PEKALONGAN, Suara Muhammadiyah - Di tengah acara Munas Tarjih ke-32, Al Yasa Abubakar salah satu pemateri dalam acara tersebut mengatakan bahwa, Dinamika Pengembangan Manhaj Istinbath Hukum Islam dalam Merespon Problematika Kontemporer menjadi tema yang diberikan panitia kepadanya. Menurut Yasa, tema ini relatif sangat luas di samping tentu sangat menarik, karena dapat dimaknai sebagai upaya tajdid (pembaharuan) ushul fiqih (24/2).
Berbicara tentang tajdid atau pembaharuan, hakikatnya adalah upaya mencari sesuatu yang baru, yang secara langsung membawa kita keluar dari apa yang selama ini telah tersistem. Berpikir melintas batas; dalam arti siap menerima sesuatu yang baru, yang berbeda dengan apa yang selama ini digunakan, dimiliki, atau diketahui.
Menurutnya kesediaan untuk masuk ke ranah tajdid, berarti ada kesediaan untuk tidak mudah terkejut, tidak langsung menolak, atau langsung menerima. Ada kesediaan untuk bersedia merenung, membanding, mencerna dan legowo untuk menerima, sekiranya apa yang dicapai, didengar atau disimpulkan itu dianggap memenuhi syarat secara ilmiah, lebih baik dan lebih bermanfaat dari apa yang selama ini ada (digunakan) dan tidak menyalahi dalil terutama sekali Al-qur’an dan Sunnah.
Untuk memahami pembaharaun di bidang ushul fiqih, maka perlu sekedar pengetahuan tentang definisi ushul fiqih. Di kalangan ulama paling kurang ada dua redaksi definsi ushul fiqih yang sering digunakan. Pertama, ushul fiqih dianggap sebagai kaidah-kaidah yang mesti diketahui (diperlukan) untuk mengistinbatkan hukum syara dari dalilnya yang tertentu.
Kedua, ushul fiqih dianggap sebagai kaidah-kaidah (pembahasan-pembahasan) tentang dalil-dalil syara`; tentang metode istinbath; tentang hukum syara`nya sendiri dan tentang orang yang dianggap berwenang untuk melakukan istinbath.
Definisi yang kedua secara tidak langsung mencerminkan isi ushul fiqih dalam pemahaman umum, yang berisi empat bidang, yang boleh dikatakan dimulai di masa al- Ghazali (505 H /111 M). Imam Asy-Syathibi (760 H/1388 M) ditambah denan satu bidang lagi, yaitu tentang maqashid syariah. Dengan demikian ushul fiqih berisi lima bidang pembahasan, tetapi banyak buku ushul fiqih yang hanya menyebutkan empat, mengiktui definisi di atas. Dengan demikian sekiranya berbicara tentang tajdid ushul fiqih secara mencakup dan sungguh-sungguh, maka mesti meliputi lima bidang di atas, tidak cukup hanya dengan salah satu bidang saja. Jadi tidak cukup kalau tajdid hanya dilakukan pada metode istinbatnya saja, tanpa berusaha untuk menyentuh empat bidang lainnya.
Sekiranya menggunakan peristilahan ilmiah yang sekarang berkembang, maka ushul fiqih masuk ke dalam kelompok pengetahuan tentang metode (metodologi), yang dalam peristilahan kajian Islam sendiri disebut sebagai ilmu alat (salah satu ilmu alat).
“Jadi sebagai pengetahuan tentang metode, maka tujuan mempelajarinya adalah untuk mampu memanfaatkannnya sebagai alat, dalam hal ini alat (metode) untuk menghasilkan fiqih. Dengan demikian, upaya pembaharuan pada ushul fiqh pada intinya adalah upaya untuk memperbaharui alat atau metode untuk menafsirkan (memahami) Al-qur’an dan hadis guna menemukan fiqih (hukum syara` yang akan dilekatkan kepada perbuatan mukallaf). Di dalam kenyataan upaya pembaharuan ini tidak hanya terbatas pada upaya memperbaharui metode penafsiran (manhaj istinbath)-nya saja, tetapi meliputi juga semua kaidah (hal) yang menjadi isi ushul fiqih, yaitu lima bidang yang diatas sudah disebutkan,” ujarnya.
Mengenai persyaratan ijtihad (mujtahid) cenderung belum dibahas secara memadai, baik pada masa dahulu dan juga pada masa sekarang. Siapa yang dikatakan mujtahid atau berhak melakukan ijtihad pada masa sekarang cenderung belum dibahas dan didiskusikan. Apakah mujtahid mesti selalu dalam bentuk orang perorangan secara individual yaitu ulama atau cendekiawan; apakah mereka ini memerlukan syarat formal, atau cukup terpulang kepada masing-masing individu dan penghargaan masyarakat;
“Apakah lembaga seperti DPR dan Pemerintah dapat diterima sebagai pelaku ijtihad, dan apakah produk mereka (UU atau PP) dapat disebut sebagai fiqih (hasil ijtihad). Contoh lainnya, apakah hasil MUNAS TARJIH ini dapat dianggap sebagai hasil ijtihad dan apakah orang-orang yang hadir dalam MUNAS ini mesti memenuhi persyaratan formal sebagai mujtahid agar hasil MUNAS dianggap sebagai hasil ijtihad,” tegasnya.
Dalam perspektif Tarjih, fikih tidak cuma sekedar soal halal, haram atau wajib, mubah atau makruh saja. Dalam perspektif Tarjih, fikih merupakan himpunan nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), asas-asas (al-ushul al-kulliyyah), di samping ketentuan- ketentuan detil agama yang mengatur kehidupan umat dan hubungan-hubungan yang ada di dalamnya baik hubungan horizontal (sesama manusia dan dengan alam), atupun hubungan vertikal (hubungan kepada Sang Khalik). Oleh karena itu dalam putusan- putusan Tarjih ini terlihat bahwa pembicaraan mengenai suatu masalah tidka selalau dari segi halal haram, boleh atau tidak boleh, meskipun ini juga adalah bagian dari fikih. Sebaliknya dalam putusan ini permasalahan yang dibicarakan, juga dilihat dari segi asas- asas umum seperti pembicaraan tentang fikih tata kelola dan fikih lainnya. Bahkan permasalahannya juga dili-hat nilai-nilai dasar fikih, yaitu prinsip-prinsip universal ajaran Islam, seperti tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan, persamaan, kebebasan, persaudaraan, dan lain-lain prinsip universal ajaran Islam.
Dengan jalan pikiran di atas, PP dan MTT memberi nama beberapa dokumen (produk) yang dihasilkan, yang tidak sepenuhnya berisi peristilah hukum syara (hukum taklifi dan wadh`i) dengan nama fiiqh, misalnya saja dokumen yang diebri nama Fikih Tata Kelola, Fikih Air, Fikih Kebencanaan, Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah, Tuntunan Manasik haji, dan beberapa lagi yang lainnya.
Dapat disebutkan adanya pembahasan dan penerimaan atas pertingkatan norma menjadi berjenjang tiga dari sebelumnya hanya satu jenjang, telah memunculkan perubahan pada definisi dan isi fiqih.
Seperti terlihat perubahan pada pengertian dan isi norma hukum di atas, yang masih terbatas pada hukum taklifi, telah menimbulkan pengaruh yang relatif besar pada fiqih, lalu bagaimana kira-kira perubahan yang akan terjadi sekiranya pada hukum wadh`i pun dilakukan perubahan, yang sekarang tentu belum terbayangkan.
MTT sebagai salah satu lembaga yang peduli tentang tajdid dan berupaya merumuskan ushul fiqih yang diharapkan mampu menggunakan bahasa (standar) pengetahuan ilmiah masa sekarang di satu segi, dan tetap berada dalam bingkai tradisi fiqih, tidak tercerabut dari akar sejarahnya di segi yang lain, menurut penulis mestilah berusaha melahirkan ushul fiqih (metodologi) yang dapat diangap memenuhi kriteria pengetahuan ilmiah masa kini. Dalam perkiraan saya akan sangat baik dan akan membanggakan sekiranya MTT-PPM mempunyai penjelasan tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi dari ushul fiqih dan fiqih yang akan ditajdid dan dikembangkannya. (gsh/diko)