'Aisyiyah: Banyak Mudharat, Sunat Perempuan Tidak Dianjurkan

Publish

7 February 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
176
Foto Istimewa

Foto Istimewa

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Dalam momen peringatan Hari Tanpa Toleransi terhadap Pelukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP) pada Kamis (6/2/25), ‘Aisyiyah menegaskan kembali pandangannya yang tidak menganjurkan praktik sunat perempuan. “Sunat perempuan adalah tindakan yang merugikan bagi perempuan, bahkan hal ini sudah diakui oleh dunia internasional. Akan tetapi sayangnya praktik ini masih banyak terjadi di Indonesia.” Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah. Menurut Tri, kondisi ini terjadi karena faktor budaya dan banyaknya pemahaman agama yang keliru yang dipercayai oleh masyarakat. 

Oleh karena itu menurut Tri, ‘Aisyiyah melakukan berbagai upaya untuk mengedukasi masyarakat agar menghentikan praktik sunat perempuan. Salah satunya adalah dengan menyebarkan pandangan Islam yang tidak menganjurkan praktik sunat perempuan di kalangan Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat. “Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat menjadi salah satu kunci untuk menghentikan praktik ini, karena mereka sangat didengar pendapatnya di masyarakat,” ucap Tri. Selain itu, ‘Aisyiyah disebut Tri juga bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan untuk melakukan sosialisasi kepada kader-kader ‘Aisyiyah di beberapa provinsi terkait isu sunat perempuan ini. Diharapkan kerjasama ini akan semakin menguatkan peran kader dalam melakukan edukasi di masyarakat.

Siti Aisyah, Ketua PP ‘Aisyiyah yang membidangi Majelis Tabligh dan Ketarjihan menyampaikan bahwa Muhammadiyah sudah menyampaikan Fatwa Tarjih tentang khitan perempuan yang dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2. “Bahwa khitan bagi perempuan ini haditsnya lemah, tidak ada petunjuk dalil yang kuat, maka dikembalikan kepada positif dan negatifnya,” terang Aisyah. 

Ia melanjutkan, bahwa ditimbang dari dampak negatifnya tidak dapat untuk menganjurkan khitan bagi perempuan apalagi mewajibkannya. Keputusan ini disebut Aisyah telah mempertimbangkan berbagai aspek, baik kesehatan, sosial budaya, maupun bayani.  “Mengingat dalil pelaksanaan khitan bagi perempuan ini tidak begitu jelas dan dengan mudharat yang sangat jelas. Sehingga fatwa ketetapan khitan perempuan adalah tidak dianjurkan atau ghairu masyru.”

Aisyah kemudian menjelaskan beberapa dalil yang lemah yang sering dikaitkan untuk melaksanakan praktik sunat perempuan ini. “Contohnya, Qur’an surat an-Nisa’ ayat 125, ayat ini oleh sebagian ulama dijadikan landasan perintah khitan; karena Nabi Ibrahim dikhitan, maka mengikuti millah Ibrahim adalah dengan cara melakukan khitan. Namun para mufasir menjelaskan bahwa millah Ibrahim itu adalah ajaran akidah tauhid, bukan khitan. Sehingga ayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil berkhitan,” jelasnya. 

Begitu juga dalam sebuah hadits dari Ummu Athiyah bahwasanya seorang perempuan akan berkhitan di Madinah. Maka Nabi Saw. berkata: Janganlah berlebihan, karena lebih nikmat (ketika berhubungan seksual) dan lebih dicintai oleh suami. (H.r. Abu Dawud dan al-Baihaqi). “Hadis ini dinilai lemah karena ada seorang perawi yang tidak diketahui asal-usulnya (majhul), yaitu Muhammad ibn Hasan,” ucap Aisyah.

Meskipun demikian, Evi Sovia Inayati, Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP ‘Aisyiyah menyebut tradisi khitan dan pesta yang mengiringinya masih kuat di beberapa daerah. Kuatnya tradisi ini menurut Evi membutuhkan kerja berbagai unsur masyarakat untuk melakukan strategi perubahan tradisi sunat perempuan dengan upaya mencerdaskan masyarakat. “Kita bersama perlu melakukan syiar pemahaman tentang Islam berkemajuan yang tidak menganjurkan khitan perempuan, dengan pendekatan bayani, burhai, dan irfani melalui tabligh, ceramah, dan sosialisasi secara intensif dan kontinyu,” ucap Evi. 

Siti Aisyah menambahkan, untuk mengimbangi kuatnya tradisi pesta khitan perempuan juga perlu diinisiasi tradisi baru, misalnya tasyakuran di saat anak perempuan haid pertama. “Momen haid pertama seorang anak perempuan adalah simbol mengawali kehidupan di masa baligh, memasuki dunia baru yang menempatkan perempuan sebagai hamba Allah yang memiliki tanggung jawab menunaikan kewajiban keagamaan dan sosial.” (rilis PPA/m)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

TUBAN, Suara Muhammadiyah - TK Aisyiah Bustanul Athfal II Bancar menggelar acara open school dan wis....

Suara Muhammadiyah

20 May 2024

Berita

SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam menghadapi berbagai isu-isu global, Universitas Muhammad....

Suara Muhammadiyah

5 December 2023

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah Salmah Orbayinah menyampai....

Suara Muhammadiyah

25 October 2024

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Pesantren Mahasiswa K.H. Ahmad Dahlan (PERSADA) UAD menyelenggaraka....

Suara Muhammadiyah

8 October 2023

Berita

BANDUNG, Suara Muhammadiyah– Spirit kepahlawanan dalam sejarah Muhammadiyah dan relevansinya d....

Suara Muhammadiyah

12 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah