• Tentang SM
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Media Siber
  • Term & Condition
  • Privacy Policy
  • Hubungi Kami
Kamis, Maret 23, 2023
Suara Muhammadiyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
  • Home
  • Berita
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora
No Result
View All Result
suaramuhammadiyah
No Result
View All Result

Belajar pada Kata dan Peristiwa (6)

Suara Muhammadiyah by Suara Muhammadiyah
2 Februari, 2023
in Opini
Reading Time: 5 mins read
A A
0
Belajar Pada Kata Dan Peristiwa

Foto Ilustrasi Unsplash

Share

Belajar pada Kata dan Peristiwa (6)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Baca Juga

Shalat untuk Menjemput Rahmat (1)

Belajar pada Kata dan Peristiwa (10)

Menasihati dengan hati

mencegah kemunkaran

dengan keramahan

bukan dengan kemarahan

Di dalam Belajar pada Kata dan Peristiwa (5) pada Suara Muhammadiyah edisi 2023/01/26 disajikan kisah nyata perilaku buruk ibu menurun pada anaknya. Bahkan, keburukan perilaku anaknya jauh lebih buruk.

Kisah nyata itu mengingatkan kita pada peribahasa Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Maknanya, tabiat orang tua biasanya menurun pada anak. Jika orang tua bertabiat baik, biasanya anaknya pun demikian. Jika orang tua bertabiat buruk, biasanya anaknya juga.

Perlu kita pahami dengan benar makna peribahasa itu. Kata biasanya bukan pasti yang digunakan. Dengan demikian, di antara sekian banyak anak dari orang tua yang bertabiat baik, ada yang bertabiat buruk. Sebaliknya, dari orang tua yang bertabiat buruk, ada anak yang bertabiat baik.

Keadaan yang demikian telah ada sejak zaman dulu. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bertabiat baik. Beliau menurunkan Nabi Ismail ‘alaihissalam yang bertabiat baik juga. Tidak demikian halnya Nabi Nuh ‘alaihissalam. Anaknya, Kan’an, bertabiat buruk.

Pada zaman kini pun ada keadaan yang demikian. Dari orang tua yang bertabiat baik ternyata ada anaknya yang bertabiat buruk. Dari orang tua yang bertabiat buruk, ada anaknya yang bertabiat baik.

Umumnya orang tua menghendaki agar anaknya bertabiat baik. Bahkan, ada orang tua yang secara terang-terangan kepada anaknya menyatakan bahwa dirinya bukan orang baik, tetapi dia menasihati anaknya agar tidak mengikutinya.

Ada pelajaran penting yang harus kita petik dari kisah nyata Mbak Har dan Hari. Perilaku buruk Mbak Har menurun pada Hari, anaknya. Bahkan, perilaku Hari jauh lebih buruk karena berani “mematikan” ibunya, padahal ibunya masih hidup. Na’uzubillah!

Orang tua berkewajban mendidik anaknya agar menjadi anak saleh dan/atau saleha. Untuk itu, Islam memberikan tuntunan berupa doa dan ikhtiar. Salah satu doa agar diberi anak saleh dan/atau saleha terdapat di dalam al-Qur’an surat ash-Shaffat (37): 100

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”

Dalam hubungannya dengan ikhtiar, orang tua idealnya menjadi teladan bagi anaknya. Di samping itu, semestinya anak dididik di sekolah yang nuansa Islamnya kental. Yang tidak kalah pentingnya adalah anak tinggal di dalam keluarga dan lingkungan masyarakat yang kental juga nuansa Islamnya.

Di dalam Belajar pada Kata dan Peristiwa (6) ini disajikan dua kisah nyata yang bermodus sama, yakni pinjam uang untuk biaya operasi. Di samping itu, disajikan pula kisah nyata “musyafir” kehabisan uang.

Biaya Operasi Korban Kecelakaan

Percakapan telepon kabel saya hentikan. Kepada penelepon saya katakan agar menelepon kembali 10 menit kemudian. Saya berbicara dengan istri saya.

“Bu. Ini telepon dari alumni. Dia baru saja kena alangan. Menabrak orang di Kebonpolo. Korban harus dioperasi. Ada kesepakatan biaya operasi ditanggung bersama. Masalahnya, dia baru mempunyai uang separuh dari yang disepakati. Lalu, dia bermaksud pinjam.”

“Bapak punya?”

“Itulah masalahnya. Saya hanya punya separuhnya.”

“Em … sebentar.” Setelah diam sesaat, dia melanjutkan. “Ya, sudah kita patungan. Kasihan dia.”

“Baik, Bu.” Kami menunggu telepon. Sesaat kemudian, kembali telepon berbunyi. Saya angkat.

“Wa ‘alaikumussalam. Ya, Mas. Silakan datang. Oh, ya. Mas naik apa?”

“Ojek.”

“Alamat saya: Jalan Nanas, rumah nomor 21. Depan Musala al-Islah. Kalau sudah sampai Hotel Safari, teruslah ke utara kira-kira 300 meter. Nanti ada Jalan Nanas atau Bodongan, belok kiri. Teruslah sekitar 300 meter.”

“Baik, Pak. Terima kasih.”

“Sama-sama. Mas.”

Sepuluh menit berselang dia sampai di rumah kami. Saya menyambutnya: menyilakannya masuk dan duduk.

“Silakan, Mas.”

“Terima kasih, Pak.”

“Maaf, Pak. Jadi merepotkan.”

“Ah, tidak. Ini kesempatan untuk berbuat kebaikan, kok. Ini kewajiban kami. ”

“Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih, Pak.”

“Ya, sama-sama.”

ART menyajikan minum. Saya menyilakannya minum.

“Silakan.”

Dia minum. Wajahnya kusut. Tidak banyak yang kami bicarakan. Dia berjanji akan mengembalikan hari Sabtu. Namun, sebentar kemudian dia ragu.

“Kalau Sabtu,  Bank tutup, ya, Pak?”

“Setahu saya, BPD buka setengah hari.”

“Bagaimana kalau saya kembalikan Senin saja, Pak?”

“Boleh.”

Senin pekan pertama lewat. Senin pekan kedua juga. Demkian pula Senin pekan ketiga. Senin keempat, kelima, dan keenam pun begitu.

Tidak ada kabar tentang dia dan realisasi janjinya. Waktu itu saya ingin melupakan, tetapi jika teringat akibat yang kami alami berkenaan dengan uang yang dipinjamnya, tidak bisa.

Oleh karena itu, pada bulan ketiga saya minta tolong mahasiswa untuk melacaknya. Dua orang mahasiswa yang saya mintai tolong datang ke rumah kontrakannya. Beberapa kali mereka secara bergantian berucap salam dan mengetuk pintu, tetapi tidak mendapat jawaban. Bahkan, setelah melihat pintu, ternyata pintu rumah dikunci dari luar dengan gembok.

Ada tetangga yang mendekatnya.

“Mas mencari Mas Bus?” (bukan nama sebenarnya)

“Ya, Bu.”

“Sudah beberapa hari ini sepertinya tidak tinggal di sini lagi. Tidak ada yang tahu pindah ke mana karena tidak pamit.”

“O, begitu? Baiklah, Bu. Terima kasih.”

“Ya, sama-sama.”

Biaya Operasi Istri

Siang hari. Saya di rumah sendirian. Saya dengar suara pintu rumah diketuk dan ucapan salam. Dari cara mengetuk pintu dan mengucapkan salam, timbul kesan pada saya bahwa dia adalah orang yang tahu sopan santun.

Saya menjawab salamnya. Lalu, saya menuju pintu dan membukanya. Dia mengulang salamnya dan saya pun menjawabnya.

“Bu Mam, ada, Pak?” Begitu dia memanggil istri saya.

“Maaf. Adik siapa?”

“Didik” Sebut saja namanya Didik. “Saya dulu murid Bu Mam.”

“Oh. Mari masuk.”

“Terima kasih, Pak.”

“Silakan duduk, Mas.”

“Ya, Pak. Terima kasih.”

“Dari mana ini?”

“Dari rumah Bu Lik.”

“Oh.”

Setelah diam sesaat, saya baru menjelaskan bahwa istri saya sedang tidak di rumah. Dia sedang mengikuti silaturahim pensiunan.

“Sebetulnya, saya ingin bertemu dengan Bu Mam, Pak. Sudah lama tidak bertemu.”

“Kalau begitu, sebentar, saya sambungkan. Semoga belum dimulai acaranya.”

Saya mengambil gawai. Saya klik video call. Dalam hitungan detik saja sudah tersambung. Istri saya merespons. Acara belum dimulai. Lalu, benda ajaib itu saya serahkan kepada Didik.

Dia berbicara sangat hangat sebagaimana lazimnya anak dengan ibunya yang sudah lama tidak bersua. Setelah menanyakan kesehatan istri saya, dia menyatakan kekangennya. Dia seperti tidak percaya ketika diberi tahu bahwa istri saya sudah pensiun sejak enam tahun yang silam. Dia berseloroh sebagaimana lazimnya orang yang telah lama tidak bersua dengan cara yang sangat sopan. Lalu, dia mengakhiri pembicaraannya dengan sopan juga.

“Sebenarnya saya mau bicara pada ibu, Pak. Tapi, nggak enak karena sedang ada acara.”

“Em … sebenarnya nggak apa-apa, Mas, kalau sangat penting.”

“Nggak, Pak.”

“Kalau mendesak, boleh Mas sampaikan pada saya. Nanti saya teruskan pada Ibu.”

Dia tidak langsung bicara. Sepertinya dia mempertimbangkan pilihan: bicara atau tidak.

“Maaf, Pak.” Akhirnya, dia memilih berbicara, tetapi terhenti. Sepertinya dia mempertimbangkan perlu melanjutkan atau tidak.

“Ya. Silakan, Mas.”

“Begini, Pak. Terus terang saya baru saja dari Bu Lik untuk mohon bantuan biaya operasi istri saya. Alhamdulillah! Bu Lik berkenan. Namun, masih kurang.”

Dia menyebut angka biaya operasi dan kekurangannya. Dia pun menjelaskan bahwa dirinya sudah menyetujui operasi bagi istrinya dengan segala konsekuensi, termasuk  biayanya. Dikatakannya bahwa waktu pelaksanaan operasinya sangat mendesak.

Tidak banyak kekurangan biaya yang disebutkannya. Oleh karena itu, tanpa berpikir panjang saya mengambil uang dan memberikannya.

Dia berterima kasih dan berjanji dalam waktu tiga hari akan mengembalikannya. Saya meresponsnya dengan tenang.

Tiga hari lewat. Tiga pekan juga lewat. Satu bulan. Dua bulan lewat juga. Saya dan istri sudah sering mengalami hal seperti itu sehingga sudah ada kesiapan mental. Kami yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala pasti membalas kebaikan sekecil apa pun dengan balasan yang jauh lebih banyak dan memuliakan. Kami mendoakan semoga Dia memberi mereka rezeki tidak hanya uang, tetapi juga kecerahan pikiran dan hatinya sehingga tahu akan tanggung jawabnya membayar utang.

Kehabisan Uang untuk Pulang

Ada tamu yang datang ketika saya tidak berada di rumah. Yang ada di rumah, istri saya dan adiknya.

Didengarnya suara ketukan pintu yang cukup keras. Istri saya terkejut, padahal dia belum sembuh dari sakit vertigonya. Beberapa kali istri saya mengatakan, sekedhap (‘sebentar’), tetapi tidak digubrisnya atau memang dia tidak mendengarnya.

Dengan sempoyongan istri saya bangun dari posisi tiduran. Kemudian, dia menuju pintu. Tanpa melihat kondisi istri saya, tamu tak diundang itu langsung bicara.

“Pak Udin ada?”

Sambil merasakan nyut-nyutan di kepalanya, istri saya menyilakannya masuk. Dia tidak mau.

“Saya mau pulang ke Pemalang, tapi kehabisan sangu. Saya minta sangu, Bu. Ini minta, Bu. Bukan pinjam.”

Sambil memegang tiyang teras rumah dan dengan mata terpejam, istri saya meminta adiknya agar mengambilkan uang dan memberikannya kepada “musyafir” itu. Adik ipar saya pun mengambilkannya sejumlah yang dikatakan istri saya. Jumlahnya cukup, bahkan sisa, untuk perjalanan pulang ke Pemalang. Lalu, dia memberikannya.

Sang “musyafir” itu menerimanya. Kemudian, dengan tergesa-gesa dia mengulang, “Saya tidak pinjam, loh. Tidak pinjam!” Dia meninggalkan rumah kami dengan sepeda motor tanpa mengucapkan salam. Juga tanpa mengucapkan terima kasih.

Ujian bagi Orang yang Berbuat Baik

Di dalam kisah nyata Belajar pada Kata dan Peristiwa (5) dan (6) ada orang bertabiat buruk dan ada orang lain yang terkena dampak.  Orang yang terdampak tersebut pada dasarnya diuji: sabar atau tidak!

Di dalam kenyataan, orang beriman yang berbuat baik belum tentu dibalas dengan kebaikan pula oleh orang yang diperlakukan dengan baik tersebut. Ketika menghadapi kenyataan itu, orang beriman dan bertakwa tetap tersenyum dan tidak pernah kapok berbuat kebaikan.

Kalaupun kecewa, dalam hitungan menit atau jam sudah move on. Mereka melakukan kebaikan berdasarkan imannya bahwa kebaikan pasti dibalas dengan kebaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala dengan yang jauh lebih baik. Jika belum memperoleh balasan di dunia, mereka yakin menerimanya di akhirat.

Ada keyakinan yang kuat bahwa sabar mendatangkan berkah dan rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’aala sebagaimana firman-Nya di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 155-157,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ

اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan innaa lillaahi wa innaaa ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota

Tags: Belajar pada Kata dan PeristiwaMohammad Fakhrudin
Suara Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Related Posts

Shalat Mikraj Mukmin Ilustrasi
Opini

Shalat untuk Menjemput Rahmat (1)

10 Maret, 2023
Belajar pada Kata dan Peristiwa
Opini

Belajar pada Kata dan Peristiwa (10)

3 Maret, 2023
Belajar pada Kata dan Peristiwa (9)
Opini

Belajar pada Kata dan Peristiwa (9)

23 Februari, 2023
Next Post
Gelar Program Asistensi Mengajar, FKIP UM Surabaya Gandeng MIM Dupan

Gelar Program Asistensi Mengajar, FKIP UM Surabaya Gandeng MIM Dupan

Please login to join discussion
  • Kotak Pos
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Pedoman Media

© SM 2021

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Khazanah
  • Hadlarah
  • Khutbah
  • Tanya Jawab Agama
  • Wawasan
  • Humaniora

© SM 2021

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In