Cinta dan Diplomasi Nabi (Serial Kehidupan Nabi SAW)
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mari kita mengupas salah satu sisi kehidupan Nabi Muhammad yang sering disalahartikan: pernikahan beliau. Beliau memiliki 11 istri sepanjang hidupnya, sebuah fakta yang terkadang menimbulkan pertanyaan tentang kepribadian beliau. Mari kita mulai dengan pernikahan pertama beliau dengan Khadijah.
Menurut riwayat, Nabi Muhammad berusia 25 tahun saat pertama kali menikah. Sepanjang masa mudanya hingga usia tersebut, tidak ada catatan tentang cacat cela dalam karakter dan akhlak beliau. Meski kita tahu bahwa terkadang anak muda tergoda pada perilaku tidak bermoral, Muhammad tetap teguh dalam kemuliaan. Pernikahan pertamanya adalah dengan Khadijah, seorang wanita yang lebih tua darinya. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak semata-mata mencari istri yang muda dan cantik, meskipun Khadijah juga memiliki kualitas tersebut. Khadijah dikenal dengan julukan al-Tahirah al-Afifah, yang artinya wanita suci dan berbudi luhur. Inilah yang menjadi pertimbangan utama Nabi dalam memilih pasangan hidup. Perlu diketahui juga bahwa Khadijah adalah seorang pengusaha wanita yang sukses.
Khadijah adalah seorang pengusaha wanita, dan bahkan Nabi pernah mengelola bisnisnya dengan sangat baik. Hal ini menjadi contoh dalam Islam bahwa seorang pria diperbolehkan bekerja untuk seorang wanita, dan wanita memiliki hak penuh untuk memiliki dan menjalankan bisnisnya sendiri.
Beliau hidup bersama Khadijah selama 25 tahun, dan selama itu, Khadijah adalah satu-satunya istrinya. Setelah Khadijah meninggal, Nabi saat itu berusia sekitar 50 tahun. Kemudian, ada saran agar beliau menikah lagi, salah satu alasannya adalah karena beliau memiliki putri-putri yang masih kecil dan tentunya membutuhkan sosok ibu di rumah.
Setelah Khadijah wafat, berarti ada 10 istri lainnya. Namun, perlu diingat bahwa selama hidupnya, ada satu istri beliau yang juga meninggal dunia. Jadi, paling banyak beliau memiliki sembilan istri pada satu waktu. Hal ini perlu dipahami dalam konteks sosial saat itu. Penting untuk dicatat bahwa banyak tokoh besar dalam sejarah, termasuk nabi-nabi yang dihormati umat Islam, memiliki banyak istri. Kita perlu memahami berbagai situasi yang melatarbelakangi praktik pernikahan semacam itu pada masa tersebut.
Pertanyaan menariknya adalah apakah poligami merupakan praktik yang umum pada masa itu? Jawabannya adalah ya, sangat umum. Kita bisa melihatnya dari berbagai catatan sejarah yang menunjukkan bahwa pada masa lampau, terutama di masyarakat-masyarakat Timur Tengah dan sekitarnya, poligami adalah praktik yang lazim di kalangan pria. Bahkan, tokoh-tokoh besar dalam sejarah, seperti Nabi Ibrahim dan Nabi Daud, juga memiliki lebih dari satu istri.
Dalam Alkitab sendiri, terdapat kisah Nabi Sulaiman yang memiliki ratusan istri dan selir. Meskipun jumlahnya mungkin terdengar fantastis dan sulit dibayangkan dalam konteks modern, ini memberi kita gambaran betapa poligami merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial pada zaman dahulu.
Mengapa demikian? Salah satu alasan utamanya adalah struktur sosial masyarakat pada masa itu. Suku-suku menjadi unit sosial yang penting, dan kekuatan suatu suku seringkali diukur dari jumlah anggotanya. Nah, poligami memungkinkan seorang pria memiliki banyak anak, memperluas keluarganya, dan pada akhirnya memperkuat sukunya. Jadi, bisa dikatakan bahwa praktik ini memiliki fungsi sosial yang signifikan pada masa itu.
Selain itu, perlu diingat bahwa pada masa itu tingkat kematian, terutama saat peperangan, cukup tinggi. Poligami juga bisa menjadi cara untuk melindungi para janda dan anak yatim, memberikan mereka tempat berlindung dan dukungan dalam masyarakat. Tentu saja, konteks sosial dan budaya pada masa lalu sangat berbeda dengan zaman sekarang. Namun, dengan memahami latar belakang sejarah ini, kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang mengapa poligami pernah menjadi praktik yang umum, terutama dalam kaitannya dengan kehidupan Nabi Muhammad dan para nabi sebelumnya.
Mari kita dalami lebih jauh pernikahan Nabi Muhammad SAW yang seringkali menjadi topik perbincangan hangat. Sejumlah sejarawan terkemuka, seperti Karen Armstrong dalam biografinya yang terkenal tentang Nabi, dan John Esposito, seorang akademisi Kristen yang mendalami studi Islam, berpendapat bahwa banyak pernikahan Nabi dilatarbelakangi oleh alasan-alasan politik dan sosial yang strategis.
Salah satu pola yang menarik adalah pernikahan Nabi dengan putri-putri dari dua sahabat terdekatnya, Abu Bakar dan Umar, yang merupakan tokoh sentral dalam perkembangan awal Islam. Dengan menikahi Aisyah, putri Abu Bakar, dan Hafshah, putri Umar, Nabi bukan hanya menjalin ikatan keluarga, tetapi juga memperkuat aliansi politik dengan dua tokoh paling berpengaruh dalam komunitas Muslim saat itu. Ini adalah langkah strategis untuk memperkokoh fondasi kepemimpinan dan memastikan dukungan dari orang-orang yang paling berkomitmen pada dakwah Islam.
Mari kita lihat contoh lain yang menunjukkan bagaimana pernikahan Nabi menjadi jembatan perdamaian dan persatuan. Salah satunya adalah pernikahan beliau dengan Juwayriyah, putri pemimpin Bani Mustaliq. Suku ini pernah menjadi musuh bebuyutan umat Islam, dan setelah mereka kalah dalam perang, banyak anggota suku yang ditawan. Namun, Nabi menawarkan untuk menikahi Juwayriyah, dan sebagai hasilnya, semua tawanan dari Bani Mustaliq dibebaskan. Tindakan ini mengirimkan pesan kuat bahwa Juwayriyah kini menjadi bagian dari keluarga besar umat Islam, dan dengan demikian, seluruh sukunya pun layak diperlakukan dengan baik. Inilah bukti nyata bagaimana Nabi menggunakan pernikahan sebagai sarana untuk meredakan konflik dan membangun rekonsiliasi, bahkan dengan mereka yang sebelumnya bermusuhan.
Strategi serupa juga terlihat dalam pernikahan Nabi dengan Safiyya, putri seorang pemimpin Yahudi terkemuka. Dalam pandangan Islam, istri-istri Nabi dianggap sebagai "Ummul Mukminin" atau Ibu dari orang-orang beriman. Dengan Safiyya menjadi salah satu Ummul Mukminin, terjalinlah hubungan kekerabatan antara umat Islam dan komunitas Yahudi. Ini adalah simbol penghormatan dan pengakuan terhadap keberagaman, menunjukkan bahwa meskipun berbeda keyakinan, kedua komunitas bisa hidup berdampingan secara harmonis.
Pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah, putri Abu Sufyan, juga memiliki dimensi politik yang penting. Abu Sufyan adalah pemimpin berpengaruh di Mekah yang awalnya sangat menentang Islam. Namun, pernikahan putrinya dengan Nabi meluluhkan hatinya dan membuka jalan bagi penaklukan Mekah tanpa pertumpahan darah. Apa yang tidak bisa dicapai dengan pedang, berhasil diraih melalui ikatan pernikahan yang dilandasi cinta dan kasih sayang. Ini adalah contoh luar biasa bagaimana Nabi menggunakan pernikahan untuk membangun perdamaian dan menjalin aliansi, menunjukkan bahwa cinta bisa menjadi senjata yang lebih ampuh daripada kekerasan.
Jadi, jelaslah bahwa banyak pernikahan Nabi memiliki tujuan yang jauh lebih besar daripada sekadar hubungan pribadi. Beliau memanfaatkan pernikahan sebagai alat diplomasi yang efektif, mempererat hubungan antar suku dan agama, serta menciptakan perdamaian di tengah konflik yang berkecamuk. Ini adalah bukti nyata dari kebijaksanaan dan kepemimpinan Nabi yang luar biasa, yang patut kita renungkan dan teladani.
Selain peran mereka dalam membangun hubungan politik, istri-istri Nabi juga memberikan dukungan pribadi dalam menyebarkan misi Islam. Khadijah, istri pertama Nabi, memiliki peran yang sangat penting, terutama pada masa-masa awal kenabian. Ketika Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu, beliau merasa bingung dan cemas, tidak tahu bagaimana harus menyikapi pengalaman spiritual yang luar biasa ini.
Di saat itulah Khadijah hadir sebagai sosok pendukung yang teguh, menenangkan hati Nabi dan menguatkan keyakinannya. Ini adalah bukti cinta dan kesetiaan yang luar biasa, mengingat bahwa tidak semua istri akan dengan mudah menerima perubahan besar dalam kehidupan suami mereka.
Selain Khadijah, istri-istri lain juga memberikan kontribusi berharga. Ummu Salama, misalnya, memberikan nasihat bijak kepada Nabi ketika beliau dan umat Islam dihalangi untuk melaksanakan ibadah haji di Mekah. Saat itu, kaum muslimin merasa bingung dan marah karena dihalangi untuk beribadah di tempat suci.
Ummu Salama dengan cerdas menyarankan agar Nabi tetap melaksanakan penyembelihan hewan kurban di tempat mereka berada, meskipun tidak sesuai dengan tradisi. Nasihat ini diterima Nabi, dan umat Islam pun mengikuti, sehingga situasi yang tegang menjadi tenang. Ini menunjukkan bahwa istri-istri Nabi bukan hanya pendamping hidup, tetapi juga mitra dalam perjuangan, memberikan dukungan dan masukan berharga dalam menyebarkan ajaran Islam.