BANTUL, Suara Muhammadiyah – Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah terus berupaya menghadirkan dakwah yang kreatif dan relevan di era digital. Salah satunya dengan Pelatihan Jurnalistik Dakwah. Acara ini dilaksanakan di Tabligh Institute, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Sabtu (14/11).
Pelatihan ini menghadirkan Iqbal Aji Daryono, penulis dan esais. Dalam sesinya, Iqbal menceritakan pengalamannya berkecimpung di dunia tulis-menulis. Bermula dari aktif di media sosial (facebook) sebagai ruang mengaktualisasikan ide-idenya.
“Dulu saya memang anak facebook. Ada banyak pengalaman yang saat itu posisi saya sebagai sopir truk di Australia. Lalu ada pengalaman baru di situ, akhirnya saya tulis di facebook,” ujarnya.
Pengalaman tersebut yang kemudian menjadikan Iqbal makin tertarik untuk menulis. Juga menyampaikan pendapatnya ke ruang publik yang dinukil dari realitas sosial kekinian. Salah satunya menyangkut soal perpolitikan.
“Itu mulai menulis dan menyampaikan gagasan. Kalau Youtube saat itu belum terlalu sangat tenar. Maka, gagasan dimunculkan lewat medium facebook. Pelan-pelan dari situ tanpa sadar mulai tertata untuk strategi kepenulisan model esai populer,” ungkapnya.
Iqbal mengakui menulis memang tidak instan, terutama menemukan ide. Menurutnya, ide akan muncul ketika ada stimulan. “Stimulan itu akan memancing kita untuk beride,” tuturnya.
Namun, muncul problematik ketika ada stimulan, terkadang ide juga tidak muncul. “Landasan kita dalam menerima stimulan tidak cukup kuat. Jadi kita tidak sensitif melihat satu objek,” jelasnya. Karenaya untuk menghidupkan sensitivitas itu, tidak ada cara lain dengan membaca.
“Seorang penulis tidak mungkin bisa menulis bagus tanpa membaca dengan bagus. Jadi yang paling pokok memang kemampuan dan ketekunan dalam membaca,” tegasnya.
Iqbal menyarakan, membaca tidak hanya sekadar berjenis non-fiksi. Tetapi perlu diseimbangkan dengan membaca jenis fiksi. “Substansi dan perspektif dilatih dengan non-fiksi, tapi cara menyajikan akan sangat dipengaruhi oleh asupan kita dalam karya sastra (fiksi),” sambungnya.
Membaca bagi Iqbal tidak hanya 1-2 halaman, tetapi minimal 20 halaman. “Kalau membaca 2 halaman, itu bukan membaca. Membaca itu sehari 20 halaman, itu minimal sekali, tapi rutin,” bebernya. Dengan tekun membaca, Iqbal menegaskan akan meningkatkan kemampuan kepenulisan.
Iqbal meminta jangan pernah berhenti menyerah untuk terus belajar dan melatih dalam menulis. Lebih-lebih merasa skeptis untuk memulai berlatih. “Jika penuh keraguan atau ketakutan, saran saya jangan pernah berkarya,” tegasnya.
Menyambung Iqbal, J Ramadhan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Mubaligh Internasional mengatakan, menulis membutuhkan konsistensi. Terutama menyangkut jam terbang. Karena hal ini menentukan kemampuan menulis seseorang.
“Semakin di asah, semakin tajam menulis kita. Bahkan terefleksi sampai tua,” urai Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia ini.
Acara ini telah dimulai pada Sabtu, (7/12) di PDM Kota Yogyakarta yakni Pelatihan Foto dan Video. Lalu, Ahad (8/12) yakni Pelatihan Sastra dan Dakwah Populer di Tabligh Institute. Dan yang akan datang, Pelatihan Menulus Khutbah Jumat pada Sabtu (21/12) di Tabligh Institute. (Cris)