Losing My Religion: Mengapa Generasi Muda Kehilangan Iman?

Publish

1 January 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
152
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Losing My Religion: Mengapa Generasi Muda Kehilangan Iman?

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Alhamdulillah, kita masih diberi kesempatan untuk berbagi ilmu dan menambah khazanah keislaman kita. Kali ini, saya ingin merekomendasikan sebuah buku yang sangat berkesan bagi saya, judulnya Losing My Religion: A Call for Help (2004).

Buku ini ditulis oleh Dr. Jeffrey Lang, seorang profesor matematika di Universitas Kansas, Amerika Serikat. Mungkin beberapa dari Anda sudah familiar dengan karya-karya beliau sebelumnya, seperti Struggling to Surrender yang sangat populer itu. Losing My Religion ini juga tak kalah menarik, lho! Jujur saja, buku ini benar-benar membuka mata saya dan memberikan perspektif baru dalam memahami dinamika keimanan di era modern ini. Sangat membantu saya dalam berdakwah dan menyampaikan pesan-pesan Islam yang damai dan menyejukkan.

Melalui buku ini, saya menyadari bahwa di luar sana, banyak orang yang sedang berjuang menemukan jati diri mereka sebagai seorang Muslim. Ada yang baru saja memeluk Islam dan masih menyesuaikan diri, ada pula yang sudah lama berislam namun goyah imannya. Yang lebih mencengangkan lagi, ada yang sampai merasa kehilangan agama mereka! Subhanallah, sungguh miris mendengarnya.

Ngomong-ngomong soal judul, ternyata Losing My Religion ini juga judul sebuah lagu populer, lho! Tapi pertanyaannya, mengapa Dr. Lang memilih judul yang sama untuk bukunya? Apa makna di baliknya?

Ternyata judul Losing My Religion itu bukan tanpa alasan! Dr. Lang menceritakan bahwa selama bertahun-tahun, beliau menerima banyak sekali email dari orang-orang di seluruh dunia. Email-email itu berisi curahan hati dan pertanyaan seputar keraguan dalam beragama. Mereka merasa gelisah, bingung, dan seperti kehilangan arah. "Saya merasa kehilangan agama saya," begitu kira-kira inti dari email tersebut. Mereka memohon penjelasan, bimbingan, dan dukungan agar bisa kembali menemukan kekuatan iman mereka.

Bayangkan, betapa susahnya kondisi mereka yang sedang berjuang melawan keraguan dalam hati. Dr. Lang pun menyadari bahwa keraguan itu merupakan masalah nyata yang dihadapi banyak orang, dan beliau merasa terpanggil untuk membantu. Maka, beliau mulai mengumpulkan dan mengorganisir email-email tersebut ke dalam sebuah folder bernama Losing My Religion. Folder itulah yang kemudian menjadi cikal bakal buku ini.

Di dalam buku ini, Dr. Lang menyajikan email-email asli yang diterimanya, lengkap dengan jawaban dan penjelasan yang beliau berikan. Menariknya, saat membaca buku ini, kita mungkin akan menemukan pertanyaan-pertanyaan yang serupa dengan yang pernah kita pikirkan sendiri. "Wah, ini persis seperti yang ingin saya tanyakan!" atau "Saya juga pernah merasa ragu seperti ini," mungkin itulah yang akan Anda rasakan.

Salah satu contoh keraguan yang sering muncul adalah tentang hadis. Banyak orang yang bertanya tentang keotentikan hadis dan kesesuaiannya dengan al-Qur'an. Ada yang bahkan mengatakan, "Semakin banyak saya membaca hadis, semakin saya merasa ragu." Mereka merasa hadis justru menjadi penghalang dalam memahami dan mengamalkan Islam. Tentu saja ini menjadi perhatian penting, terutama bagi mereka yang baru masuk Islam atau yang sedang memperdalam ilmu agama.

Dr. Lang, dalam pendahuluan bukunya, menyoroti sebuah fenomena yang cukup memprihatinkan, yaitu semakin banyaknya generasi muda Muslim yang goyah imannya, bahkan sampai ada yang meninggalkan agama mereka. Salah satu faktor penyebabnya adalah lingkungan sekitar yang tidak kondusif. Bayangkan, teman-teman, anak-anak Muslim tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang budayanya seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Mereka seperti hidup di dua dunia yang berbeda.

Di sekolah, misalnya, mereka dihadapkan pada berbagai aktivitas yang mungkin tidak sesuai dengan ajaran agama, seperti mewarnai gambar yang bertema religius lain atau merayakan hari raya non-Islam. Mereka harus pintar-pintar menyesuaikan diri agar bisa diterima di lingkungan pergaulannya. Belum lagi isu pergaulan bebas yang semakin meresahkan. Dr. Lang menyebutkan bahwa di Amerika, anak-anak usia sekolah dasar pun sudah mulai berpacaran! Tentu saja ini menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak Muslim yang dididik dengan nilai-nilai konservatif. Mereka mungkin akan merasa terasing dan kesulitan untuk bergaul dengan teman-temannya.

Selain itu, ada pula pengaruh budaya populer yang seringkali menggambarkan perilaku-perilaku negatif, seperti minum-minuman keras dan pergaulan bebas, sebagai sesuatu yang keren dan menyenangkan. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Anak-anak Muslim yang melihat tayangan tersebut bisa jadi merasa tergiur dan ingin mencoba-coba, atau sebaliknya, mereka justru merasa terisolasi karena tidak ikut melakukannya.

Perzinaan dan percabulan, yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam, malah dianggap sebagai hal yang biasa saja di masyarakat Barat. Bahkan, usia anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual semakin muda. Ini tentu saja sangat mengkhawatirkan dan menjadi tantangan besar bagi orang tua Muslim dalam mendidik anak-anak mereka agar tetap berpegang teguh pada ajaran agama.

Di satu sisi, para pemuda Muslim ini merasa terasing dari budaya masyarakat sekitar yang liberal. Namun, ironisnya, mereka juga merasakan hal yang sama ketika berada di lingkungan masjid. Mengapa? Karena budaya yang berkembang di masjid-masjid, terutama di negara-negara Barat, seringkali masih kental dengan nuansa tradisional dari negara asal para imigran Muslim.

Beberapa tokoh senior di masjid mungkin masih menganut paham konservatif dan mengharapkan generasi muda untuk mengikuti aturan dan norma yang berlaku di negara asal mereka. Mereka lupa bahwa para pemuda ini lahir dan besar di lingkungan yang berbeda, dengan budaya dan tantangan yang berbeda pula. Akibatnya, para pemuda merasa dihakimi dan dibatasi, sehingga mereka pun merasa tidak bebas dan tidak nyaman berada di masjid.

Perbedaan persepsi tentang menghormati orang tua juga bisa menjadi sumber konflik. Di masyarakat Barat, menghormati orang tua tidak selalu diwujudkan dengan cara yang formal dan tradisional. Namun, di lingkungan masjid, sikap sopan santun dan tata krama terhadap orang tua sangat ditekankan. Jika seorang pemuda bertindak sedikit saja kurang sopan, ia bisa langsung dianggap tidak beradab dan mendapat teguran. Hal ini tentu saja membuat para pemuda merasa terkekang dan enggan untuk aktif di masjid.

Selain itu, ada juga perbedaan dalam hal pengembangan pola pikir. Di sekolah dan universitas, para pemuda didorong untuk berpikir kritis, menganalisis, dan mempertanyakan segala sesuatu. Sementara itu, di lingkungan masjid, mereka lebih diajarkan untuk menerima dan mengikuti ajaran agama tanpa banyak bertanya. Ketika mereka mencoba berpikir kritis dan mengajukan pertanyaan, mereka malah dicurigai imannya dan dianggap sesat. Tentu saja ini membuat mereka frustasi dan malas untuk mempelajari agama lebih dalam.

Dengan berbagai permasalahan tersebut, tak heran jika banyak pemuda Muslim yang akhirnya menjauh dari agama. Namun, perlu diingat bahwa keraguan dan pertanyaan seputar agama bukanlah monopoli generasi muda. Orang dewasa, bahkan yang berpendidikan tinggi sekalipun, juga bisa mengalami hal yang sama. Mereka mungkin mempertanyakan konsep-konsep teologis yang sulit dicerna akal, seperti takdir (al-qada wa l-qadar). Dr. Lang sendiri menyadari hal ini dan mencoba memberikan penjelasan yang lebih mudah dipahami mengenai konsep takdir, misalnya dengan menjelaskan tentang pengetahuan Tuhan yang melampaui batas waktu.

Buku Losing My Religion ini mengajak kita untuk merenungkan berbagai pertanyaan dan keraguan yang muncul dalam benak umat Islam, baik generasi muda maupun tua. Dr. Lang menyajikan berbagai perspektif dan penjelasan yang menarik untuk dibaca dan direnungkan. Pada akhirnya, kita diharapkan mampu menemukan jawaban dan pemahaman kita sendiri tentang agama, sehingga kita bisa tetap berpegang teguh pada iman di tengah arus modernisasi yang semakin deras.

Terlepas dari setuju atau tidaknya kita dengan semua argumen yang disampaikan Dr. Lang, ada satu hal penting yang perlu kita garis bawahi: buku ini dengan gamblang menunjukkan adanya pergulatan batin yang nyata di kalangan umat Islam, baik di Amerika, Kanada, maupun di belahan dunia lainnya, dalam mempertahankan iman mereka. Mereka mencari jawaban, penjelasan, dan pemahaman yang lebih mendalam tentang agama mereka. Dan ini bukan hanya terjadi pada generasi muda, tetapi juga pada orang dewasa, pria maupun wanita.

Dr. Lang menyisipkan sebuah email menarik dari seorang wanita Kanada yang mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi wanita Muslim dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Ia menyinggung tentang pernyataan-pernyataan keagamaan dan tradisi-tradisi yang dirasa sulit diterima oleh akal sehat dan bertentangan dengan nilai-nilai kesetaraan gender. Ini menunjukkan bahwa perjuangan mempertahankan iman tidak hanya dialami oleh mereka yang tinggal di negara-negara Barat, tetapi juga di negara-negara lain dengan konteks sosial dan budaya yang berbeda.

Oleh karena itu, saya sangat merekomendasikan buku Losing My Religion ini untuk dibaca oleh seluruh umat Islam, apapun latar belakang dan usia mereka. Buku ini membuka mata kita terhadap realita bahwa banyak saudara seiman kita yang sedang berjuang mempertahankan iman mereka. Meskipun saat ini, terutama di bulan Ramadan yang penuh berkah ini, kita mungkin merasakan iman kita sedang berada di puncaknya, kita tidak boleh lengah. Setelah Ramadan berlalu, kita akan kembali pada rutinitas dan kesibukan sehari-hari, dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu mungkin akan muncul kembali.

Kita perlu membekali diri dengan pengetahuan agama yang kuat dan jawaban-jawaban yang logis agar kita bisa menjawab keraguan dan pertanyaan tersebut, baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain. Kita juga perlu membantu generasi muda kita untuk memahami dan mencintai agama mereka, serta menciptakan lingkungan masjid yang inklusif dan akomodatif, di mana mereka merasa diterima dan dihargai.

Masjid seharusnya menjadi rumah kedua bagi umat Islam, tempat yang nyaman dan mendukung pertumbuhan iman mereka. Kita perlu mewujudkan masjid yang tidak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga pusat pembelajaran, diskusi, dan pengembangan diri. Masjid juga harus menjadi tempat yang ramah bagi perempuan, di mana mereka bisa berkontribusi aktif dan mengembangkan potensi mereka.

Dengan demikian, kita bisa membantu umat Islam, terutama generasi muda, untuk tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang sejati, yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Losing My Religion: A Call for Help adalah sebuah ajakan untuk kita semua untuk lebih peduli terhadap permasalahan umat dan bersama-sama mencari solusi yang tepat. Semoga buku ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua dalam memperkuat iman dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Manusia Komunis Oleh: Saidun Derani, Dosen Pascasarjana UM-Sby, UM-Tangerang, dan UIN Syahid Jakart....

Suara Muhammadiyah

20 September 2024

Wawasan

Persatuan Bangsa Arab: Antropologis Kuat, Politis Rapuh  Oleh: Hajriyanto Y. Thohari  Ba....

Suara Muhammadiyah

22 July 2023

Wawasan

Akhir Amanah  Oleh: Muslim Fikri  Senja mulai tampak, pertanda malam segera bertugas, ru....

Suara Muhammadiyah

29 October 2023

Wawasan

Kasih Sayang Allah dalam Islam dan Kristen: Menelisik Buku Paus Fransiskus Oleh: Donny Syofyan, Dos....

Suara Muhammadiyah

22 January 2025

Wawasan

Oleh: Rivandy Azhari Ali Harahap Indonesia adalah negara yang unik dengan kekayaan budaya, agama, d....

Suara Muhammadiyah

20 September 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah