YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Grha Suara Muhammadiyah (SM) menjadi tuan rumah Pemilihan Dimas Diajeng Yogyakarta 2025 selama tiga hari, Rabu-Jum’at (11-13/5). Sebanyak 30 finalis yant terpilih mengikuti pembekalan langsung bersama Permaisuri Kadipaten Pakualaman Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu Adipati (GKBRAA) Paku Alam X.
Gusti Putri mengingatkan, Budaya di Yogyakarta sangat diutamakan. Bahkan senantiasa dirawat, ditata, dijalankan, dilestarikan, dan dikembangkan sebagai bagian integral dari kehidupan. Nilai-nilai budaya itu hidup dalam perilaku masyarakat, sehingga inilah karakteristik Yogyakarta yang membedakan dengan wilayah-wilayah lainnya.
“Yogyakarta adalah tempat di mana keramahan menjadi napas, bukan basa-basi. Tempat yang mana bukan hanya sekadar dipamerkan, tetapi dijalankan dengan sepenuh hati. Menjadi Dimas Diajeng, berarti menghidupi nilai-nilai itu secara nyata,” jelasnya saat memberikan pembekalan di Ruang Aula Lantai 4 SM, Kamis (12/6).
Budaya di Yogyakarta sangat diutamakan. Bahkan senantiasa dirawat, ditata, dijalankan, dilestarikanm dan dikembangkan sebagai bagian integral dari kehidupan. Nilai-nilai budaya itu hidup dalam perilaku masyarakat, sehingga inilah karakteristik Yogyakarta yang membedakan dengan wilayah-wilayah lainnya.
“Yogyakarta adalah cara hidup, di mana nilai dan kesantunan menjadi bagian keseharian. Dengan semangat itu, kehadiran Dimas Diajeng bukan ajang seleksi atau simbol seremoni, ia adalah proses pembentukan karakter, ruang penempatan nilai, sekaligus panggilan untuk menjadi Duta Budaya dalam arti yang sebenar-benarnya,” terangnya.
Karakter ideal seorang Dimas Diajeng sebagai representasi dari generasi muda, hendaknya Sawiji (fokus), Greget (semangat), sengguh (percaya diri), dan Ora Mingkuh (pantang patah arang). Inilah karakter ideal yang diharapkan tumbuh dari proses Dimas Diajeng.
“Keempatnya bukan sekadar petuah lama, tapi prinsip hidup yang semakin relevan di tengah arus perubahan zaman yang durasi,” tuturnya.
Dalam implementasinya, sebut Gusti Putri, Dimas Diajeng bukan sekadar tampil dalam balutan busana adat, tetapi berperan sebagai penyambung nilai dan duta budaya yang relevan.
“Kalian adalah penyambung makna antara nilai budaya dan masyarakat yang terus bergerak. Dimas Diajeng hadir untuk menjawab tantangan zaman dengan karakter Yogyakarta,” tegasnya.
Gusti Putri menegaskan, peran Dimas Diajeng telah membuana. Tidak hanya tampil di forum kedinasan, tetapi masuk ke ruang organisasi yang nyata seperti museum, sekolah, komunitas, hingga media sosial.
“Program seperti Goes to School, Olimpiade Museum, BAROKAH, dan Sadar Wisata Pelajar menunjukkan Dimas Diajeng hadir untuk bekerja memberi dampak. Kalian dalam program tersebut bukanlah formalitas, itu adalah bentuk nyata dari komitmen,” sambungnya.
Dalam kesempatan itu, Gusti Putri berpesan kepada Dimas Diajeng Yogyakarta agar tampil menjadi problem solver dan change maker. Pada saat yang sama, menjadi ruang persemaian kepemimpinan budaya.
“Menghubungkan tradisi dengan kebutruhan masyarakat masa kini. Dalam prosesnya, peran Dimas Diajeng membuka peluang sebagai ruang Sambung Rasa dan Sambung Karya. Kalian tidak bekerja sendirian, di luar sana ada banyak komunitas yang menanti kolaborasi. Peran kalian yang lebih menjelma menjadi ruang inspirasi dan ruang pengaruh,” tandasnya. (Cris)