PARIS, Suara Muhammadiyah – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mewakili Muhammadiyah menghadiri dialog pemimpin delegasi agama internasional Sant’Egidio di Paris pada Ahad-Selasa, (22-24/9).
Dalam kesempatan tersebut Mu’ti memaparkan "Tantangan Beragama di Kawasan Asia". Mu’ti menyebutkan setelah era kolonialisme, negara-negara Asia telah mencapai kemajuan yang besar dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam bidang ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik.
“Beberapa negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, China, India, Indonesia, Malaysia, dan lainnya telah memainkan peran penting di arena regional dan internasional. Selain kemakmuran ekonominya, negara-negara Asia juga mempertahankan keberlanjutan budaya, agama, dan tradisi mereka,” jelas Mu’ti.
Namun, selama dua dekade terakhir, telah terjadi perubahan yang terlihat dalam kehidupan beragama dan sosial, terutama di kalangan generasi muda. Masyarakat Asia, seperti halnya masyarakat di seluruh dunia, percaya bahwa agama adalah hal yang penting dan dibutuhkan dalam hampir semua aspek kehidupan pribadi dan kebahagiaan.
Mu’ti kembali menegaskan, meskipun peranannya yang signifikan, umat beragama dan pemimpin agama tidak dapat mengabaikan realitas tentang kecenderungan yang semakin meningkat terkait pelepasan (disengagement) terhadap agama. “Agama juga penting dalam membentuk moralitas publik, termasuk dalam pemerintahan dan tata Kelola, pelepasan semacam ini dapat menyebabkan hilangnya relevansi agama” tegas Mu’ti.
Masa depan agama, sampai batas tertentu, bergantung pada kemampuannya untuk menjawab tantangan-tantangan yang ada. Dalam konteks Asia, terdapat lima tantangan. Pertama, tantangan kesehatan mental. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa masalah kesehatan mental terus meningkat, yang ditandai dengan meningkatnya angka bunuh diri dan gangguan psikologis. Kehidupan materialistis telah menyebabkan tingkat stres yang tinggi, penurunan kohesi sosial, kekosongan spiritual, dan sebagainya.
Kedua, tantangan masyarakat lanjut usia yang disebabkan oleh faktor sosial: (1) perubahan pandangan dunia tentang pernikahan dan kehidupan keluarga di mana orang lebih memilih untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak; (2) layanan kesehatan yang lebih baik dan gaya hidup sehat yang berkontribusi pada peningkatan harapan hidup.
Tantangan ketiga adalah kemanusiaan. Perkembangan industri membawa sisi negatif seperti perdagangan manusia, eksploitasi, dan “perbudakan modern”. Tantangan keempat adalah krisis lingkungan, terutama perubahan iklim dan semua dampaknya, yang tidak hanya berpengaruh pada masa depan alam tetapi juga kelangsungan hidup manusia.
Tantangan kelima adalah ketidaksetaraan ekonomi. Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin melebar akibat kapitalisme absolut dan kurangnya solidaritas sosial.
“Bagaimana agama dapat menjawab tantangan-tantangan ini? Agama perlu direvitalisasi dan disegarkan kembali, tidak hanya sebagai rangkaian ritual dan praktik spiritual, tetapi yang lebih penting sebagai formula untuk menyelesaikan masalah kehidupan nyata. Penting untuk mengkontekstualisasikan nilai-nilai agama agar relevan dengan pergeseran nilai-nilai kontemporer,” pungkasnya. (Adam)