YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta menghelat Syawalan Keluarga Besar pada Rabu (17/4). Kegiatan tersebut berlangsung di Masjid Islamic Center UAD Yogyakarta dan dihadiri Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir, MSi.
Menurut Haedar, Idul Fitri menjadi sangat penting merefleksikan selepas menempuh perjalanan panjang menjalani ritus peribadatan selama bulan Puasa Ramadhan. Menurutnya ada beberapa kandungan nilai utama buah dari implementasi ibadah Ramadhan, yaitu pertama nilai tawasuth atau tengahan.
Nilai ini merupakan bagian dari puasa yang menitikberatkan pada usaha menahan diri dari pemenuhan kebutuhan biologis agar tidak melampaui batas. Haedar mewanti-wanti jangan sampai setiap berpuasa tidak terjadi transformasi dalam kedirian terutama soal perangai.
“Puasa mengajarkan kita untuk jalan tengah, penuhi seluruh kebutuhan hidup itu, penuhi seluruh hasrat sunnatullah kita yang alami itu, tapi ingat jangan berlebihan dan semua ada batasnya,” katanya.
Kenyataan menunjukkan bahwa segala masalah yang mendera kehidupan karena sikap berlebihan melampaui batas. Artinya dapat dikatakan nilai tawasuth berlaku tidak hanya sekadar soal urusan makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis semata, akan tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan.
“Maka melalui puasa Ramadhan dan Idul Fitri mari bangun sikap hidup tengahan dan tidak berlebihan. Urusan dunia, urusan agama mari kita bawa ke titik tengah supaya tidak berlebihan. Karena sesuatu berlebihan sering menimbulkan masalah. Kita menghindari masalah,” sebutnya.
Kedua, nilai keadaban. Haedar merespons kemajuan media sosial membuat nilai-nilai keadaban menjadi luruh. Era sekarang terjadi kekacauan nilai dalam hal etika menyangkut kebaikan, keburukan, kepantasan, dan ketidakpantasan.
“Orang Islam diajari batas nilai tentang baik, buruk, pantas, tidak pantas. Jadi, dimensi keadaban ini harus menjadi agenda kita. Tapi mohon pendekatan kita jangan serba normatif. Sesuatu yang normatif harus kita eloborasi menjadi nilai yang hidup sehingga mengalami proses transformasi,” ujarnya.
Ketiga, nilai persaudaraan (ukhuwah). Persaudaraan sangat penting direkatkan dalam kehidupan. Terlebih lagi umat Islam, menjadi kewajiban bersama. Tetapi bagi Haedar hal itu tidak mudah di ejawantahkan, sebab jika sudah menyangkut kepentingan personal, kelompok, organisasi, maka persaudaraan menjadi pupus seketika.
“Jadi, ukhuwah itu gampang diucapkan, tetapi dipraktikkannya yang susah. Maka mari kita rawat mozaik persaudaraan lintas batas ini dengan ikhtiar kolektif,” tegasnya. (Cris)