Manifestasi Pengalaman Agama
Oleh: Prof Dr Syamsul Anwar, MA
Manifestasi pengalaman agama ada yang terpolakan secara ketat di mana tidak boleh dilakukan penambahan atau pengubahan terhadap kaifiat, detail, dan bentuk-bentuk spesifiknya yang ditentukan. Terkait dengan manifestasi pengalaman agama dalam bidang ini dirumuskan kaidah, “Pada asasnya ibadah itu tidak dapat dilakukan, kecuali yang disyariatkan.” Namun penambahan untuk penyempurnaan pelaksanaannya dapat dilakukan, selama tidak menyentuh bentuk-bentuk dan kaifiat spesifik yang telah ditentukan. Bahkan ini juga bisa menciptakan budaya tertentu. Misalnya perintah menutup aurat dalam shalat dimanifestasikan dalam bentuk memakai sarung dan baju koko misalnya, ditambah asesori berupa kopiah. Untuk mempermudah pelaksanaan wudhu’ dipakai keran air mancur.
Sebagai alas tempat shalat digunakan sajadah. Bahkan untuk memberi tahu masuknya waktu shalat digunakan beduk agar orang tahu sudah masuk waktu shalat. Meskipun di lingkungan Muhammadiyah ini dipandang bid’ah. Tetapi sebenarnya itu bukan mengubah kaifiat dan bentuk spesifik ibadah, hanya sarana untuk mempermudah penandaan waku shalat. Agar suara imam dapat didengar jamaah dengan jelas, digunakan pengeras suara misalnya. Semua ini adalah budaya yang timbul dalam rangka pelaksanaan ibadah.
Hanya saja dalam ibadah dan akidah yang dipandang sebagai manifestasi pengalaman agama yang dipolakan secara ketat ini sering banyak hal yang mestinya dipandang bukan substansi ibadah dan akidah itu diperlakukan seperti ibadah dan akidah sehingga dilarang. Mestinya harus dilihat secara lebih mendalam lagi tentang apa esensinya dan apakah memang melanggar ketentuan ibadah dan akidah. Dalam manhaj Tarjih norma itu dinyatakan bertingkat-tingkat. Ada nilai dasar, ada asas, dan ada ketentuan norma detail (hukum far’i). Ketika menilai suatu manifestasi pengalaman agama tidak cukup langsung melihatnya dari sisi hukum far’i, tapi juga harus dilihat nilai dasar dan asasnya.
Memang bisa diperdebatkan, dapatkah wadah kultural dari agama lain dapat digunakan dalam manifestasi pengalaman agama Islam setelah wadah itu dibersihkan dan direkayasa di mana perlu. Misalnya adat Melayu tepung tawar dan menabur beras kuning, dan banyak adat-adat lain, yang merupakan sisa-sisa agama terdahulu sebelum Islam dapatkah dimanfaatkan untuk umat Islam dengan melihatnya semata sebagai budaya? Ini tergantung kepada bagaimana kita menilai dan memaknai kembali wadah kultural itu dan seberapa kreatif kita melakukan reinterpretasi terhadap teks yang kita miliki dan seberapa bijaksana kita mendialogkan teks tersebut dengan konteks yang kita hadapi.
Sebaliknya dalam bidang muamalat duniawiah manifestasi pengalaman agama tidak dipolakan secara ketat, dan mungkin hanya ada beberapa prinsip yang ditentukan, selebihnya diserahkan kepada kreativitas pelakunya. Di sini malah dibuat kaidah, “Pada asasnya muamalat itu boleh dilakukan kecuali jika terdapat dalil yang melarangnya.”
Pada aspek ini ruang kreativitas menjadi amat luas dalam melahirkan manifestasi pengalaman agama. Manifestasi kreatif dari pengalaman agama pada aspek yang tidak dipolakan secara ketat ini melahirkan kebudayaan. Dalam praktik, manifestasi budaya tersebut tidak selalu diciptakan secara orisinal, tetapi dalam banyak hal dilakukan dengan meminjam wadah budaya lain untuk menampung manifestasi pengalaman agama tersebut dengan memberi muatan yang sesuai dengan norma syariah.
Makalah Pengajian Ramadhan 1445 H
Sumber: Majalah SM Edisi 10/2024