Dakwah Tak Tergantikan AI
Oleh: Bana Fatahillah, Lc M.Ag, Direktur SMA At-Taqwa College Depok
Saya sependapat dengan pernyataan Wapres bahwa santri harus ‘melek’ perkembangan teknologi modern, termasuk kecerdasan buatan (AI). Semua ini bisa menjadi sarana memperluas dakwah ke berbagai kalangan dan tempat yang sebelumnya sulit dijangkau.
Namun perlu disadari bahwa ada wilayah yang tidak bisa ditembus algoritma AI dan hanya menjadi menjadi domain ruh dan batin manusia. Karenanya, kata syekh Usamah al-Azhari seberapa pun canggihnya AI, ia tidak akan pernah melampaui ketajaman hati dalam diri manusia.
أن الذكاء الاصطناعي، خالٍ من الروح، جامد لا نبض فيه، خالٍ من الوجدان، عاجز عن بثّ النور في القلوب، وما بعث الله تعالى رسله إلا ليملؤوا القلوب نورًا وبصيرة
“AI itu tanpa ruh, kaku, tak bernyawa, tak memiliki rasa batin, dan tak mampu menyalakan cahaya dalam hati. Padahal Allah mengutus para rasul justru untuk memenuhi hati manusia dengan cahaya dan penglihatan batin,” catat Syekh Usamah.
Dakwah Santri
Di sinilah peran santri yang tak akan terganti: dakwah. Kekuatan dakwah sejatinya terletak pada ketulusan hati dan kejernihan jiwa yang menyentuh dan membukakan pintu hidayah.
Dakwah yang kehilangan ruhnya akan menjadi pesan yang ‘dingin’ dan mekanis. Ia hanya akan menjadi informasi yang benar secara kata, tapi mati secara rasa. Sorang santri sekaligus da’i bukan hanya perlu melek teknologi, tapi meresapi dakwah dari lubuk hati.
Ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw bahwa Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari dada manusia, tetapi mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Artinya ilmu terpancar dari dalam dada, bukan hanya sekadar informasi berupa kata-kata.
Algoritma AI tak mampu mengalahkan ketajaman hati seorang da’i. Secanggih apapun, teknologi hanyalah alat, bukan sumber hakiki hidayah; sedangkan hidayah itu lahir dari hati yang bersih dan jiwa yang jujur dalam mencari kebenaran.
Ketajaman hati inilah yang diingatkan oleh Allah dalam firman-Nya:
قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ عَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ
“Katakanlah: Inilah jalanku; aku dan orang-orang yang mengikutiku memanggil manusia kepada Allah dengan bashirah (kesadaran dan penglihatan batin).”
Bashirah, jelas syekh Usamah, adalah cahaya yang mampu membersihkan hati dan menajamkan akal. Sampai kapan pun ia tidak bisa digantikan dengan pemrograman atau kecerdasan algoritmik.
Sehebat apapun AI kelak, ia tidak akan mampu menggantikan suara yang lahir dari hati yang bergetar karena takut kepada Allah. Ia juga tidak bisa menggantikan air mata keikhlasan dalam sujud panjang. Bahkan ia tidak bisa menggantikan doa seorang alim yang keluar dari kedalaman batinnya. Bashirah inilah yang tidak dimiliki AI.
ومن هنا يتبين أن الواجب الأكبر هو أن يُبقي الداعي عينه على بصيرته، ويده على أدوات عصره
“Karenanya, tugas terbesar seorang da’i adalah menjaga matanya tetap pada basirahnya, dan tangannya tetap memegang alat-alat zamannya,” catat Mentri Wakaf Mesir itu.
Santri da’i harus menggabungkan antara cahaya hati dan kecanggihan teknologi. Bukan memilih salah satunya tapi menyeimbangkan keduanya. Mereka harus menjadi ‘ruh’ yang menghidupkan teknologi, bukan sekadar memakainya.
Sebab AI adalah pisau bermata dua. Di tangan santri dan da’i yang hidup hatinya, ia akan menjadi alat dakwah yang hebat. Sebaliknya ia juga bisa menjadi perusak dan pemecah belah apabila ada di tangan yang salah.
Cakrawala yang Diharapkan
Apabila kecerdasan buatan digunakan dengan benar dan diarahkan dengan baik, ia mampu memberikan pelayanan besar bagi dakwah santri dan da’i.
Di antaranya membangun platform dakwah ilmiah, menyusun kurikulum interaktif, memantau munculnya berbagai syubhat (kerancuan pemikiran) dan memberikan jawaban dengan hujah yang mendalam dan jelas. Lagi-lagi semua itu akan membuahkan kebaikan apabila berada dalam bingkai cahaya iman dan akal manusia yang beriman kepada Allah.


