Abu Hasan Al Asy`ari dan Takdir (Bagian ke-1)

Publish

23 October 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1575
sumber gambar: pixabay.com

sumber gambar: pixabay.com

Oleh: Donny Syofyan

Selama ratusan tahun umat Islam berada di garda terdepan pencapaian sains. Pada zaman modern tingkat pendidikan menurun drastis hingga pada titik di mana di negara-negara mayoritas Muslim hanya memiliki 9 teknisi, insinyur dan saintis untuk 1000 penduduk. Sebagai perbandingan, pada skala global angkanya adalah 41% untuk setiap 1000 penduduk. Untuk bisa memahami fenomena ini, kita mesti mengeksplorasi masa lalu.

Inkuisisi Ibnu Hanbali dan anarki di Samara telah memicu terjadinya disintegrasi dinasti Abbasiyah. Pada masa inilah perkembangan agama dan politik jalin-menjalin dan menyuguhkan panggung bagi sebuah teologi yang pada gilirannya mengubah peradaban Islam selanjutnya. Selama lebih satu abad ulama Mu`tazilah dan pendukung Ibnu Hanbali berdebat dasar-dasar teologi dan yurisprudensi Islam. Pihak pertama menekankan pentingnya inovasi, rasionalitas dan kehendak bebas. Adapun pihak kedua mendukung penafsiran literal Al Qur’an. Pada abad ke-10, tokoh Mu`tazilah bernama Abu Hasan Al-Asy`ari memiliki perbedaan pendapat besar dengan gurunya. Dia meninggalkan Mu`tazilah dan bergabung dengan arus utama yang menggugat Mu`tazilah, yang mendapatkan pijakan kuat sejak inkuisisi Ahmad bin Hanbal. Pada tahun-tahun berikutnya, Al Asy`ari menjadi figur sentral yang mengoposisi kelompok Mu`tazilah. Diaa menggunakan metode filsafat yang dipelajari sebelumnya dan menghimpun mantan-mantan pengikut Mu`tazilah. 

Kelompok yang kemudian bernama Asy`ariyah mengombinasikan argumen-argumen yurisprudensial Ahmad bin Hanbal dan sifat-sifat teologis Mu`tazilah. Artinya, Al-Asy`ari menganut rasionalisme dan penafsiran terbuka atas Al Qur’an, namun kelompok ini memberikan tekanan pada konsep takdir dan berdalih bahwa rasio atau akal harus tunduk kepada wahyu. Dengan demikian, pemikiran rasional dan kehendak bebas bisa saja diterapkan sepanjang tidak kontradiksi dengan teks-teks suci Al Qur’an. Pendapat ini jelas-jelas bertabrakan dengan gagasan utama Mu`tazilah yang memercayai pemikiran rasional yang absolut dan kehendak bebas (free will).

Sepanjang abad ke-10, kaum Mu`tazilah, Asy`ariyah dan mazhab-mazhab lainnya memperdebatkan eksistensi alam semesta. Ratusan karya ilmiah ditulis karena begitu banyaknya pertanyaan bagaimana menafsirkan pertanyaan-pertanyaan etis baru, seperti esensi wahyu dan makna tanggung jawab manusia. Sebaliknya, Mu`tazilah banyak berdebat tentang aspek-aspek sains dan menuduh kelompok Asy`ariyah irasional bahkan tidak Islami. Upaya-upaya untuk bergelut dengan bermacam pertanyaan saintifik yang kompleks berada pada inti dari kemerosotan sikap terhadap sains dalam masyarakat Muslim. 

Salah satu penemuan memukau dari kelompok Mu`tazilah adalah materi paling kecil, yakni dunia atom. Pada awal abad sebelumnya para sarjana Yunani, China dan India juga telah menemukan konsep atom. Tapi kaum Mu`tazilah berhasil menghimpun sumber-sumber dari ketiga peradaban tersebut dan merumuskan temuannya. Tapi salah satu penemuan terbesar mereka ini ternyata juga menjadi titik perpecahan paling besar. Ketika mengeksplorasi dunia atom, ilmuwan Mu`tazilah menganjurkan bahwa zat atom memiliki sifat dan kapasitas untuk mempengaruhi sifat lain. Pernyataan ini mendukung doktrin kehendak bebas dan menekankan bahwa manusia bertanggung jawab menciptakan tindakannya sendiri yang terlepas dari kehendak Tuhan. 

Kelompok Asy`ariyah mendukung konsep atom, tapi disebabkan mereka memandang bahwa rasio tunduk kepada wahyu, maka mereka mengambil pandangan yang berbeda. Asy`ariyah menganut doktrin okasionalisme yang menolak kausalitas alam. Menurut Asy`ariyah begitu peristiwa atau kejadian atomik berlaku maka ia akan berhenti untuk ada. Tidak ada kesinambungan satu momen dalam waktu dan lainnya. Misalnya, warna kulit ditentukan oleh rekreasi atom yang terus-menerus pada setiap materi dalam satu waktu. Asy`ariyah berpendapat bahwa Tuhan menentukan hasil atau akibat dari setiap atom dan eksistensi manusia adalah serangkaian peristiwa yang masing-masing diinginkan serta diizinkan oleh Tuhan. Dengan kata lain, Asy`ariyah menyatakan bahwa hukum sebab-akibat dan kehendak bebas hanyalah ilusi karena eksistensi manusia sudah ditakdirkan.

Gagasan filosofis demikian memang tampak aneh sekarang. Namun pada waktu itu sarjana Muslim adalah pihak pertama yang menyelidiki dunia atom. Konsep okasionalisme Asy`ariyah menjadi blok bangunan mendasar yang mengantarkan Asy`ariyah menolak konsep keutuhan (comprehensibility) dunia semesta. Hal ini juga memberikan dasar atas keyakinan mereka kepada takdir (predestination). Tidak mengherankan bila cara berpikir demikian selama ratusan tahun telah memengaruhi perilaku terhadap sains. 

Di saat perdebatan teologis tersebut mengencang dan menghangat, dinasti Abbasiyah mengalami masa-masa kehancuran. Dinasti-dinasti lokal mengangkat senjata di seantero kekhalifahan. Sementara dinasti Abbasiyah sendiri berkecamuk dengan diri sendiri tatkala keluarga dan kerabat raja secara terbuka membuka tantangan untuk merebut kursi kekuasaan. Situasi kian parah bagi penguasa Abbasiyah. 

Pada pertengahan abad ke-10, Mesir mengalami kemarau dan kekeringan yang luar biasa. Kegagalan panen meluas dan kelaparan melanda banyak kota, yang membangkitkan kerusuhan. Diperkirakan 600.000 jiwa meninggal karena kelaparan. Di Tunisia, dinasti Syi`ah bernama Fathimiyah mengambil alih kekuasaan dan menginvasi Mesir dan memproklamasikan kekhalifahan baru di sana. Pada abad ke-10 Dunia Islam mengalami desentralisasi oleh kekuatan feudal baru yang ditandai oleh puluhan daerah-daerah yang memisahkan diri, provinsi dengan otonomi tersendiri, dinasti yang berpengaruh dan tentara bayaran Mamluk (Turki) yang kian berkuasa.

Namun demikian, kemunculan dinasti Fathimiyah membentuk kubu politik ketiga dalam Dunia Islam. Dua yang pertama adalah di Baghdad dan Kordoba. Dinasti Fathimiyah berusaha mengamankan posisinya ke depan. Untuk itu ia membubuhkan aliansi dengan Bizantium. Hubungan perdagangan antara keduanya berkembang pesat. Alexandria dan Konstantinopel menjadi kekuatan ekonomi. Keadaan kini terbalik ketika dinasti Abbasiyah hancur dari dalam. Bizantium menyerang dan secara bertahap memulihkan wilayah mereka. Pertama-tama Kreta dan Siprus direbut dan  diikuti oleh kota Antiokhia dan Odessa. Kebangkitan Konstantinopel secara dramatis mengubah kondisi keuangan. Perdagangan, kekayaan dan pajak yang dulunya membanjiri Baghdad sekarang mengalir ke ibukota Bizantium. Seiring dengan kebangkitan Bizantium, Eropa Barat juga pulih dari zaman kegelapan. Ketika kekayaan dan stabilitas perlahan kembali ke benua Eropa, orang -orang sudah memiliki pembaruan keyakinan terhadap kehidupan Kristus. Ziarah ke Yerusalem sering diadakan. Dalam satu abad orang aktivitas ziarah Kristen tersebut menggiring terjadinya Perang Salib. Semua keadaan menjanjikan dan berpihak kepada Eropa Barat, Bizantium dan dinasti Fathimiyah—bersambung.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd  Islam adalah agama yang mencakup berbagai ajaran dan prinsip....

Suara Muhammadiyah

26 October 2023

Wawasan

Bersahabat dengan Kegagalan Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Tange....

Suara Muhammadiyah

16 July 2024

Wawasan

Shalat dan Berkurban sebagai Wujud Syukur Oleh: Mohammad Fakhrudin Sebagai muslim mukmin menyadari....

Suara Muhammadiyah

25 May 2024

Wawasan

Ber-'Aisyiyah Sepanjang Usia Dr Amalia Irfani, Dosen IAIN Pontianak, LPPA PWA Kalbar  Berkese....

Suara Muhammadiyah

20 May 2024

Wawasan

Banggalah Menjadi Pencerah: Refleksi Hari Guru Oleh: Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd., Guru dan Pendidik c....

Suara Muhammadiyah

25 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah