YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Bumi akan tetap berada di tempatnya dan terus berevolusi. Namun, jika manusia ingin tetap bertahan hidup di planet ini, mereka harus berubah. Kutipan dari film Semesta (2020) ini mengingatkan kita bahwa Bumi, satu-satunya tempat tinggal bagi makhluk hidup, tengah mengalami krisis serius. Gangguan terhadap daya dukung Bumi menyebabkan penurunan kualitas kehidupan, bahkan mengancam kelangsungan hidup di planet ini.
Saat ini, kita menghadapi krisis multidimensi. Bencana alam, krisis pangan, kelangkaan air bersih, pencemaran lingkungan, deforestasi, degradasi lahan, peningkatan gas rumah kaca, pemanasan global, perubahan iklim, hingga hilangnya keanekaragaman hayati menjadi ancaman nyata. Di sisi lain, jumlah penduduk terus meningkat secara eksponensial. Diperkirakan pada tahun 2050, planet ini akan dihuni oleh 10 miliar jiwa. Saat ini, lebih dari 7,7 miliar manusia masih bisa berbagi sumber daya. Namun, satu Bumi dan seluruh isinya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tamak.
Kerusakan lingkungan kerap menjadi isu yang kompleks, terutama ketika menyangkut pertanggungjawaban. Dr Anwar Abbas, MAg, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi UMKM, Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Hidup, menekankan perlunya kejujuran dalam mengidentifikasi pihak yang paling berkontribusi terhadap degradasi lingkungan. Menurutnya, dunia usaha—khususnya skala besar—perlu dikritisi secara serius, mengingat aktivitas industri kerap menjadi sumber pencemaran melalui limbah kimia, penggunaan energi fosil, serta alih fungsi lahan yang masif.
Anwar Abbas memilah dunia usaha dalam kategori besar, menengah, kecil, mikro, dan ultramikro. Namun, ia menyoroti bahwa kelompok usaha berskala besar cenderung memiliki dampak lebih signifikan terhadap kerusakan lingkungan. Contoh nyata terlihat dari pencemaran laut akibat tumpahan bahan bakar fosil, penggunaan zat kimia berlebihan di sektor pertanian, atau limbah industri yang tidak terkelola. Sementara itu, kerusakan hutan akibat kebakaran—yang seringkali dikaitkan dengan masyarakat—justru banyak dipicu oleh praktik pembukaan lahan untuk perkebunan skala besar.
“Masyarakat kerap menjadi kambing hitam, padahal pengusaha perkebunan yang membakar hutan untuk perluasan lahan. Ini perlu dikaji secara objektif,” ungkap Buya Anwar, sapaan akrabnya kepada Suara Muhammadiyah, Senin (3/3). Ia mendorong adanya penelitian mendalam untuk memetakan kontribusi masing-masing kelompok usaha terhadap kerusakan alam.
Meskipun permasalahan tentang lingkungan cukup mendesak, namun berdasarkan riset Purpose isu ini belum menjadi prioritas, khususnya untuk umat Islam. Isu ketenagakerjaan, kesehatan, kemiskinan, pendidikan, dan hak asasi manusia menempati lima peringkat teratas, sementara lingkungan atau perubahan iklim berada di posisi keenam. Kondisi ini mencerminkan kesenjangan antara tingkat urgensi krisis lingkungan yang nyata dengan tingkat kepedulian yang dirasakan masyarakat.
Survey tentang isu prioritas umat muslim Indonesia. Dok Purpose
Riset Purpose dilakukan Agustus-September 2024 melalui survei kuantitatif nasional terhadap 3.000 Muslim dan studi kualitatif terhadap hampir 100 pemuka agama Islam melalui FGD dan wawancara mendalam. Riset ini bertujuan untuk lebih memahami perspektif Muslim terhadap aksi iklim dan meningkatkan strategi keterlibatan, serta memperkuat kapasitas para pemangku kepentingan di sektor iklim melalui berbagai wawasan strategis yang dapat mempercepat tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Sebagai seorang ulama, Anwar Abbas mengingatkan bahwa menjaga lingkungan adalah perintah agama. Dalam Al-Qur'an Surah Ar-Rum ayat 41, ditegaskan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi akibat ulah manusia. Ia menegaskan, merusak lingkungan sama halnya dengan melanggar nilai-nilai keagamaan. “Ini bukan sekadar isu ekologi, tetapi juga ketaatan pada ajaran Islam,” tegasnya.
Berkaca pada ayat tersebut, manusia dapat menjadi khalifah atau bagian dari pengelola bumi dengan baik atau malah menjadi pihak yang merusak. Oleh karena itu Buya Anwar mengapresiasi munculnya konsep 3P (Profit, People, Planet) sejak tahun 1990-an, yang mendorong perusahaan tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. “Jika perusahaan merusak lingkungan, maka mereka harus menjadi yang terdepan dalam memitigasi dampaknya,” ujar tokoh Minang itu.
Sayang sekali ketimpangan dalam penanganan kerusakan lingkungan masih terus bergulir. Contohnya, aktivitas pertambangan atau penggundulan gunung, dia menyebutkan seperti di Garut atau di tempat lainnya yang justru menyisakan dampak buruk bagi masyarakat sekitar. Diantara dampaknya banjir bandang atau polusi debu, sementara keuntungan ekonomi dinikmati oleh segelintir pihak. “Masyarakat hanya mendapat dampak negatif, tanpa menikmati manfaat ekonominya,” kritik Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat 2015-2020 itu.
Anwar Abbas mengakui bahwa data spesifik tentang kontribusi masing-masing sektor masih minim. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa industrialisasi—yang didominasi oleh korporasi besar—menjadi akar masalah pencemaran lingkungan. Ia mendorong ahli lingkungan dan pemerintah untuk menyajikan data akurat sebagai dasar kebijakan. “Keadilan harus ditegakkan. Jangan sampai masyarakat kecil terus disalahkan, sementara pelaku utama bebas dari tanggung jawab,” imbuhnya.
Kerusakan lingkungan akan berimbas pada seluruh makhluk hidup, sehingga mitigasi harus dilakukan secara kolektif. Masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha perlu bersinergi—dengan prinsip transparansi—untuk memulihkan alam. “Menjaga lingkungan adalah tugas bersama, tetapi mereka yang paling berkontribusi merusak harus memimpin upaya perbaikan,” tegas Buya Anwar.
Sementara itu, masih dalam kajian Purpose, jika krisis iklim dibiarkan tanpa penanganan dapat memperberat beban ekonomi, meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, serta memperparah ketimpangan sosial ekonomi. Maka masyarakat perlu memahami konteks yang lebih luas lagi hubungan antara kerusakan ekologi dapat berdampak terhadap berbagai sendi-sendi kehidupan lainnya baik kesehatan, pendidikan hingga ekonomi. Di sisi lain para pegiat lingkungan pun mesti menyampaikan hal ini dengan lebih jelas agar urgensi dalam memprioritaskan agenda iklim semakin dipahami.
Sebagai organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, Muhammadiyah melalui Majelis Lingkungan Hidup (MLH) Pusat Pimpinan (PP) terus memperkuat perannya dalam isu lingkungan. Di bawah kepemimpinan Dr. Azrul Tanjung, MLH PP Muhammadiyah periode 2022-2027 merancang strategi holistik yang menggabungkan pendidikan, transisi energi, pengelolaan limbah, dan inisiatif ekonomi hijau untuk menciptakan keberlanjutan ekologis sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selama 1,5 tahun terakhir, MLH PP Muhammadiyah giat membentuk kader lingkungan melalui pelatihan dan sosialisasi di berbagai provinsi, termasuk Bali, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat. Program ini akan diperluas ke Jambi dan Kalimantan Timur. Kader-kader ini diharapkan menjadi garda terdepan dalam mengadvokasi praktik ramah lingkungan di tingkat lokal.
Selain itu, audit energi telah dilakukan di fasilitas Muhammadiyah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Audit ini bertujuan meningkatkan efisiensi penggunaan energi di masjid, sekolah, rumah sakit, dan amal usaha lainnya, sekaligus menyiapkan infrastruktur untuk transisi ke energi terbarukan.
Muhammadiyah secara aktif mendorong transisi dari energi fosil ke sumber terbarukan seperti panel surya, angin, dan air. Kantor pusat Muhammadiyah di Jakarta telah mulai menggunakan panel surya, dengan rencana perluasan ke kantor wilayah dan amal usaha. Meski biaya awal masih tinggi, kolaborasi dengan akademisi melalui Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) diharapkan menghasilkan inovasi teknologi yang lebih terjangkau. Muhammadiyah dengan dukungan Greenfaith dan Purpose memperkenalkan Buku Fikih Transisi Energi Berkeadilan. Buku yang disusun Majelis Tarjih dan Tajdid bersama MLH PP Muhammadiyah ini ditujukan untuk memberikan panduan moral dan praktis dalam pengelolaan energi yang adil dan berkelanjutan.
Dukungan terhadap kendaraan listrik juga menjadi prioritas untuk mengurangi emisi. Langkah ini sejalan dengan target pemerintah menuju nol emisi pada 2060, yang berupaya dipercepat Muhammadiyah melalui riset dan advokasi. Limbah plastik, medis, dan rumah tangga menjadi fokus lain MLH. Muhammadiyah merancang sistem pengelolaan limbah bernilai ekonomi. Misalnya, limbah plastik diubah menjadi produk daur ulang, sementara limbah medis dikelola dengan teknologi khusus untuk meminimalkan risiko lingkungan.
Hutan, termasuk mangrove dan gambut, diproyeksikan sebagai aset ekonomi melalui mekanisme perdagangan karbon (carbon trading). MLH mendorong rehabilitasi lahan bekas tambang untuk dijadikan pusat pangan atau energi terbarukan, alih-alih membuka hutan baru. Contohnya, masyarakat dilibatkan dalam menanam durian di lahan gambut sambil menjaga kelestarian hutan, menciptakan sinergi antara konservasi dan mata pencaharian.
Partisipasi masyarakat hanya bisa diraih jika program lingkungan memberi manfaat ekonomi. Misalnya, pelestarian mangrove tidak hanya mencegah abrasi tetapi juga meningkatkan hasil tangkapan ikan, sementara carbon trading memberi insentif finansial. Pendekatan ini diharapkan meningkatkan kesadaran lingkungan yang saat ini masih berada di urutan keenam dalam prioritas masyarakat.
Ketika menyangkut isu iklim, dalam riset Purpose masyarakat lebih memilih melakukan tindakan secara individu dibandingkan tindakan kolektif. Upaya pelestarian lingkungan perlu bergeser melampaui individu menuju komunal. Dalam riset Purpose tersebut pengurangan penggunaan plastik adalah tindakan yang paling populer bagi umat Muslim (50%), penghematan energi di posisi kedua (49%), disusul mengelola sampah (mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang) 42%, menanam pohon (40%), dan menggunakan produk ramah lingkungan (30%).
Survey tentang aksi umat muslim Indonesia terhadap lingkungan. Dok Purpose
Sementara itu, aksi komunal baru muncul setelahnya yaitu berbagi unggahan tentang isu lingkungan (26%). Lalu, aksi komunal lainnya kurang dari 20% seperti menghadiri kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan isu lingkungan hidup dan berceramah tentang isu lingkungan hidup.
Meskipun tindakan secara individu dapat berakumulasi jika terus dikampanyekan, namun praktik yang dilakukan secara bersama-sama atau berjamaah untuk melindungi lingkungan dapat berdampak dahsyat.
Berkaca dari hal tersebut, aksi Muhammadiyah dalam lingkungan secara berjamaah yang cukup berhasil yaitu Gerakan Shadaqah Sampah (GSS) di Kampung Brajan, Tamantirto, Bantul, DI Yogyakarta. GSS lahir berbasis Eco-Masjid lahir dari kepedulian tokoh lokal Muhammadiyah Ananto Isworo terhadap rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan. Pada tahun 2013, ia menginisiasi gerakan ini dengan tujuan utama menciptakan lingkungan yang bebas dari sampah, menyebarkan kebaikan, serta memberikan manfaat bagi sesama dengan cara yang sederhana.
GSS merupakan bagian dari enam program utama dalam konsep Eco-Masjid Al Muharram Brajan. Melalui inisiatif ini, Ananto bersama rekan-rekannya berupaya melibatkan masjid sebagai pusat gerakan pelestarian lingkungan. "Program Eco-Masjid ini adalah sistem terpadu yang menghubungkan keseimbangan antara alam dan manusia, manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan Allah SWT. Ini menjadi bentuk nyata bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin," ujar Ananto, Ketua Ta’mir Masjid Al-Muharram itu.
Panel Surya Masjid Al-Muharram Brajan Yogyakarta kerjasama Sedekah Energi. Foto: Desi Suryanto
Salah satu program dalam Eco-Masjid adalah pembangunan arsitektur ramah lingkungan. Masjid didesain untuk mengoptimalkan sumber daya alam, seperti pencahayaan alami dari jendela kaca lebar guna mengurangi penggunaan listrik serta ventilasi alami untuk meminimalisir pemakaian kipas angin. Masjid Al-Muharram Brajan ini masjid ini mendapatkan manfaat dari Program Sedekah Energi sejak Juli 2023. Keberadaan tenaga surya itu merupakan kolaborasi Masjid Al Muharram melalui program Sedekah Energi yang diinisiasi oleh Muslims for Shared Actions on Climate Impact (MOSAIC). Sehingga kini Masjid Al-Muharram menggunakan panel surya untuk kebutuhan listrik sehari-hari dari sumber energi bersih. Sedekah Energi adalah program crowdfunding yang mendorong penggunaan energi terbarukan dan minim emisi sebagai salah satu solusi dari krisis iklim.
Program kedua adalah pembuatan tiga sumur resapan yang berfungsi menampung air hujan dan air wudhu agar tidak terbuang sia-sia, sehingga ketersediaan air bersih tetap terjaga, terutama saat musim kemarau. Selanjutnya, program ketiga berfokus pada pengelolaan sampah sebagai solusi sederhana untuk mengurangi limbah masyarakat. Sampah anorganik dikumpulkan di masjid, dipilah, lalu dijual. Hasil penjualan digunakan untuk beasiswa anak yatim, bantuan sembako bagi janda dan fakir miskin, santunan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu, serta subsidi pembangunan fasilitas kampung.
Program keempat meliputi penghijauan di sekitar masjid guna memperindah lingkungan, meningkatkan cadangan air, serta menyediakan oksigen. Program kelima menjadikan masjid sebagai tempat yang ramah anak, sehingga dapat berfungsi sebagai rumah kedua bagi mereka untuk belajar, bermain, dan beribadah. Terakhir, masjid juga mengembangkan sumber energi terbarukan berupa tenaga surya untuk mengurangi pengeluaran operasional dan sekaligus menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. (sm/*)