BERLIN, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Jerman bekerja sama dengan KJRI Frankfurt, PPI Jerman, Forkom PCIM Eropa dan Mediterania, dan Maarif Institute menggelar webinar bertajuk "Diaspora Indonesia dan Pendidikan: Membangun Jembatan antara Indonesia dan Jerman." Acara ini menghadirkan Prof. Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar Menengah (Mendikdasmen) Republik Indonesia, yang juga aktif di Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai Sekretaris Umum. Webinar ini dibuka dengan pemaparan oleh Menteri, lalu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan diskusi. Dalam pemaparannya, Menteri Abdul Mu’ti menyampaikan gagasannya untuk Kementerian Pendidikan Dasar Menengah dalam menghadapi berbagai problematika dalam sistem pendidikan nasional.
Dalam paparannya, Prof. Abdul Mu’ti menekankan bahwa pendidikan harus dimulai sejak dini, bahkan sejak masa kehamilan. Mengacu pada konsep yang tertuang dalam buku Prenatal Classroom, ia menyoroti pentingnya nutrisi bagi ibu hamil dalam membentuk kualitas generasi mendatang. Dalam perspektif Islam, keyakinan bahwa nyawa (ruh) telah ditiup sebelum anak lahir juga menjadi landasan penting bagi kebijakan yang memperhatikan gizi ibu hamil. Ia mengaitkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan kebutuhan gizi anak sejak di kandungan dan mengharapkan program ini juga dapat disasarkan kepada ibu hamil, tidak hanya anak-anak di sekolah.
Hadir di tengah audiens yang kebanyakan merupakan diaspora Indonesia di luar negeri, Menteri Abdul Mu’ti menyoroti berbagai keuntungan menempuh pendidikan di luar negeri. Penguasaan bahasa asing meningkatkan daya saing global, wawasan luas dan pengalaman internasional membuka perspektif baru dalam berpikir, serta kesempatan membangun koneksi global dapat dimanfaatkan untuk pengembangan karier dan kontribusi bagi Indonesia. Masyarakat yang majemuk di luar negeri juga membentuk pribadi dengan pikiran yang lebih terbuka. Ia mengingatkan bahwa banyak tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti Bung Hatta, menimba ilmu serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari luar negeri. Oleh karena itu, meskipun berada di luar negeri, diaspora harus tetap menjaga identitasnya dan terus berkontribusi bagi kemajuan bangsa Indonesia di kancah global.
Sebagai organisasi Islam yang berkomitmen pada kemajuan bangsa, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi besar dalam dunia pendidikan. Sebanyak 10 persen siswa Indonesia menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah, sementara 850.000 mahasiswa belajar di perguruan tinggi Muhammadiyah. Jaringan sekolah Muhammadiyah tersebar luas, bahkan hingga ke luar negeri. Bagi Menteri Abdul Mu’ti, mencerdaskan anak bangsa adalah tugas yang tertuang dalam UUD 1945, serta menciptakan sistem pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada kemajuan serta perdamaian global adalah metode dakwah Muhammadiyah.
Dalam sesi diskusi, Hamzah Fansuri, mahasiswa doktoral di University of Heidelberg yang bertindak sebagai moderator, menyoroti program sekolah asrama unggulan. Menteri Abdul Mu’ti menanggapi bahwa meskipun program tersebut berada di bawah yurisdiksi Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Saintek (Mendiktisaintek), nyawa dari pendidikan di sekolah tersebut masih menjadi bagian dari Kemendikdasmen.
Muhammad Nur Ar Royyan Mas, Ketua PPI Jerman, mengangkat dua permasalahan utama dalam sistem pendidikan Indonesia, yaitu diskrepansi angka anak-anak yang memulai pendidikan SD dengan angka lulusan SMA, serta solusi dari ketiadaan ujian akhir di sekolah. Abdul Mu’ti menanggapi bahwa angka putus sekolah di Indonesia masih tinggi, terutama dari tingkat SMP ke SMA, yang disebabkan oleh kendala ekonomi. Pemerintah telah menerapkan Program Indonesia Pintar (PIP) guna memberikan bantuan pendidikan bagi siswa kurang mampu. Berdasarkan data, angka partisipasi sekolah di Indonesia saat ini masih berada di angka 8,9 tahun, yang berarti banyak siswa belum menyelesaikan pendidikan menengah atas. Konsep sekolah satu atap sedang dipertimbangkan agar siswa dapat melanjutkan pendidikan hingga tingkat SMA dalam satu sistem terintegrasi.
Terkait sistem ujian kelulusan, Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa Tes Kemampuan Akademik (TKA) kini akan menggantikan Ujian Nasional (UN). TKA bersifat sukarela dan diselenggarakan oleh pemerintah pusat untuk SMA, pemerintah provinsi untuk SMP, dan pemerintah kabupaten/kota untuk SD. Ujian ini tidak menjadi penentu kelulusan, tetapi dapat menjadi pertimbangan dalam jalur prestasi. Kebijakan ini bertujuan mengubah sistem pendidikan Indonesia yang selama ini terlalu berorientasi pada nilai ujian menjadi sistem yang lebih fokus pada pembelajaran mendalam, literasi, dan numerasi.
Dr. Ervan Nurtawab dari PCI Muhammadiyah menyoroti permasalahan standarisasi buku pelajaran, di mana buku teks acuan di sekolah di Indonesia sering kali berganti sehingga tidak dapat diwariskan ke adik kelas. Kebijakan ini menyebabkan orang tua harus mengeluarkan biaya tambahan hingga Rp500.000 - Rp600.000 per tahun. Menanggapi hal ini, Menteri Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa sistem pendidikan Indonesia masih terlalu berat pada konten. Pemerintah berencana untuk menyediakan buku dalam format digital agar dapat diunduh secara gratis serta meningkatkan ketersediaan buku non-teks untuk mendukung pembelajaran berbasis STEM.
Dalam diskusi lainnya, Deny P. Sambodo dari PCIM Hongaria menyoroti problematika absensi guru dan tunjangan kinerja, serta status hukum guru di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) yang perlu diperjelas dan diperkuat. Menteri Abdul Mu’ti menanggapi bahwa banyak SILN telah ditutup, menyisakan hanya belasan sekolah di beberapa negara. Tantangan utama SILN meliputi biaya operasional yang tinggi dengan rasio guru dan murid yang tidak seimbang, regulasi yang berbeda di setiap negara seperti Malaysia yang hanya memperbolehkan pendidikan hingga SMP, serta kesulitan mendapatkan guru yang memenuhi standar lokal dan nasional. Sebagai alternatif, diaspora Indonesia memiliki pilihan untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah internasional atau sekolah lokal, atau dapat membangun sekolah bersama komunitas diaspora Indonesia.
Diskusi berlangsung hingga pukul 17:00 CET / 23:00 WIB dengan antusiasme tinggi dari peserta. Pelajaran berharga dari pertemuan ini adalah bahwa diaspora Indonesia memiliki peran strategis dalam menyongsong kemajuan bangsa di kancah global dalam berbagai bentuk kontribusi. PPI Jerman, PCI Muhammadiyah Jerman, dan Maarif Institute berharap agar program-program Kemendikdasmen RI dapat berjalan dengan baik dan mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk diaspora Indonesia di luar negeri.
Kontributor: Muhammad Nur Ar Royyan Mas
Editor: Hamzah Fansuri