Cerpen Soegiyono MS
Umi Salamah seorang nenek tua renta hidup sebatang kara. Anak-anaknya, masing-masing sudah hidup berumah tangga di kota lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari nenek Salamah hidup menjadi seorang pemulung. Nenek Umi Salamah hidup di pinggiran kota, di rumah tua yang amat sederhana, bahkan bisa dibilang kurang layak huni. Meskipun demikian, Nenek Salamah masih bersyukur, Allah masih dengan Pengasih dan PenyayangNya, tetap memberikan rizqi kepadanya. Untuk itu Umi tidak pernah lupa bersyukur, dengan tetap menjalankan ibadah shalat lima waktu, meskipun di gubuk reod yang kadang kalau lagi hujan, sebagian airnya masuk ke dalam gubuknya.
Suatu hari, nenek Umi seperti biasa memulung.Tak disangka sesudah waktu dhuhur, hujan sangat deras, bagai ditumpahkan dari langit. Dengan rasa takut, nenek Salamah berteduh di teras sebuah warung sederhana. Dengan rasa khawatir, takut kalau-kalau diusir, sebentar-sebentar nenek menengok ke arah pintu pemilik warung.
“Assalamu’alaikum nenek, ...ya Allah, coba nenek ke dalam sedikit. Itu lihat kain nenek dan kaki kehujanan, nanti bisa masuk angin, ayolah ke sini ke tempat yang untuk meneduh...” kata pak Muhlas pemilik warung nasi “Barokah” tersebut.
“Wa’aikumussalam... subhanallah, terima kasih nak...” jawab nenek Salamah.
“Maaf nek, ini ada sekadar teh panas untuk menyeka perut, biar hangat ...” kata Muhlas sambil membawa loyang berisi segelas teh dan ubi goreng.
“Masya Allah... begitu luhur budi dan sakhowahnya orang ini. Semoga Allah membalas atas keikhlasannya...” gumam nenek dalam qalbunya.
Assalamu’alaikuuuuuuum...!” salamnya pak Muhlas ketika suatu hari menyempatkan diri menengok nenek Salamah di rumahnya, yang beberapa hari tidak terlihat melintas di depan warungnya.
“Wa’alaikumus salam...” jawab nenek tampak sempoyongan dengan tongkatnya. “Ya Allah nak Muhlas ... repot-repot amat, ini bawa apa nak?” tanya nenek Salamah.
“Ini nasi jatah nenek...!” jawab Muhlas.
“Maksud nak Muhlas?” tanya nenek.
“Begini nek. Kami kan sudah diberi rizqi oleh Allah. Untuk mewujudkan rasa syukur kami, kami setiap hari Jum'at, memberikan layanan makan nasi dan lauk pauknya secara gratis, khususnya bagi kaum dhu’afa, umumnya bagi siapa saja. Nah yang saya bawa ini jatah buat nenek. Tetapi kok nenek tidak terlihat melintas di jalan depan warung. Nah, sekalian nengokin nenek saya bawa ke sini...” kata Muhlas.
“Subhanallah, mulia benar hati insan satu ini...” gumam nenek dalam hatinya.
“Kemana saja nenek, kok beberapa hari tidak berangkat memulung?” tanya Muhlas.
Nenek lalu bercerita, kalau sudah lama mengidap sakit rematik, sehingga kakinya sakit kalau untuk berjalan.
“Sudah dibawa ke dokter nek? Sebaiknya segera ke dokter, supaya segera mendapatkan obatnya, insya Allah segera sembuh...” kata Muhlas.
Nenek Salamah tidak menjawab, hanya kembali berbaring. Melihat keadaan nenek yang kian tampak lelah, Muhlas punya rencana tersembuyi kepada nenek Salamah. Esok harinya, dengan mengajak saudara sepupu dan mobilnya membawa nenek ke rumah sakit, untuk berobat. Sesampai di rumah sakit, dokter mengatakan, sebaiknya si nenek musti Mondok (dirawat inap) supaya dapat dimonitor perkembangannya, karena ada riwayat sesak nafas juga.
“Apa pun langkah sebaiknya, lakukan saja dokter...” kata Muhlas.
“Anda keluarganya?” tanya petugas medis.
“Ya, saya yang bertanggung jawab seluruh biaya perawatan nenek ini...” kata Muhlas yakin.
Hari demi hari, berganti minggu, penyakit nenek bukan semakin reda, tapi semakin parah. Petugas menyerahkan, apabila pasien mau dibawa pulang, silahkan, kami sudah berusaha tapi beum medapatkan hasilnya....” kata petugas dan dokter.
“Tidak, biarlah tetap dirawat, kami di rumah tidak dapat berbuat apa-apa,” kata Muhlas.
Muhlas berlari mendekati tempat nenek berbaring, kata suster, “nenek mencari pak Muhlas. Ada apa nek?” Tanya Muhlas. Sambil nafasnya tersengal, dan kata terbata, nenek berkata, ”Nak Muhlas, terima kasih nak Muhlas selama ini telah merengkuh saya dan bahkan merawat saya melebihi orang tua kandung. Disaat syakaratul maut ini, saya doakan nak Muhlas, rizqinya semakin melimpah dan barokah, suatu saat kelak semoga bisa berangkat ke tanah suci. Amin.”
“Sudahlah nek, bukankah kita sebagai sesama manusia harus saling tolong-menolong?
Saya ikhlas membantu nenek. Namun saya juga mengamini doa dari nenek semoga diqabul oleh Allah SwT.”
Hari berikutnya nenek Salamah dipanggil ke hadrat Allah SwT, dengan tenang. oleh Muhlas jenazah nenek disemayamkan di masjid dekat warung “Barokah” untuk dishalati, dan sorenya dimakamkan di kuburan setempat.
Sepeninggal nenek Salamah, warung “Barokah” kian laris, dan berkembang pesat, bahkan telah membuka dua cabang.
Seperti pesan nenek dalam doa menjelang ajal, Muhlas supaya tetap menggratiskan dagangan nasi ramesnya, setiap hari Jum'at, dan jangan lupa infaq para anak yatim piatu di panti-panti asuhan.
Atas ijin Allah, Muhlas dan istrinya juga telah mendaftarkan diri untuk menunaikan rukun Islam kelima ke Baitullah, meski harus melalui daftar tunggu seperti peserta lainnya.
“Terima kasih ya Rabb, atas karunia dan nikmatMu, yang telah Engkau berikan kepada kami. Kami bisa seperti ini, semua karena atas anugerahMu...!” kata Muhlas dalam tengadah tangan dan gumam doanya setiap saat.•
Cerpen SM 14 2023