Menggagas Koperasi Merah Putih Syariah: Jalan Tengah Keadilan di Tengah Ketimpangan
Oleh: Rafiq Azzam Al Afif, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta
Di tengah gempuran kapitalisme modern yang menjadikan kekayaan berputar hanya di tangan segelintir orang, hadirnya Koperasi Merah Putih menjadi oase baru bagi upaya keadilan ekonomi umat. Ia bukan sekadar lembaga keuangan rakyat, tetapi merupakan aktualisasi nilai-nilai Islam dalam praktik ekonomi mikro yang inklusif dan berkelanjutan.
Data yang dirilis World Inequality Database (2024) menunjukkan bahwa 59,4% total kekayaan nasional dikuasai hanya oleh 10% orang terkaya di Indonesia. Sementara itu 50% dari penduduk kelas bawah hanya mampu mengakses tidak lebih dari 5%. Sungguh miris, ketimpangan seperti ini memperbesar risiko marginalisasi sosial dan memperlemah daya saing kelompok kelas bawah dalam perekonomian.
Di sisi lain, pengangguran juga masih menjadi masalah besar. Badan Pusat Statistik (2025) melaporkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka mencapai 4,76%, atau setara dengan 7,28 juta orang. Badai ketidakpastian global karena perlambatan permintaan dan fluktuasi biaya produksi juga menjadi beban tersendiri bagi industri padat karya domestik. Sepanjang tahun 2024 Kemenaker mencatat bahwa lebih dari 120.000 pekerja formal di industri besar seperti tekstil, manufaktur, dan teknologi mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Realitas ini memperlihatkan bahwa sistem ekonomi yang terlalu berpihak pada pemilik modal besar tidak cukup menjawab kebutuhan dasar umat. Di sinilah posisi Koperasi Merah Putih hadir sebagai bentuk jalan tengah yang mewarakan konsep berekonomi berbasis nilai, keadilan distribusi, dan solidaritas sosial. Hadirnya diharapkan menjadi salah satu ikhtiar kolektif untuk mengembalikan ruh kemanusiaan dalam ekonomi.
Dalam perspektif mikroekonomi Islam, koperasi sejatinya adalah manifestasi konkret dari prinsip tauhid, keadilan, dan ukhuwah iqtishadiyah (persaudaraan ekonomi). Koperasi tidak berorientasi tunggal hanya pada keuntungan individu, tetapi menekankan aspek kebermanfaatan luas dan keseimbangan antara hak individu dan hak kolektif.
Dalam hal ini, Koperasi Merah Putih seharusnya tidak menerapkan sistem bunga melainkan menerapkan skema bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah yang lebih adil dan transparan. Dengan menerapkan sistem bunga justru akan mencederai prinsip keadilan yang seharusnya ada dalam pedoman operasionalnya. Prinsip adil juga ditunjukkan pada proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara demokratis melalui musyawarah, dimana ini mencerminkan prinsip syura dalam tata kelola.
Dalam kerangka Islamic Moral Economy, aktivitas ekonomi tidak cukup dilandasi rasionalitas semata, tetapi juga harus bermuara pada nilai-nilai etik dan spiritual. Konsep homo Islamicus lahir sebagai kritik terhadap homo economicus yang mendewakan efisiensi dan utilitas. Dalam hal ini Koperasi Merah Putih menjadi ruang pendidikan kolektif di mana anggota belajar untuk tidak hanya bertindak sebagai konsumen atau produsen, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas yang saling menguatkan. Saling belajar untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya keberkahan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial dalam setiap transaksi ekonomi.
Jika dijalankan secara konsisten, koperasi dengan landasan Islamic Moral Economy akan membentuk modal sosial dan spiritual yang menjadi basis bagi perubahan struktural ekonomi dan bukan sekedar perbaikan permukaan yang bersifat kosmetik.
Dari akar ke struktur – Meski bergerak di level mikro, koperasi seperti Koperasi Merah Putih berpeluang besar menyumbang dampak signifikan terhadap ekonomi nasional. Pertama, ekosistem yang diciptakan koperasi mampu menjadi penyerap tenaga kerja, khususnya di sektor informal dan pedesaan yang kerap diabaikan sektor industri besar. Kedua, koperasi mampu mendorong pertumbuhan UMKM, yang menurut data dari Kemenkop UKM sudah berkontribusi lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Ketiga, koperasi berpeluang mampu mendorong daya beli kelompok bawah melalui akses pembiayaan yang adil dan berbasis nilai, yang pada gilirannya akan menjaga stabilitas permintaan dalam negeri.
Efek jangka panjang yang dirasakan dengan hadirnya koperasi, diharapkan mampu berperan menekan ketimpangan ekonomi dengan mekanisme redistribusi surplus yang adil dan partisipatif. Hal ini bukan hanya menciptakan kesejahteraan, tetapi juga memperkuat stabilitas sosial dan ekonomi nasional.
Di sinilah letak pentingnya koperasi sebagai jangkar ekonomi umat, ia akan lebih baik jika bukan hanya sekedar proyek ekonomi nasional, tetapi juga mampu menjadi ruang etika, pembelajaran, dan perjuangan. Koperasi Merah Putih lahir dari kebutuhan masyarakat untuk mandiri secara ekonomi dan akan lebih baik jika berpijak pada prinsip-prinsip tauhid, keadilan, dan ukhuwah iqtishadiyah.
Di tengah kondisi global yang semakin tidak menentu, koperasi seperti inilah yang mampu menjadi alternatif nyata, yang mampu menstabilkan, memberdayakan, dan memberi harapan. Sebagaimana dalam ajaran Islam, penting kiranya agar harta dan kekayaan tidak terus-menerus berputar di lingkaran kelompok tertentu semata, tetapi turut memberi manfaat lebih luas bagi seluruh lapisan masyarakat.