YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Perdebatan mengenai perlu atau tidaknya teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam dunia komunikasi kini dianggap tidak relevan lagi. AI bukanlah ancaman yang perlu ditakuti, melainkan alat strategis yang harus dimanfaatkan secara bijak untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja para praktisi public relations (PR) atau humas.
Pandangan tersebut disampaikan oleh CEO PR Indonesia Group, Asmono Wikan, dalam kuliah umum bertajuk “Public Relations 5.0: Antara Otomatisasi, Etika, dan Reputasi” yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Senin (10/11).
Menurut Asmono, perkembangan teknologi AI tidak hanya mengubah wajah industri digital, tetapi juga menggeser cara praktisi komunikasi membangun strategi yang berdampak. Di tengah derasnya arus informasi dan kecepatan publik dalam merespons isu, kemampuan memanfaatkan teknologi secara cerdas kini menjadi pembeda utama antara kampanye komunikasi yang sekadar viral dengan yang benar-benar bermakna.
“AI itu hanyalah alat. Yang menentukan arah dan maknanya tetap manusia. Karena itu, yang perlu kita bicarakan bukan lagi soal perlu atau tidaknya AI, tetapi bagaimana menjadikannya bermartabat dan bermanfaat bagi kerja-kerja komunikasi kita,” tegas Asmono.
Ia menekankan bahwa setiap aktivitas komunikasi harus memiliki tujuan yang jelas. Tanpa arah dan objektif yang kuat, pesan komunikasi hanya akan menjadi “sampah digital” yang bertebaran di berbagai platform tanpa makna maupun dampak. Dalam konteks ini, AI hadir sebagai katalis yang dapat membantu mempercepat riset, mengembangkan ide, serta mengoptimalkan strategi komunikasi, selama digunakan dengan pemikiran kritis dan berlandaskan nilai.
Lebih jauh, Asmono menyebutkan bahwa kehadiran AI menuntut perubahan paradigma bagi para profesional komunikasi. Praktisi PR masa kini tidak cukup hanya menguasai kemampuan menulis dan membangun relasi media, tetapi juga harus memahami data, analitik, dan literasi digital. Namun, ia menegaskan bahwa AI tidak boleh menggantikan nalar kritis manusia.
“AI bekerja untuk kita, bukan kita yang bekerja untuk AI. Kalau kita mempercayainya sepenuhnya tanpa verifikasi, kita justru akan kehilangan daya pikir,” ujar mantan wartawan yang kini memimpin PR Indonesia Group tersebut.
Asmono menambahkan, teknologi hanyalah bagian dari strategi komunikasi yang tetap berakar pada manusia sebagai penggerak utamanya. Efektivitas kampanye PR, menurutnya, sangat bergantung pada kemampuan menyusun pesan dengan empati dan menyampaikannya secara relevan kepada publik. Dalam konteks ini, reputasi organisasi tidak dibangun oleh teknologi, melainkan oleh rekam jejak dan konsistensi storytelling yang memanusiakan pesan.
Ia juga mendorong mahasiswa dan generasi muda untuk memanfaatkan teknologi, termasuk AI, sebagai sarana memperkuat personal branding. Portofolio digital kini menjadi bagian penting dari reputasi individu yang dapat memengaruhi kepercayaan publik dan peluang profesional di masa depan.
“Saya senang melihat anak-anak muda berani menampilkan karya dan profil mereka di LinkedIn, meski masih mahasiswa. Itu bagian dari komunikasi, bagian dari reputasi,” pungkasnya.
Jadi Kunci Keberhasilan Humas di Era AI
Namun di balik kecanggihannya, praktisi komunikasi tidak boleh kehilangan nilai etika dan sisi kemanusiaan. Guru Besar Ilmu Komunikasi UMY Prof. Adhianty Nurjanah, M.Si., menegaskan bahwa kemajuan teknologi AI memang membawa perubahan besar dalam dunia komunikasi dan kehumasan. Namun, di tengah arus otomatisasi, menjaga nilai kemanusiaan dan integritas etika justru menjadi tantangan utama bagi para praktisi.
“Bagaimanapun, AI hanyalah alat bantu. Kita tetap harus memiliki sisi humanisme, empati, dan moral ketika menggunakannya. Praktisi kehumasan itu bukan robot,” ujarnya.
Menurutnya, komunikasi sejatinya tidak dapat direduksi menjadi sekadar proses otomatis penyampaian pesan. Komunikasi adalah proses yang sarat makna, tanggung jawab, dan kesadaran moral terhadap dampaknya bagi manusia lain. Karena itu, penerapan AI dalam dunia humas harus selalu disertai dengan human oversight, yakni pengawasan manusia yang memastikan setiap pesan, data, dan konten berpijak pada kebenaran, transparansi, serta penghormatan terhadap privasi publik.
“Mesin tidak punya empati, berbeda dengan manusia. Karena itu, kita harus menjadi pengendali makna dari teknologi, bukan justru dikendalikan olehnya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Prof. Adhianty juga menyoroti pentingnya tanggung jawab moral di era digital. Ia menekankan bahwa reputasi seseorang kini tidak hanya dibangun dari prestasi akademik atau profesional, tetapi juga dari jejak digital yang ditinggalkan di media sosial. Oleh karena itu, mahasiswa dan calon praktisi humas dituntut untuk memperkuat literasi digital dan menanamkan karakter profesional yang beretika.
Menurutnya, keberhasilan seorang praktisi PR di masa depan bukan ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang digunakan, melainkan seberapa manusiawi cara berkomunikasi yang dibangun.
“AI boleh membantu pekerjaan kita, tapi jangan sampai menggantikan empati kita sebagai manusia. Karena komunikasi yang benar adalah komunikasi yang tetap manusiawi,” pungkasnya. (ID)


