Oleh: Muhsin Hariyanto
Dosen Tetap Program Studi Ekonomi Syari’ah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Perjuangan kaum intelektual muslim tidak seharusnya dilupakan, hanya karena kita lebih sering ‘terpukau’ terhadap sejarah ‘perang’ yang terkesan hanya memerkenalkan jasa para tentara sebagai pihak yang paling berjasa dalam meraih kemenangan.
Beberapa ayat al-Quran yang ‘harus kita baca’, misalnya: QS Âli ‘Imrân/3: 104 dan 110, yang menyatakan artipenting ‘beramar ma’ruf – nahi mungkar’ untuk mencapai kejayaan, dalam perjuangan melawan ‘kemungkaran’ pun Rasulullah saw pernah menegaskan: “Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah dia (bersedia) mengubah ‘kemungkaran itu’ dengan tangannya; apabila tidak sanggup, hendaklah dia mengubah dengan lisannya; dan apabila tidak sanggup, hendaklah dia mengubah dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemah keimanan.” (HR Muslim dari Abu Sa’id al-Khudriy, Shahîh Muslim, I/50)
Hadits ini tidak jarang difahami, bahwa perjuangan yang terbaik adalah dengan ‘mengangkat senjata’, dalam pengertian berperang ‘secara fisik’. Sementara itu, sejumlah orang yang telah berperan untuk menyusun strategi perjuangan mereka dengan sejumlah gagasan cemerlang jarang disebut sebagai ‘pejuang’. Padahal, dari gagasan merekalah kemenangan para pejuang politik praktis itu memeroleh kemenangan mereka.
Di negeri kita tercinta, Buya HAMKA tidak lebih dikenal sebagai seorang ‘’ulama’ daripada seorang mujâhid (pejuang), padahal sepak-terjangnya dalam ‘perjuangan (dakwah) Islam’ - yang penuh risiko, dan pernah dialaminya tidak mungkin ‘sama-sekali’ kita abaikan. Di saat banyak ulama yang menyatakan, bahwa Ilmu itu seperti: “pedang bermata dua,” bila kita benar dalam menggunakannya, maka ilmu itu bermanfaat, dan sebaliknya, ketika kita salah dalam menggunakannya, maka bukan tidak mungkin kita akan merasakan madharatnya, Beliau (Buya HAMKA) telah menunjukkan integritasnya sebagai seorang ulama sejati. Beliau tidak pernah ‘ciut- nyalinya’ untuk bernahi mungkar dengan ketajaman lisan dan tulisannya, meskipun dengan sikap isitqamahnya untuk menegakkan kebenaran dengan ‘kejujuran’ untuk menyatakan yang benar adalah benar dan salah adalah salah, penjara pun pernah dirasakannya (di masa Orde Lama). Dan di masa Orde baru pun ‘Beliau’ tidak pernah berubah untuk ‘tetap bersikap istiqamah’ menjadi seorang ‘Mujâhid (Pejuang) Sejati’.
Sudah terbayang secara gamblang atas apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah shalallâhu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban untuk ‘bernahi mungkar’, yang antara lain bisa dilakukan dengan ‘ilmu’, bukanlah sekadar dengan ‘banyak berucap’, dan bukan juga dengan banyaknya ‘publikasi ilmiah’ yang kita torehkan ke dalam ruang-runga publik ‘zona nyaman dan aman’, termasuk di dalamnya yang kita harapkan untuk meraih ‘popularitas dan/atau pengakuan diri’. Penulis tegaskan dalam tulisan ini, bahwa “Ilmu” adalah sesuatu yang harus lebih bermanfaat daripada sekadar untuk menunjukkan ‘intelektualitas’ seseorang. Ilmu apa pun yang telah, tengah dan akan kita pelajari, juga harus kita amalkan untuk ‘berperang’ melawan kemungkaran, agar kita mendapatkan keberkahan dengan ilmu yang telah kita peroleh dari proses belajar kita selama ini.
Fastabiqû al-Khairât