Anak Saleh (28)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang panjang dan penuh tantangan."
Untuk menjawab berbagai tantangan dalam hal apa pun, pasutri perlu membekali diri dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan dapat diperoleh dengan cara mengaji, baik dengan membaca, mendengarkan, maupun memirsa. Di samping itu, dapat pula pengetahuan diperoleh melalui praktik-baik orang saleh. Namun, pengetahuan yang diperolehnya harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Perlu kita sadari bahwa tidak setiap pasutri mampu menilai kebenaran pengetahuan itu. Oleh karena itu, peran ulama sangat penting.
Sayang, sering terjadi perbedaan pemahaman di antara ulama. Hal yang sangat memprihatinkan adalah sikap mereka dalam hal membimbing umat. Cukup banyak di antara mereka yang mengklaim bahwa dirinya atau kelompoknya yang paling benar. Mereka tidak berusaha memahami apalagi menghormati perbedaan pilihan pemahaman sesama ulama. Yang terjadi justru mereka saling meremehkan.
Perbedaan pemahaman tentang wali Allah misalnya kiranya merupakan masalah akidah yang dapat menimbulkan masalah juga bagi pasutri yang sedang berusaha menjadi teladan bagi anaknya. Masalah itu timbul ketika mereka harus menjawab pertanyaan atau pernyataan anak tentang jatidiri laki-laki yang berpakaian kotor, tidak syar’i, dan rambutnya kusut tidur di serambi masjid atau musala. Bagaimana pasutri harus menjawab pertanyaan misalnya, “Itu ... orang berpakaian kotor, compang-camping, tidak menutup lutut lagi, dan rambutnya kusut, kok dibiarkan tidur di masjid?”
Ihwal Wali Allah di dalam Al-Qur’an
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an surat Yunus (10): 62-63
اَلَاۤ اِنَّ اَوۡلِيَآءَ اللّٰهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُوۡنَ
“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.
الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَكَانُوۡا يَتَّقُوۡنَؕ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.”
Ihwal Wali Allah di dalam as-Sunnah
Di dalam HR al-Bukhari, ihwal wali Allah dijelaskan sebagai berikut.
إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ ، وما تقرَّب إليَّ عبدي بشيءٍ أحبَّ إليَّ ممَّا افترضتُ عليه ، وما يزالُ عبدي يتقرَّبُ إليَّ بالنَّوافلِ حتَّى أُحبَّه ، فإذا أحببتُه : كنتُ سمعَه الَّذي يسمَعُ به ، وبصرَه الَّذي يُبصِرُ به ، ويدَه الَّتي يبطِشُ بها ، ورِجلَه الَّتي يمشي بها ، وإن سألني لأُعطينَّه ، ولئن استعاذني لأُعيذنَّه ، وما تردَّدتُ عن شيءٍ أنا فاعلُه ترَدُّدي عن نفسِ
المؤمنِ ، يكرهُ الموتَ وأنا أكرهُ مُساءتَه
“Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda, Sesungguhnya Allah berfirman, Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah Hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan Ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya. Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa orang mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.”
Dari kedua sumber tersebut dapat kita ketahui bahwa syarat mutlak wali Allah adalah senantiasa beriman dan bertakwa. Tidak ada syarat yang aneh-aneh, baik dari segi ucapan maupun perilaku. Dengan demikian, orang yang tidak dapat berjalan di atas air atau tidak dapat terbang pun dapat disebut wali Allah jika senantiasa beriman dan bertakwa.
Perlu kita pahami dengan sebaik-baiknya pendapat Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus di dalam forum Takziah Virtual yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah, 27 Mei 2022 berkenaan dengan wafatnya Buya Syafi’i Ma’arif. Beliau menyatakan sebagai berikut.
“Orang mau bersikap sederhana itu mudah. Bersikap jujur itu mudah. Mempunyai tekad untuk perjuangan agama dan bangsa itu mudah. Yang sulit adalah terus bersikap seperti itu. Dalam bahasa kita disebut istikamah. Buya Syafi’i istikamah menjadi guru bangsa. 8Istikamah menjadi teladan umat. Istikamah di dalam akhlakul karimah. Istikamah ini yang menjadikan saya yakin, 8saudara saya, Buya Syafi’i milik bangsa Indonesia yang terindah. Beliau ini adalah waliyun min auliya’ illah (wali dari wali-wali Allah),”
Kiranya pendapat tersebut perlu menjadi salah satu rujukan bagi muslim mukmin. Buya Syafi’i tidak pernah dikabarkan dapat berjalan di atas air, ditembak tidak mati, pergi ke Mekkah pukul 11.00 WIB untuk mengerjakan shalat Jumat di Masjidil Haram, berpakaian compang-camping ketika ke di masjid (apalagi tidak menutup sebagian auratnya), atau berucap dan berperilaku aneh-aneh dan nyeleneh.
Kearifan Sikap Pasutri
Berdasarkan rujukan Al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapat ulama yang merujuk kepada kedua sumber itu, pasutri dapat menjadi teladan sebagai orang tua yang berakidah tegak lurus. Lalu, bagaimana jawaban terhadap pertanyaan anak tentang laki-laki yang tidur di masjid dalam keadaan sebagaimana dilihatnya? Sungguh sangat arif jika pasutri menjelaskan bahwa wali Allah adalah orang yang senantiasa beriman dan bertakwa, yang iman dan takwanya itu terwujud dalam ucapan dan perilakunya.
Pasutri tidak perlu mencela orang atau kelompok tertentu yang bersikukuh dengan pendapatnya bahwa wali Allah dapat saja berpenampilan aneh dan nyeleneh seperti yang dipersoalkan oleh anaknya itu. Orang tua yang menjelaskan dengan cara penuh kearifan demikian kiranya dapat dikatakan bahwa mereka telah menjadi contoh sebagai orang tua yang berakidah tegak lurus.
Di masyarakat memang ada sebagian muslim mukmin yang meyakini adanya wali majdub/jadzab. Bagi mereka, wali ini “tenggelam” sangat dalam ke dalam cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga sering lupa, bahkan, bertingkah aneh dan nyeleneh.
Pada beberapa waktu yang lalu dapat kita baca dan tonton berita yang sangat sensasional. Orang yang dinyatakan sebagai "orang dengan gangguan jiwa" (ODGJ) oleh pakar kesehatan jiwa, tetapi diklaim sebagai wali Allah. Orang itu diberitakan naik macan putih pergi dari kota yang satu ke kota yang lain. Namun, hanya beberapa pekan berita itu sempat menjadi berita utama.
Sementara itu, ada pemahaman, bahkan, keyakinan pada sebagian muslim mukmin bahwa karamah menjadi salah satu penanda kewalian. Mereka memahami karamah sebagai keluarbiasaan yang dimiliki oleh wali Allah seperti dapat berjalan di atas air, dapat terbang, dapat merobohkan penjahat tanpa bersentuhan fisik, bahkan, dapat mengetahui isi hati orang atau mengetahui jejak pelaku kejahatan. Kemampuan itu tentu sangat membantu aparat penegak hukum.
Di Indonesia cukup banyak orang yang diyakini sebagai wali Allah. Namun, mengapa korupsi dan tindak kejahatan lainnya sepertinya makin meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya? Belum ada kerja sama antara aparat penegak hukum dan mereka?
Allahu a’lam