moka
Sebenarnya wacana gerakan filantropi pertama sekali penulis dengar ketika mengikuti musyawarah cabang IMM Cabang Djazman Al-Kindi di tahun 2019. Kala itu peserta yang terdiri dari beberapa komisariat berdebat panjang mengenai gerakan filantropi apa yang sebenarnya telah dibangun oleh Pimpinan Cabang. Sebab jika ditelaah secara saksama, kader-kader IMM khususnya di wilayah cabang Djazman Al-Kindi (wallahu ‘alam kalau Pimpinan Cabangnya) hanya segelintir yang menjangkau kosa kata filantropi, belum lagi jika bicara berapa persen pemahaman kader terkait filantropi. Jika pemahaman secara konseptual saja masih bermasalah, bagaimana mungkin IMM dapat menjangkau wilayah amal. Padahal jelas dalam dokumen deklarasi kota baru, disebutkan bahwa ilmu amaliah amal ilmiah.
Baiklah, Pertama-tama penulis ingin mengajak pembaca melihat makna filantropi secara filosofis. Hilman Latief dalam buku melayani umat menerangkan bahwa istilah filantropi berasal dari bahasa philanthropia atau dalam bahasa Yunani philo dan anthropos yang berarti cinta manusia. Filantropi adalah bentuk kepedulian seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain berdasarkan kecintaan pada sesama manusia. Penulis kira perlu untuk kemudian kita melihat makna filantropi secara terpisah, yakni cinta dan manusia.
Cinta menurut Thales, adalah gerak jiwa yang kosong tanpa pikiran. Ia hadir secara spontan tanpa perencanaan oleh si subjek. Olehnya, tak heran bila Sujiwo Tejo Sang Presiden Jancukers menyebutkan bahwa engkau boleh berencana menikah dengan siapa, tapi tak bisa engkau rencanakan cintamu untuk siapa. Cinta lahir tulus dari hati tanpa alat ukur yang paten.
Kemudian untuk bahasan manusia sendiri memiliki konsep yang berbeda-beda tergantung cara pandang yang digunakan. Manusia bagi Thomas Hobbes, adalah Homo Homini Lupus, yakni suka saling memangsa satu sama lainnya. Peradaban barat di masa kegelapan (the dark age) menganggap manusia adalah makhluk yang kerdil dan tidak boleh melakukan apapun tanpa tuntunan Tuhan. Pandangan ini mirip dengan pandangan jabariyah dalam aliran Kalam Islam yang menganggap manusia seperti wayang. Sedangkan di masa pencerahan (renaisans) barat mulai melepaskan “belenggu” Tuhan sebab manusia dianggap sebagai titik sentral. Alih-alih membebaskan manusia dari “alam kerdil” manusia justru diotomoatisasi dan disamakan kedudukannya dengan mesin. Prof. Kuntowijoyo, dalam buku Paradigma Islam menyebutkan bahwa :
“Teknologi modern yang sesungguhnya diciptakan untuk pembebasan manusia dari kerja ternyata telah menjadi alat perbudakan baru. Fungsi teknologi modern telah berubah menjadi alat kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan kepada massa. Sebagai alat untuk mempertinggi tingkat keuntungan dari perusahaan-perusahaan, teknologi modern menciptakan tuntutan-tuntutan agar ia tetap berproduksi dan oleh karena itu menuntut peningkatan waktu kerja bagi manusia. Di samping itu, teknologi modern juga telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang sesungguhnya bersifat semu bagi masyarakat. Singkatnya ia telah memperbudak manusia sekadar menjadi otomat dari proses produksi, memperbudak masyarakat untuk mengkonsumsi kebutuhan-kebutuhan semu yang diproduksi olehnya. Manusia yang semula merdeka, yang merasa menjadi pusat dari segala sesuatu, kini telah diturunkan derajatnya menjadi tak lebih sebagai bagian dari mesin, mesin raksasa teknologi modern. Karena proses inilah, maka pandangan tentang manusia menjadi tereduksi.”
Dari pandangan terakhir ini lah, penulis memahami bahwa memang harus ada penanaman kembali budaya cinta akan kemanusiaan (filantropi), atau dalam bahasa akademis kami menyebutnya sebagai humanisasi (memanusiakan manusia). Manusia sendiri asalnya makhluk yang dikarunia kemampuan dasar berpikir, inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Meskipun pada awal penciptaannya, malaikat terkesan skeptis terhadap manusia sebab bagi malaikat, manusia suka berbuat kerusakan dan menumpahkan darah (baca; QS. Al-Baqarah :30). Ini mirip dengan anggapan Thomas Hobbes sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas. Namun Allah SWT menegaskan bahwa manusia dibekali dengan pengetahuan sehingga manusia dipercayakan untuk merawat bumi secara bersama-sama dengan memperhatikan asas liberte, egaliter, dan fraternite.
Setelah kita mencermati dengan seksama bahasan cinta dan manusia (filantropi) serta memahami bahwa cinta akan kemanusiaan merupakan hal yang cukup fundamental dalam kehidupan, kita kemudian akan merumuskan bagaimana semestinya gerakan filantropi itu dibangun dan ke arah mana gerakan hendak dituju. Untuk itu menurut hemat penulis, ada baiknya jika kita kembali membuka lembaran suci dan merenungkan surat Al-Ma’un yang menjadi spirit bagi K.H. Ahmad Dahlan dalam agenda pembaharuannya.
Penulis memahami bahwa K.H. Ahmad Dahlan merupakan tokoh yang sangat visioner sebab gerakan yang dibangun oleh K.H Ahmad Dahlan jika dibandingkan dengan gerakan lain, lebih bersifat mendasar dan jangka panjang. Di zaman penjajahan ketika tokoh-tokoh kemerdekaan lebih fokus pada perlawanan secara fisik dan diplomatik, K.H. Ahmad Dahlan justru lebih mengalihkan pandangannya terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan anak yatim (schooling, healing, and feeding). Ini mirip dengan kisah kaisar Hirohito yang mempertanyakan nasib para guru ketika Jepang hancur lebur oleh sekutu. Artinya, gerakan menyuplai SDM (sumber daya manusia) yang unggul dan berkualitas, dengan mendidik pikiran rakyat sebagai representasi dari pikiran bangsa merupakan awal langkah yang harus ditempuh.
Selama ini gerakan filantropi yang di bangun oleh IMM Djazman Al-Kindi Kota Yogyakarta hanya dimaknai sebatas gerakan seremonial semata atas dasar pertanggungjawaban formil dalam bentuk program kerja, tapi gagal menyentuh esensi dari cinta terhadap manusia. Cinta yang “nanggung” tidak dapat dikatakan sebagai cinta. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menyebutkan bahwa dalam QS. Al-Ma’un khususnya di ayat tiga, Allah SWT menggunakan frasa “yahuddu” (menganjurkan) bukan yut’imu (memberi makan). Senada dengan Quraish Shihab, Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah dalam tafsir Al-Azhar menyebut bahwa ayat tiga QS. Al-Ma’un ini bermaksud memberikan himbauan agar umat muslim “menggalakkan” bantuan. Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam tafsir An-Nur mengemukakan bahwa orang yang dipandang mendustakan agama mempunyai dua sifat. Pertama, memandang rendah orang-orang yang lemah dan menyombongkan diri terhadap mereka. Kedua, tidak mau mengeluarkan harta untuk kepentingan orang-orang fakir dan orang-orang yang memerlukan, serta tidak mau berusaha untuk kepentingan mereka itu.
Dari beberapa pandangan para ahli tafsir diatas, setidaknya dapat kita simpulkan bahwasannya gerakan filantropi mesti lebih diarahkan kepada pembangunan struktur sosial bukan sebatas pembangunan struktur fisik. Asghar Ali Engineer dalam buku Islam dan Pembebasan mengatakan bahwa meskipun ajaran Al-Qur’an menganjurkan umat Islam untuk bersedekah serta dapat dengan sedekah dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu sepanjang masa transisi, namun ia tidak bisa menjadi solusi permanen terhadap problem-problem sosial dan ekonomi. Kita berhadapan dengan ekonomi kapitalisme sehingga kegiatan-kegiatan filantropi mesti benar-benar menyentuh akar masalah. Kegiatan bagi-bagi sembako bukan merupakan suatu kekeliruan namun ia akan menjadi kekeliruan yang fatal bila gerakan dermawan hanya terhenti sampai di situ.
Pada akhirnya apabila gerakan filantropi ini dibarengi betul dengan iman dan spirit Al-Ma’un sebagai landasan maka tentu dapat melahirkan SDM yang unggul dan mandiri.
Rizal Firmansyah Putra Moka, Kabid Hikmah PK IMM FAI UAD