TRENGGALEK, Suara Muhammadiyah – Keimanan ekologis. Jika kita sepakat bahwa Islam adalah agama rahmantan lil alamin, tentu istilah “keimanan ekologis” tidak perlu lagi dipertanyakan maknanya. Di tengah gejala krisis iklim, krisis air, dan ketidakseimbangan ekologis, peran Muslim yang katanya adalah khalifah di bumi harus dipertegas untuk merespons masalah-masalah itu.
Jadi, hubungannya bukan saja makhluk dengan Tuhannya secara bolak-balik dan makluk terhadap makhluk. Manusia sebagai makhluk dan alam yang juga sama-sama makhluk perlu dipertegas hubungannya.
“Dalam konteks ini Tuhan-manusia-alam merupakan trikotomis yang harus kita jaga hubungannya secara seimbang,” seru Mbah Ripto selaku moderator dalam Pendidikan Politik Hukum HAM untuk Keadilan Lingkungan Kabupaten Trenggalek.
Busyro Muqqadas juga menegaskan keutamaan manusia mengelola alam. Sebab, pada dasarnya perbuatan baik yang diperbuat akan kembali pada pelakunya dan begitu pun sebaliknya. Jangan sampai seperti Indonesia sekarang. Urusan pertambangan yang dipegang oleh orang-orang tak bermental teo-ekologis buktinya malah menimbulkan kerusakan berkepanjangan.
Kesadaran teologis-ekologis (teo-ekologis) tersebutlah yang, salah satunya, ditanamkan dalam acara Pendidikan dua hari itu (3-4/9). Di samping itu, peserta juga dilatih dan diperkenalkan pada kerangka hukum Indonesia, produk hukum lingkungan, pengetahuan lingkungan, hingga saluran advokasi.
Semua muatan-muatan tersebut penting untuk membekali masyarakat supaya menyadari kekuatannya di mata hukum untuk bisa mengadvokasi dirinya. Mengingat peserta yang hadir bukan saja dari lingkungan pemerintahan Kabupaten Trenggalek beserta Bupati Trenggalek.
Peserta adalah semua elemen masyarakat. Perwakilan dari organisasi-organisasi mahasiswa, Anshor, Hizbul Wathan, ‘Aisyiyah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Trenggalek, Walhi, Jatam, dan warga, termasuk.
Pembawa materi-materinya pun merupakan pakar dan praktisi kompeten di bidangnya. Salah duanya ialah Rere Christanto dan Bagus Hadikusuma yang hadir untuk mengenalkan pengetahuan tentang lingkungan kars Trenggalek dan dampak aktivitas pertambangan.
Berdasarkan peta konsesi lahan tambang emas PT SMN seluas 12.000-an hektar, ada 5 titik daerah aliran sungai (DAS) utama Trenggalek yang bisa terancam. Ini menjadi masalah, baik di daerah hulu sungai dan sampai ke hilir. “Apalagi tambang emas itu rakus air,” pungkas Bagus berdasar kajian di daerah-daerah tambang emas terdahulu.
Maka dari itu, sikap kritis masyarakat Trenggalek yang kelak bisa mendapat dampak langsung dari kerusakan alam adalah penting. Hak suara sebagai warga negara sah untuk dipakai dan dilindungi dalam hukum nasional serta internasional.
Namun, hak suara ini membutuhkan alur skema legal yang tidak sederhana dan sarat dengan tipu muslihat politik. Makanya, Pendidikan Politik Hukum HAM Muhammadiyah ini turut mengundang Asfinawati untuk memberi bekal pada masyarakat.
Jalur-jalur gerakan struktural melalui pengaduan ke berbagai dinas, kementrian, Ombudsman, dll bisa ditempuh sesuai temuan kasus. Namun, “ini perlu digabung dengan gerakan kultural, contohnya di Gombong yang menanam ribuan pohon sebagai aksi melawan,” jelas Ketua YLBHI periode 2017-2021 itu.
Meskipun demikian, keraguan atas keberhasilan gerakan ini masih disangsikan warga. Mengingat banyak kasus perlawanan yang berkali-kali menemui jalan buntu dan menghantam meja-meja “negosiasi gelap”.
Keraguan ini dipatahkan langsung oleh Mas Bupati, “Tetap dijaga iktikadnya!” Lagi pula, dari mana anak-cucu kita nanti akan mendapat inspirasi perjuangan, kalau tidak dari sejarah kita hari ini yang berjuang untuk lingkungan. Asfinawati menambahkan, “Menolak tambang adalah merawat peradaban!” (Yayum Kumai)