JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental, Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PP NA) gelar seminar “When Mom is Happy, Everyone is Happy” yang diadakan pada Sabtu, (28/10/2023) melalui Zoom Meeting. Seminar ini bertujuan Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan peran dan kerjasama orang tua dalam pengasuhan anak. Adapun melalui seminar ini dikaji tiga topik yang berkaitan dengan tema utama. Ketiga topik itu disampaikan secara daring oleh Winda Susra, Elisa Kurniadewi, dan Rahmat Hidayat.
Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah Ariati Dina Puspitasari kegiatan ini terselenggara karena bantuan dari berbagai pihak. “Tanpanya kegiatan ini hanya diketahui oleh sebagian kecil anggota PP NA,” ujar Ariati.
Ariati juga menjelaskan bahwa kesehatan mental di Indonesia yang dilansir dari Kemenkes banyak dialami oleh perempuan dengan rentang usia 10-35 tahun dengan presentasi paling besar mengalami depresi dan bahkan mengakibatkan bunuh diri. “Mengapa anak-anak ikut depresi dan stres? 10-17 tahun itu masih kategori remaja. Peran ibu ketika ibu happy, anak dan keluarga bisa menjadi lebih bahagia, jauh dari gangguan kesehatan mental,” kata Arianti.
New Mom: Adaptasi dan Antisipasi
Pada sesi pertama, Winda Susra yang merupakan seorang dokter, ibu muda sekaligus anggota Departemen Kesehatan dan Lingkungan PPNA berbagi informasi dengan tema “New Mom: Adaptasi dan Antisipasi”.
Winda Susra menyampaikan bahwa seorang ibu muda yang baru pertama kali menjadi seorang ibu rentan mengalami depresi, apalagi setelah kelahiran bayi. “Seorang ibu muda (new mom) pasti mengalami perubahan, baik secara fisik atau mental sehingga harus mampu beradaptasi,” kata Winda.
Winda juga menjelaskan bahwa akan ada beragam tantangan yang dihadapi seorang ibu muda ketika baru pertama kali hamil/melahirkan. Seorang ibu harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada pada tubuh. “Kita harus bisa mempersiapkan diri ketika tubuh yang tiba-tiba menggemuk, tapi hal itu sebetulnya jika ada kemauan bisa diubah,” jelas Winda.
Lebih lanjut, Winda menyampaikan tantangan lain yang dihadapi seorang ibu muda. “Adakalanya new mom akan merasa tidak sempurna, merasa kesepian, punya sedikit waktu me-time, sulit mendapatkan tidur yang cukup, memastikan bayi mendapatkan ASI yang cukup, dan juga mengalami dilema karir,” ujar Winda.
Dari semua tantangan yang ada Winda berpesan agar masukan dan kritikan terkait cara pengasuhan anak dari berbagai pihak tidak perlu diterima semua karena bisa mempengaruhi mental seorang ibu. “Di samping itu, me time itu penting bagi seorang ibu, misalnya melihat-lihat marketplace, membeli ice cream, atau sekadar memberikan waktu makan yang santai. Bentuk healing new mom tergantung dari diri sendiri,” tambah Winda.
Di akhir sesi, Winda membagikan tipsnya bagi ibu muda. “Pertama, mengikuti prenatal class atau kelas kesehatan untuk ibu hamil dalam mengenali fase-fase kehamilan, persalinan, kelahiran, serta perawatan bayi yang baru lahir. Kedua, manajemen waktu untuk memisahkan waktu untuk diri sendiri dan juga ketika mengurusi kegiatan domestik. Ketiga, menerima kondisi. Keempat, berbagi peran dengan suami. Kelima, mendapat dukungan keluarga,” pungkas Winda.
Kesiapan Mental Perempuan Menjadi Seorang Ibu
Pada sesi berikutnya, Elisa Kurniadewi, seorang psikolog turut berbagi materi yang mengusung tema “Kesiapan Mental Perempuan Menjadi Seorang Ibu”.
Elisa menyampaikan bahwa kesehatan mental merupakan keadaan sejahtera mental yang memungkinkan seseorang mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuannya, belajar dengan baik dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitasnya. “Untuk mengelola stres, kita perlu melakukan inhale exhale. Orang-orang yang tidak bisa mengelola stresnya maka pikirannya tidak bisa jernih,” jelas Elisa.
Elisa menjelaskan bahwa 50-70 persen ibu di Indonesia yang mengalami gejala baby blues atau depresi setelah melahirkan (dikutip dari WIK dalam Kompas, 2023), 6 dari 10 ibu menyusui di Indonesia tidak bahagia (dikutip dari HCC dalam Kompas 2023). “Kemiskinan dan kesehatan mental adalah dua hal yang saling berkait kelindan. Ada banyak studi yang secara konsisten menunjukkan bahwa kemiskinan menjadi salah satu faktor penyebab dan menimbulkan konsekuensi gangguan kesehatan mental,” terang Elisa.
Seorang ibu adalah pusat kehidupan dalam keluarga. “Hal ini karena keadaan psikologis yang positif ketika seseorang memiliki emosi positif berupa kepuasaan hidup, pikiran, dan perasaan positif akan berdampak kehidupan yang dijalaninya. Maka, membahagiakan seorang ibu adalah sebuah investasi,” kata Elisa.
Elisa juga memaparkan enam hal yang menjadi penentu kebahagiaan seorang ibu. “Enam hal itu meliputi, self acceptance (penerimaan diri), personal growth (pertumbuhan diri), purpose in life (tujuan hidup), environmental mastery (penguasaan lingkungan), autonomy (mampu mengontrol dirinya), positive relations with others (membangun hubungan yang baik dengan orang lain),” terangnya.
Elisa menekankan bahwa terkait persoalan kebahagiaan itu merupakan tugas masing-masing individu karena Allah tidak akan mengubah suatu kaum kecuali dirinya sendiri yang mengubahnya. “Dalam mewujudkan kebagiaan ibu perlu membuat set point, mengecek kecemasan yang ada di dalam diri, membuat tujuan, membangun growth mindset, serta learning, action, dan munajat ” jelas Elisa.
Peran Ayah dan Suami: Pengasuhan Anak dan Support System Ibu
Pada sesi terakhir, Rahmat Hidayat sekaligus Co-Funder Ayah ASI menyampaikan materinya yang bertajuk “Peran Ayah dan Suami: Pengasuhan Anak dan Support System Ibu”.
Rakhmat menyampaikan bahwa saat ini masyarakat masih belum siap jika laki-laki terlibat di dalam pengasuhan dan urusan rumah tangga. “Misalnya ketika ke kantor, seorang bapak belum siap jika harus telat karena mengurus anak, menemani istri ke posyandu/kontrol, dll.,” kata Rakhmat.
Rakhmat juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa bentuk keterlibatan ayah yang diharapkan keluarga. “Pertama, positive engagement yang berupa interaksi tatap muka dan stimulasi tumbuh kembang anak, termasuk menanamkan nilai kehidupan. Kedua, control berharap ayah sebagai sosok yang memantau dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait anak. Ketiga, warmth and responsiveness yang menginginkan ayah menjadi sosok yang hangat dan peka menanggapi kebutuhan anak karena istri paling suka jika suaminya melakukan pekerjaan tanpa disuruh terlebih dahulu. Keempat, indirect care atau keikutsertaan ayah dalam memenuhi kebutuhan tidak langsung anak (dana pendidikan, beli mainan, posyandu). Kelima, process responsibility yang berharap ayah mau berinisiatif untuk memastikan anak terawat dengan baik (meningkatkan kualitas diri, menjaga hubungan dengan istri),” jelas Rakhmat.
Rakhmat juga menyampaikan beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam suatu keluarga. “Ayah yang percaya diri dan mahir dalam keterampilan mengasuh dan urusan rumah tangga maka cenderung lebih terlibat dengan anak-anaknya. Namun, perasaan sedih dapat membuat ayah kesulitan untuk terhubung emosional dengan anak-anak karena suami tidak mudah menyampaikan kehendak hatinya karena ingin terlihat kuat,” terang Rakhmat.
Selain itu, Rakhmat juga menjelaskan jika pola pengasuhan anak juga mempengaruhi keberadaan ayah dalam suatu keluarga. “Cara orang tua bekerja sama sebagai sebuah tim juga mempengaruhi keterlibatan ayah. Jika orang tua bekerja sama dengan baik, ayah akan lebih aktif dalam mengasuh anak. Hubungan yang baik antara orang tua membantu ayah merasa lebih didukung,” tambah Rakhmat.
Di akhir sesi, Rakhmat berpesan agar para istri di luar sana memberikan lebih banyak waktu untuk mendampingi istri setelah melahirkan. “Berikan para ayah tempat yang aman untuk berdiskusi antar ayah, bilang saja kalau membutuhkan bantuan dan berikan para ayah kepercayaan dalam mengurus keluarga,” tutup Rakhmat.
Penulis: Inas Alimaturrahmah