YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Pakar Kebijakan Lingkungan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rijal Ramdani, S.IP., MPA., Ph.D., menilai bahwa deforestasi yang terus berlangsung di Indonesia tidak hanya berdampak pada hilangnya tutupan hutan, tetapi juga berpotensi mengganggu arah pembangunan nasional dalam jangka panjang. Kerusakan lingkungan yang terjadi selama bertahun-tahun telah membentuk pola risiko baru yang memengaruhi ekologi, ekonomi, hingga kualitas hidup masyarakat.
“Jika deforestasi dibiarkan terus berlanjut, kita akan menghadapi krisis ekologis yang jauh lebih kompleks daripada yang terlihat hari ini. Kerusakan hutan akan memicu ketidakstabilan iklim lokal, memperparah bencana hidrometeorologi, dan menciptakan beban baru bagi negara dalam jangka panjang,” ujarnya dalam wawancara daring pada Senin (8/12).
Ia menjelaskan bahwa dampak deforestasi tidak hanya terkait dengan aspek lingkungan, tetapi juga mempengaruhi arah pembangunan nasional. Berkurangnya kawasan hutan berarti hilangnya berbagai layanan ekologis yang selama ini mendukung sektor strategis, mulai dari pertanian, energi, air bersih, hingga kesehatan.
Deforestasi yang tidak terkendali juga membuat masyarakat di kawasan rawan bencana sebagai pihak yang paling cepat merasakan dampaknya. Mulai dari meningkatnya potensi longsor, banjir bandang, hingga penurunan kualitas udara, pola ini, menurut Rijal, telah terlihat di berbagai daerah dan akan semakin memburuk tanpa adanya perubahan kebijakan signifikan.
“Warga selalu menjadi korban pertama. Mereka yang tinggal di wilayah terdampak langsung merasakan hilangnya sumber mata pencaharian, terganggunya akses air, hingga ancaman bencana yang semakin sering terjadi. Negara harus memikirkan perlindungan jangka panjang yang lebih serius, tidak hanya respons darurat, tetapi juga pencegahan yang terencana,” tegasnya.
Rijal juga menyoroti perubahan regulasi yang mengembalikan sebagian besar kewenangan pemanfaatan lahan kepada kepala daerah. Menurutnya, kebijakan ini memiliki dua sisi: membuka peluang percepatan pembangunan, tetapi sekaligus meningkatkan risiko jika tidak diimbangi dengan pengawasan yang kuat. Kepala daerah berada pada posisi strategis, tetapi juga rentan terhadap kepentingan jangka pendek yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
“Ketika keputusan pemanfaatan lahan dikembalikan ke kepala daerah, kita harus memastikan kapasitas, integritas, dan tata kelola pengawasan ikut diperkuat. Jika tidak, keputusan yang seharusnya berbasis pertimbangan ekologis bisa berubah menjadi keputusan ekonomi jangka pendek,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rijal menilai bahwa Indonesia membutuhkan tata kelola lingkungan yang lebih adaptif untuk menghadapi risiko jangka panjang tersebut. Sistem perencanaan pembangunan, menurutnya, harus mulai menggunakan pendekatan berbasis risiko, bukan sekadar mengejar target angka pertumbuhan. Dengan demikian, pemanfaatan lahan dapat mempertimbangkan kapasitas lingkungan untuk menopang kehidupan generasi mendatang.
“Kalau kita ingin Indonesia tetap berdiri kokoh puluhan tahun ke depan, perbaikan tata kelola tidak bisa ditunda. Kita membutuhkan komitmen jangka panjang yang konsisten, lintas pemerintahan, dan tidak dipengaruhi kepentingan politik sesaat. Hutan yang tersisa harus dilindungi sebagai investasi terbesar bangsa ini,” pungkasnya. (NF)


