BANTUL, Suara Muhammadiyah - Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhammad Rofiq Muzakir, PhD, dalam Forum Group Discussion yang dilaksanakan oleh Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Ahad (7/9) di Gedung Tabligh Institute Muhammadiyah, Tamantirto, Kasihan, Bantul dengan mengusung tema “Risalah Islam Berkemajuan dalam Perspektif Tafsir dan Pemikiran Peradaban.”
Menegaskan bahwa Muhammadiyah mengidentifikasi diri sebagai gerakan Islam berkemajuan. Dalam Risalah Islam Berkemajuan, ditemukan sejumlah kata kunci yang menggambarkan gambaran makna kemajuan sebagaimana dipahami oleh Muhammadiyah. Pertama, kemajuan dimaknai sebagai keunggulan hidup; Artinya, kemajuan tidak hanya diukur dari aspek material, teknologi, atau ekonomi. Kedua, kemajuan diwujudkan sebagai rahmat atau kebaikan bagi semesta kehidupan, yang berarti orientasi Islam berkemajuan bukan eksklusif untuk umat Islam semata. Ketiga, kemajuan dipersepsi sebagai reformasi, modernisasi, dan pencerahan.
Dalam penjelasannya, Rofiq menegaskan bahwa konsep kemajuan erat dengan tradisi yang sejak awal menjadi identitas Muhammadiyah. Konsep ini juga tidak bisa dilepaskan dari diskusi global, khususnya Barat. Muhammadiyah melalui Risalah Islam Berkemajuan menempatkan dirinya dalam dialog global mengenai makna kemajuan, namun dengan memberikan tafsir khas yang bersumber dari ajaran Islam.
Lebih lanjut, Rofiq mengkritik perkembangan konsep di dunia Barat. “Konsep kemajuan di dunia Barat cenderung bersifat materialistis. Kemajuan umumnya dimaknai dalam bentuk pencapaian-pencapaian duniawi, seperti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pencapaian ekonomi. Meskipun aspek ini penting, berorientasi pada materi dan mengabaikan dimensi spiritual,” jelasnya.
Ia mengutip pandangan Charles Taylor tentang sekularitas modern. “Ia menyebut zaman di mana kita hidup bukan lagi sesuatu yang dianggap sebagai take for grant (pasti), tetapi adalah suatu pilihan di antara banyak pilihan. Sekuleritas zaman modern membawa manusia ke bingkai imanen (kerangka pikir materi-duniawi) yang tidak mempertimbangkan bingkai transendensi (kerangka berpikir non-duniawi),” ungkapnya.
Rofiq juga mendidik dampak ekologis. “Orientasi kemajuan yang sepenuhnya materialistis mendorong eksploitasi sumber daya alam tanpa batas, yang pada pasangannya menimbulkan krisis ekologi dan mengancam keberlangsungan kehidupan manusia,” paparnya.
Selain itu, ia menilai ada dimensi lain yang melekat pada kemajuan konsep Barat. “Kelemahan adalah watak rasis yang melekat dalam konsep kemajuan Barat. Dengan menafsirkan sejarah sebagai proses linier menuju satu titik puncak, peradaban Barat memposisikan dirinya sebagai entitas yang mewakili ' puncak kemajuan' . Memperparahnya, peradaban lain dianggap tertinggal, bahkan tidak beradab. Cara pandang ini yang kemudian melahirkan kolonialisme,” ujarnya.
Rofiq juga menyinggung kritik pascakolonial. “Konsep kemajuan Barat dianggap memahami perjalanan sejarah secara linier, dari titik awal yang negatif menuju masa depan yang lebih baik, dengan asumsi bahwa masa depan selalu lebih maju dibandingkan masa lalu. Masa lalu digambarkan sebagai periode ketidakmatangan, bahkan kerap dilabeli sebagai ' barbar ' dan ' savage ',” tuturnya.
Lebih jauh lagi, ia mengutip pandangan kontemporer. “Seorang pemikir dari Maroko bahkan menggambarkan sikap fobia Barat terhadap masa lalunya sendiri. Menurutnya, Barat berlari dari masa lalunya, bahkan terlalu jauh, dengan ketakutan, layaknya orang berlari dari kematian. Hal ini dapat dipahami mengingat sejarah masa lalu Barat memang dipenuhi kompleksitas, yang dipandangnya zaman kegelapan atau zaman kegelapan, kemudian diikuti oleh renaisans dan pencerahan,” tutupnya.
Sementara itu, Rofiq menambahkan bahwa konsep kemajuan yang dianut Muhammadiyah memiliki sifat yang khas dan unik, sehingga dapat ditarik garis demarkasi yang jelas dengan pemahaman kemajuan dalam pandangan dunia Barat. Menurutnya, Muhammadiyah menekankan bahwa kemajuan bukan sekadar kemajuan materiil, melainkan mencakup keunggulan hidup secara lahiriah dan rohaniah. Definisi ini, lanjut Taufik, bersumber langsung dari nilai-nilai Qur'ani.
Salah satu konsep yang dijadikan landasan adalah al-Ihsan, yang disebut lebih dari seratus kali dalam Al-Qur'an. Misalnya dalam QS. al-Qashash ayat 77, Allah memerintahkan manusia untuk mencari kebahagiaan akhirat tanpa melupakan bagian dari kehidupan dunia. Ayat ini, menurutnya, mengajarkan bahwa keunggulan dunia tetap penting, namun orientasi tertinggi manusia adalah kehidupan akhirat. Konsep ihsan dengan demikian dapat dipahami sebagai landasan gagasan kemajuan, yakni upaya sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban hingga melampaui batas minimal demi menghadirkan kualitas terbaik dalam kehidupan.
Selain ihsan, Rofiq juga menekankan pentingnya konsep Ar-rahmah sebagai dasar risalah Islam berkemajuan. “Al-Qur'an menegaskan melalui ayat wa mā arsalnāka illā raḥmatan lil-'ālamīn bahwa kemajuan dalam perspektif Muhammadiyah dipahami sebagai keberkahan dan kebaikan yang bersifat inklusif, melampaui batas identitas umat Islam, serta mencakup seluruh aspek kehidupan semesta,” tandasnya. (Indra/Nurvi)