SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut Allah SwT telah menurukan Al-Qur’an di bulan Ramadhan orientasinya sebagai petunjuk bagi umat manusia. Selain memberikan petunjuk, juga memberikan penjelas untuk bisa saksama dalam membedakan antara yang haq dan batil.
“Allah dengan Rahman dan Rahim-Nya menurunkan kitab suci yang itu dibutuhkan manusia. Karena manusia biar pun sudah diberi akal pikiran, hati, serta tubuh yang sempurna, tidak cukup untuk menjalani kehidupan begitu kompleks, maka perlu penduan. Itulah kitab suci (Al-Qur’am),” katanya saat Kajian Nuzulul Qur’an di Balairung Universitas Gajah Mada, Senin (18/3).
Namun, terkadang umat Islam justru mengesampingkan Al-Qur’an. Padahal, kitab suci ini hadir sebagai pedoman yang komprehensif, memberikan tuntunan moral, spiritual, serta intelektual bagi manusia dalam menghadapi dinamika kehidupan.
“Sehingga kita hidup hanya berjalan dengan modal yang ada. Itu pun tidak pernah diasah secara reflektif. Karena ada hati, pikiran, tidak digunakan, bahkan menyesatkan manusia dengan pikirannya. Lalu manusia jatuh pada keadaan yang Tuhan sebut “Bal Hum Adholun" (manusia yang diberi hati, tapi hatinya sudah mati),” ujarnya.
Karena itu maka, Haedar menyebut Al-Qur’an sebagai medium untuk menghidupkan hati. Salah satu langkahnya dengan membaca (iqra’) dengan penuh kesadaran, penghayatan, dan pemahaman mendalam. Dari situ kemudian dapat mencerahkan kehidupan.
“Kita dipaksa oleh ekosistem Ramadhan untuk membaca Al-Qur’an. Itu menghidupkan hati, bahkan di saat resah sekalipun, ketika Al-Qur’an dibaca, ada getaran,” ucapnya.
Sebab Al-Qur’an itu, sambung Haedar, sebagai kitab al hadharah (kitab peradaban). Hal ini tercermin dari wahyu pertama yang diturunkan yaitu Qs al-Alaq [96] ayat 1-5. Di dalam surat ini terdapat satu perintah yaitu membaca. Dan perintah ini bersifat global.
Perintah iqra’ bukan hanya membaca secara verbal dan tekstual, tetapi keseluruhan makna yang tercakup arti “iqra” seperti tafakur, tadabbur, tanadhar, tadzakur, serta berbagai aktivitas akal pikiran, kajian keilmuan, dan membaca secara kontekstual secara menyeluruh. Dan perintah “Iqra” melekat dengan aktivitas membaca, memgkaji, memahami, dan merenungkan segala sesuatu dengan kecerdasan dan keilmuan.
“Kenapa wahyu dan risalah pertama iqra, bukan shalat atau zakat? Rupanya di situlah kunci risalah Islam dalam membangun peradaban. Dari iqra lahir berbagai macam pemikiran, yang pemikiran itu melahirkan peradaban. Dan peradaban itu lahir dari ad-din,” terangnya. (Cris)