CANBERRA, Suara Muhammadiyah – Tantangan besar yang masih menghambat lulusan Sekolah Luar Biasa (SLB) dalam memasuki dunia kerja menjadi topik yang disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, dalam Australasian Aid Conference (AAC) 2025 yang berlangsung di Acton Theatre, Crawford School of Public Policy, Australian National University (ANU), Canberra pada Jum'at (5/12).
Berbicara pada forum AAC 2025 dalam sessi yang bertema “Addressing Disability Equity and Rights: Lessons from Indonesia,” Tri memaparkan pentingnya sistem transisi yang lebih kuat dari pendidikan ke dunia kerja bagi penyandang disabilitas.
Dalam presentasinya berjudul “From Uncertainty to Hope: Promoting Inclusive Employment for Persons with Disabilities,” Tri mengungkap bahwa hambatan utama yang dihadapi lulusan SLB bukan hanya terbatasnya jalur menuju pekerjaan formal, tetapi juga minimnya pengalaman terkait proses rekrutmen dan dunia kerja sesungguhnya.
Kondisi ini diperburuk oleh stigma yang masih melekat di masyarakat, kecemasan masa depan di kalangan pemuda dengan disabilitas, serta kepatuhan yang belum optimal dari sektor pemerintah dan swasta terhadap regulasi ketenagakerjaan inklusif.
Tri menjelaskan bahwa ‘Aisyiyah melalui Program INKLUSI, berupaya memberikan dukungan menyeluruh melalui pelatihan kesiapan kerja bagi siswa dan alumni SLB. Upaya tersebut mencakup Training of Trainers (ToT) untuk guru SLB tentang kesiapan kerja dan Social Emotional Learning, pelatihan soft skills serta bimbingan karier, advokasi rekrutmen inklusif, penguatan peran keluarga melalui sesi parenting, hingga kolaborasi dengan pemerintah dan dunia usaha untuk membuka peluang magang dan penempatan kerja.
“Kami ingin memastikan bahwa transisi menuju pekerjaan dimulai sejak bangku sekolah, bukan setelah mereka lulus dan merasa bingung menghadapi dunia kerja,” ujar Tri.
Ia menegaskan bahwa perubahan ini memiliki dampak luas, terutama dalam mengubah cara pandang publik terhadap disabilitas. Menurutnya, ketika ruang kesempatan dibuka dan dukungan yang tepat diberikan, pemuda dengan disabilitas mampu menunjukkan potensi dan produktivitas yang setara.
“Pengalaman kami di berbagai daerah menunjukkan bahwa mereka bukan hanya mampu bekerja, tetapi juga memberikan kontribusi ekonomi dan sosial yang signifikan,” tambahnya.
Dalam sesi tersebut, Tri turut menyoroti pentingnya aksi kolaboratif sebagaimana dilakukan oleh ‘Aisyiyah Garut, Dinas Tenaga Kerja Garut, dan SLB Muhammadiyah Bayongbong dalam mendorong kesiapan kerja dan membuka akses kesempatan bagi penyandang disabilitas. Ia menyampaikan bahwa keberhasilan berbagai inisiatif ini tidak terlepas dari peran organisasi masyarakat sipil yang menjadi penghubung kebijakan dengan kebutuhan nyata di tingkat komunitas.
Menutup pemaparannya, Tri menekankan bahwa kebijakan ketenagakerjaan inklusif tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus melibatkan seluruh ekosistem pelayanan—pendidikan, ketenagakerjaan, sosial, dan sektor privat.
“Kita membutuhkan sistem yang bergerak bersama. Sekolah, keluarga, pemerintah, dan dunia usaha harus menjadi satu mata rantai yang memastikan bahwa setiap pemuda dengan disabilitas mendapatkan akses, dukungan, dan keberpihakan yang nyata,” ujarnya.
Tri juga menyampaikan harapannya bahwa praktik baik dari Indonesia dapat memberikan kontribusi bagi pembelajaran global. “Kami percaya bahwa inklusi bukan hanya agenda sosial, tetapi agenda masa depan. Ketika setiap orang memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkontribusi, di situlah pembangunan yang sesungguhnya terjadi,” tutupnya. (Suri)


