Memasak Menggunakan Tungku

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
157
Cerpen SM 16 2023

Cerpen SM 16 2023

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Setiap pagi aku menikmati asap yang mengepul dari dapur. Asap yang dihasilkan oleh kayu yang dibakar untuk menanak nasi atau apapun yang sedang dimatangkan di atas tungku. Di dapur memang sudah dibuat jalan keluar asap, namun jalan itu tidak begitu lebar sehingga sebagian asap itu masih bergumul di dalam rumah. Paling nyata terkena imbasnya adalah kamarku. Kamarku berdekatan dengan dapur. Dindingnya menjadi tampak kusam. 

Aku tidak ingat, kapan ibu mulai menggunakan tungku untuk memasak. Kata ibu masakan yang proses pematangannya dengan tungku akan lebih enak rasanya dibanding kompor gas. Bapak mengaminkan ucapan ibu. Aku tidak pernah merasakan perbedaannya. Di lidahku rasanya sama saja. 

“Makanan yang dimasak dengan tungku, asapnya tidak akan mengubah rasa masakan. Justru asap itu melezatkan makanan. Berbeda ketika memasak dengan kompor gas. Akan ada bau gas kimia pada makanan yang dihasilkan,” terang ibu pada suatu hari. 

“Bagaimana ceritanya asap bisa mengenakkan makanan? Teorinya siapa itu?” 

“Kebiasaan, kalau dikasih tahu malah ngeyel.”

Sebenarnya aku tidak pernah mempermasalahkan tungku ibu. Kuakui ibu bukan perempuan modern, seperti ibu para teman-temanku. Ibu hanyalah perempuan desa yang tidak mempunyai wawasan luas. Pendidikannya saja hanya sampai kelas satu sekolah menengah pertama. Ibu tidak punya dan tidak dapat menggunakan alat komunikasi. Bapak masih mending. Ia bisa memainkan hp, meskipun hp jadul berlayar kuning. Aku tidak begitu tahu, apa yang membuat bapak setia pada hp jadulnya dan tidak pernah berusaha untuk membeli hp baru. 

Rata-rata temanku di perkuliahan orang berada. Aku sering berkunjung ke kediaman teman-temanku yang bukan perantau. Rumah mereka enak dipandang. Sedangkan bagi mereka yang perantau, selalu meminta agar diberitahu tempat tinggal yang bukan anak rantau. Alasan mereka klise, ingin silaturrahmi. 

Keadaan rumahku yang biasa-biasa saja dan terletak di desa, membuatku selalu mencari alasan, bagaimana caranya supaya mereka tidak berkunjung ke rumah. Ada rasa malu menyelimutiku. Mungkin kesederhanaan rumah masih bisa kuterima, namun keadaan dapur? Aku membayangkan bagaimana jika teman-temanku berkunjung ke rumah, lalu mereka ingin buang air kecil. Sementara bila hendak ke kamar mandi, mau tidak mau harus melewati dapur yang penuh jelaga. Aku takut mereka tidak akan mau ke rumahku lagi setelah melihat tungku yang penuh abu. 

Aku mendesak ibu untuk mengganti tungku dengan kompor gas. Kujelaskan mengenai teman-temanku kepadanya. Ibu mendengar dengan khidmat. Selesai kupaparkan apa yang kugelisahkan, ibu menanggapi dengan kata-kata yang membuatku kesal. 

“Kenapa kamu merisaukan itu? Lagi pula tidak ada yang mengundang ke sini. Kalau mau ya kondisinya seperti ini, kalau tidak ya sudah. Toh, tanpa mereka berkunjung, kita tidak akan dibuat rugi.” 

“Apa susahnya ganti tungku dengan kompor gas, Bu? Tetangga dekat-dekat rumah kita hampir seluruhnya menggunakan kompor gas. Ini memang desa, namun pada akhirnya mereka juga mencari yang mudah dan cepat.” 

“Sekarang cobalah untuk berpikir positif. Jangan berpikir, mereka tidak akan ke sini lagi setelah tahu keadaan rumah, terutama dapur yang seperti itu. Kenapa tidak berpikir, bisa jadi keadaan yang seperti itu, membuat mereka ketagihan ke sini. Tidak selamanya orang tergiur dengan yang wah dan gemerlap.” 

Berkali-kali aku membujuk ibu untuk beralih ke kompor gas. Bujukanku hanya membentur tembok pendirian ibu yang begitu kokoh. Aku semakin gelisah. Mau tidak mau, keadaan menuntutku berpikir lebih keras untuk menemukan alasan-alasan yang masuk akal agar teman-temanku tidak datang ke rumah. Alasan-alasan yang kuucapkan pada mereka, bisa membuat bertahan hingga setidaknya jelang semester empat berakhir. 

Kini aku mulai was-was. Ibu tidak juga berganti ke kompor gas. Aku kembali getol mendesak ibu untuk meninggalkan tungku. Kali ini permasalahannya sedikit lebih rumit. Bukan hanya soal teman-temanku. Aku menakutkan sesuatu yang lebih buruk menimpaku. Aku memiliki seorang kekasih. Ia sudah mengejar-ngejar agar dikenalkan pada bapak-ibuku. Agaknya ia ingin aku menyeriusinya meski kami masih di bangku kuliah. Melihat bagaimana dirinya sehari-hari, aku semakin khawatir dan ciut nyali untuk membawa ke rumah—ia orang kota, dan hidupnya dijalani seperti layaknya orang kota. Sebab itu, aku tidak begitu yakin ia bisa menerima keluargaku. Mungkin bagi sebagian orang, ini terlihat sepele. Aku merasa hal ini begitu berat untuk kuhadapi. 

Apabila aku berada dalam kelompok orang yang menganggap sepele masalah ini, aku tidak akan terlalu risau semisal kekasihku memutuskan hubungan ini hanya gara-gara keadaan rumah terutama dapur yang seperti itu. Perempuan banyak. Aku bisa cari yang lain. Tapi nyatanya aku tidak masuk ke dalam kelompok itu. Aku tidak mau hubunganku berakhir. Selain aku hanya pernah berpacaran satu kali, kekasihku kali ini terlampau cantik. Teman-temanku mengakui itu. Jadi sayang seribu sayang, bila ia terlepas begitu saja dari genggamanku. 

Kukatakan pada ibu mengenai kekasihku. Aku memohon kembali padanya dengan wajah memelas. Pada awalnya ibu seperti yang telah lalu. Tidak mendengar sama sekali omonganku. Aku tidak putus asa. Keadaanlah yang membuatku tidak berputus asa. Akhirnya ibu luluh suatu ketika. Ia mau beralih ke kompor gas, asalkan aku mengenalkan kekasihku padanya. Bapak sendiri sudah antusias sejak pertama kali aku katakan jika aku punya pacar. Ia juga turut ikut serta menyuruh ibu beralih ke kompor gas. Agaknya bapak memikirkanku juga. 

Aku telah mengenalkan kekasihku. Ibu sudah beralih ke kompor gas, meski dengan sedikit perasaan takut karena seumur-umur tidak pernah memakai alat itu—sebelum berganti kompor gas, aku telah membersihkan tembok dapur yang kusam akibat asap. Ibu takut tabung gas meledak. Aku lega. Keadaan dapur tidak lagi menjadi masalah. 

Suatu pagi—tiga bulan kemudian—aku bangun dengan suasana hening. Maksudku tidak ada suara yang menandakan ibu sedang menggoreng sesuatu atau ibu sedang mengiris bumbu. Aku tidak mencium bau masakan. Setelah kulihat, di dapur memang tidak ada ibu. Bapak menonton televisi di ruang tamu. Kutanyakan padanya, ke mana ibu? 

Kata bapak ibu di samping rumah. Aroma kayu dibakar masuk ke hidungku. Saat di samping rumah aku terkejut. Ibu sedang menggenahkan kayu di tungku. Asap mengepul begitu tebal. Ibu meniup-niup, sampai air matanya keluar. Pikiranku langsung tidak karuan. Ini tentu bukan sesuatu yang baik bagiku. Tahu ibu akan kembali menggunakan tungku, aku memecah tungku itu, batinku. 

“Mengapa menggunakan tungku lagi, Bu? Sudah enak-enak menggunakan kompor gas. Ibu sendiri kan yang bilang, ternyata memakai kompor gas itu enak, tinggal cetet, api langsung menyala,” ucapku dengan gelisah. 

“Memang enak. Ibu tetap akan memakai kompor gas. Tapi ibu juga tidak akan meninggalkan tungku. Kamu tahu kenapa?” 

“Kenapa, Bu?” 

“Ibu kembali menggunakan tungku untuk membantu orang. Ibu menyesal baru menyadari kemarin.” 

Perkataan ibu terdengar misterius. 

“Ketahuilah, Le. Semenjak ibu menurutimu, ibu jadi mematikan rezeki Mbah Midah. Hidupnya hanya bertumpu pada berjualan kayu bakar. Ibu merasa berdosa. Dengan berganti kompor gas, ibu jadi tidak pernah lagi beli kayu bakarnya. Apakah kamu pernah memikirkan hal ini?” 

Deg! Seketika wajah Mbah Midah, seorang janda berusia tujuh puluhan tahun berkelebat di benakku. Mbah Midah adalah tetanggaku. Tidak ada hal lain untuk bertahan hidup kecuali berjualan kayu bakar. Dadaku sesak. Aku masih membayangkan Mbah Midah. Mungkin Mbah Midah terus menanti ibu datang ke rumahnya. Selama ini memang ibu membeli kayu di sana. Aku benar-benar tidak menyangka. Ada sedikit penyesalan menyelinap ke relung hatiku. Jelas, memberi rezeki Mbah Midah akan lebih membahagiakan daripada memenuhi nafsu. Aku terlalu egois memang. 

Semua sudah terjadi. Aku tidak melarang ibu, setelah mengetahui alasan ibu kembali menggunakan tungku, tanpa meninggalkan kompor gas tentunya. Toh, posisi tungku ada di samping rumah, kukira kekasihku tidak akan terlalu peduli dengan keadaan samping rumah. Tapi itu tidak membuat hatiku tenang, setelah kekasihku semakin sering berkunjung ke rumah. 

Di sebuah sore. Pulang kuliah, aku langsung disambut dengan hidangan yang masih hangat di meja makan. Rasa laparku langsung menjadi-jadi. Menu hari ini, semur telur, menu kesukaanku. Semur kali ini terasa lebih enak. Aku makan dengan lahap, terburu-buru, seakan dua hari dua malam perut tidak terisi. 

“Enak ya?” tiba-tiba ibu nyeletuk. 

“Ibu beli ya, Bu?” tanyaku. “Enak sekali.” 

“Enak saja beli. Itu karena masaknya pakai tungku. Sekarang kamu bisa merasakan kalau memasak dengan tungku dan kompor gas itu beda rasanya kan?” 

Kata-kata ibu seperti mengingatkanku masa-masa di mana kompor gas belum hadir di rumah ini. Aku baru sadar sekarang, ternyata masakan yang dimatangkan dengan tungku lebih enak. Aku sudah menemukan perbedaannya. Ini memang sulit sekali diungkapkan. Namun dapat kurasakan. Ahh, kenapa baru hari ini aku sadar. 

“Tapi ada sesuatu yang membuat semur itu terasa lebih enak, selain dimasak menggunakan tungku.” 

Aku langsung menghentikan kunyahanku. 

“Kamu mau tahu?” 

“Apa, Bu?” tanyaku, sembari melanjutkan kunyahan. 

“Semur itu kekasihmu yang memasak. Semur ini dimasak dengan tungku.”•

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

TASIKMALAYA, Suara Muhammadiyah – Kejuaraan Wilayah (Kejurwil) Tapak Suci Jawa Barat yang dige....

Suara Muhammadiyah

29 October 2024

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Peryarikatan Muhammadiyah di lingkungan Pimpinan Cabang Muhammadiyah D....

Suara Muhammadiyah

29 January 2024

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir beserta jaj....

Suara Muhammadiyah

18 September 2024

Berita

BANYUMAS, Suara Muhammadiyah - Mahasiswa Program Studi Manajemen S1 Universitas Muhammadiyah Pu....

Suara Muhammadiyah

29 October 2023

Berita

BREBES, Suara Muhammadiyah - Pimpinan Cabang Muhammadiyah  (PCM) Sirampog menggelar acara ....

Suara Muhammadiyah

18 April 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah