YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan Orasi Penerima Anugerah Hamengkubuwono IX dari Universitas Gajah Mada. Orasi ini disampaikan dihadapan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Kamis (19/12) di Bangsal Srimanganti Kraton Yogyakarta.
Dalam orasinya, Haedar menyoroti pada kasus persoalan tak berkesudahan seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, politik transaksional, dan persoalan-persoalan pelik lainnya. Juga judi online, narkoba, pembunuhan membuat kehidupan jadi abu-abu. Ini merupakan peluruhan etika dan moral yang terjadi di tubuh bangsa.
"Semuanya selain menyangkut aspek hukum, beririsan dengan dimensi moral dan etika yang bagi sebagian pandangan justru berada di atas hukum," katanya.
Dalam konteks dimensi etika dan moral, Haedar menegaskan tidak boleh dianggap masalah sepele. Karena hal ini menyangkut ihwal urusan qimah (nilai) baik dan buruk yang merupakan manifestasi dari martabat ruhani dan akal budi manusia.
"Persoalan moral dan etika tidak dapat dimarjinalisasikan sebagai urusan domestik dan privat, sebab dalam kehidupan bangsa yang dikenal maju dan sekular-modern pun keduanya masih dijunjung tinggi," ujarnya.
Pelanggaran etika dan moral yang diterabas orientasinya hanya untuk memenuhi kepuasan kekuasaan dalam jangka sesaat. Apalagi dilakukan para pejabat publik, yang niscaya memberikan pancaran keteladanan, bukan malah memberikan cerminan inferior kepada rakyat.
"Problem etika terkait dengan kondisi moral atau akhlak suatu bangsa. Ini terkait dengan kondisi mentalitas yang masih melekat dengan kelemahan karakter masyarakat Indonesia," tuturnya.
Menyoal hal tersebut, menukil Romo Magnis Suseno, hendaknya etika bernegara harus diperbaiki. Tentu saja penting dan relevan karena melihat denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia yang memiliki pijakan utama nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa.
"Saya merasa prihatin dengan situasi di negara kita ini. Kiranya perlu kita serukan kembali agar etika mendapatkan tempatnya. Kita ingin bahwa bukan hanya kepentingan kekuasaan mereka yang berkuasa," ungkapnya mengutip pernyataan ahli filsafat ternama itu.
Kalau hal demikian tidak direspons dengan saksama seraya menghadirkan langkah-langkah konstruktif, maka akan terjadi disorientasi (kehilangan arah). Dampaknya tidak dapat mengetahui secara kentara mana yang benar, salah, pantas, dan tidak pantas. Karena itu, Haedar menawarkan transformasi mentalitas untuk memperbaiki masalah tersebut.
"Tidak ada kata terlambat jika ingin melakukan perubahan dalam kehidupan kebangsaan. Khususnya dalam mengahadapi masalah moral dan etika, yang muaranya pada sistem nilai berbangsa dan bernegara," tegasnya.
Transformasi mentalitas beralas pada nilai luhur Pancasila, nilai kegamangan, dan nilai kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat. “Nilai-nilai tersebut masih relevan, namun membutuhkan penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan dinamika dan tantangan zaman,” tandasnya. (Cris)