KAPLING LAUT: Jamaah Akar Rumput dan JALAMU
Jogja, Sabtu 14 Oktober 2023. Beberapa menit menjelang pembukaan acara aku di kantor PP Muhammadiyah Jalan Cikditiro. Kali ini sebagai utusan Majelis Pendayagunaan Wakaf (MPW) untuk acara Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM). Tema acara ini menarik “KAPLING LAUT: Nasib Nelayan Diombang Ambing Kebijakan Penangkanan Ikan Terukur.” Nara sumbernya tidak kalah menarik: Prof. Marsudi, Prof Suadi, dan Susi Pujiastuti, Mantan Menteri KKP RI. Peserta hadir offline antara lain nelayan dari DIY, Jateng, dan Lamongan-Jatim. Peserta hadir online dari Jabar, Lampung, Sulawesi, dan Papua. Sebagai tamu aku duduk di bagian tengah. Sengaja bersembunyi agar bisa menyimak sambil buka laptop. Tiba-tiba dua tangan menyeret aku ke kursi tamu kehormatan. Aku tak kuasa menolak Mas Budi sekretaris MPM, duduk rapi di kursi paling depan, dan fokus mengikuti acara. Acara ini ternyata sangat dashyat. Sedahsyat lagu Sang Surya yang selalu menyentuh kalbu sebagai bagian pembukaan acara ini.
Dr. M. Nurul Yamin, M.Si, ketua MPM, menghantarkan acara dengan sambutan pembukaan. Mengutip data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) Tahun 2022, menurut Pak Yamin jumlah nelayan miskin ekstrim sebesar 555.720. Ini sekitar 8,8 persen dari total 6.289.167 penduduk miskin ekstrim di Indonesia. Maka pemberdayaan terhadap mereka menjadi salah satu program utama Muhammadiyah yang dijalankan melalui MPM. Tentu memberdayakan mereka banyak ditentukan oleh faktor pasar dan negara. Pemberdayaan ini juga hanya bisa dilakukan bila para nelayaan memiliki kemauan untuk memasifikasi dan memajukan diri. Dalam hal ini Muhammadiyah melihat para nelayan bisa maju kalau ada kebersamaan dan kejamaahan. Lanjut Pak Yamin, “nelayan tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, harus saling berjamaah. Pada poin inilah Muhammadiyah meluncurkan Jamaah Nelayan Muhammadiyah yang disingkat menjadi JALAMU.”
Tidak kalah menariknya adalah amanat Dr. Anwar Abbas, Ketua PP Muhammadiyah. Menurut Buya Anwar, panggilan akrab beliau, nasib petani apalagi nelayan lebih banyak mengenaskan dari pada menggembirakan. Maka Muhammadiyah melalui MPM memberikan perhatian lebih terhadap mereka. Tugas ini semestinya tugas negara. Sesuai konstitusi negara bertugas melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyat. Faktanya negara baru mensejahterakan rakyat lapisan atas. Dalam dunia usaha ini terjadi karena undang-undang yang dibuat bias kepada pemilik kapital. Demikian juga dalam hal investasi. Para investor seperti Goerge Soros itu culas, rakus, dan tamak. Mereka belum mau datang bila Undang-undang (UU) belum sesuai selera mereka. Maka secara pribadi Buya Anwar belum percaya pada para investor kelas kakap itu. Buya Anwar mengulang kalimat Soros, “Saya hadir di suatu negara untuk mencari uang. Saya tidak peduli dampak sosial akibat dari tindakan saya itu."
Buya Anwar juga tidak percaya pada pemerintah dan anggota DPR yang membuat undang-undang. UU Ciptaker misalnya. Para buruh dari Sabang sampai Merauke berdemo turun ke jalan karena undang-undang ini. Bahkan sampai hari-hari ini. Tetapi pemerintah nampaknya lebih berpihak pada pemilik kapital dibanding pada rakyat. Parpol, politisi, bahkan pejabat pada umumnya meminta atau diberi sesuatu oleh pemilik kapital. Maka Buya Anwar menyimpulkan negara ini sudah tergadai. Semestinya pelaksana UU berkomitmen kepada nelayan yang jumlahnya banyak. Bukan pada yang jumlahnya sedikit. Para pejabat di negeri ini juga tidak memiliki affirmative action kepada rakyat kelas bawah. Dalam dunia perbankan, misalnya. Kredit yang dikucurkan untuk UMKM sangat kecil. 75 prosen pembiayaan dikucurkan kepada sekelompok kecil pengusaha besar. Hanya 25 prosen yang mengucur ke UMKM. Itupun yang sampai ke pengusaha KM (kecil dan mirko) lebih kecil lagi.
Sekarang lahir Peraturan Pemerintah (PP) 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Menurut Buya Anwar rumusan dan kontennya sudah bagus. Tetapi implementasinya tidak bagus ketika mentalitas aparat bermasalah. Malah bisa membuat kehidupan nelayan makin tersudut. Maka Buya Anwar sangat mengapresiasi seminar MPM kali ini. Apalagi juga hadir Ibu Susi Pujiastuti. Buya Anwar pengkritik Menteri pengganti Bu Susi kini yang membuka keran ekspor benih udang. Kritik itu membuat Sang menteri mendatangi Buya Anwar untuk meyakinkan beliau. Buya Anwar tetap tidak percaya. Tiga bulan kemudian Sang Menteri terseret kasus korupsi. Maka jangan pernah lelah melakukan kritik. Tetapi tentu Muhammadiyah harus gentle. Kalau pemerintah benar maka harus didukung. Lanjut Buya Anwar, “tugas kita mendukung yang benar dan mengktirik yang salah. MPM kalau perlu menghadap ke pihak yang berkepentingan. Baik pemerintah maupun DPR. Saya siap mendampingi.”
Sejak 1982 Indonesia meratifikasi UNCLOS, hukum laut internasional. Hukum ini diinisasi oleh Ir Juanda yang membawanya ke Sidang Umum PBB. Setelah UNCLOS berlaku Indonesia menjadi negara kepulauan. Semua laut lepas di dalam NKRI menjadi milik NKRI dan warga negara dapat melaksanakan penangkapan ikan di dalamnya. Teritorial Sea adalah 12 mil laut dari pulau terluar. Sedangkan pada kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (200 mil laut) hak berdaulat untuk sumber daya hayati menjadi milik Indonesia. Tetapi setiap tahun ilegal fishing merugikan Indonesia 23 miliar USD karena karena 26 juta ton ikan dicuri. Akibatnya paling dirasakan langsung oleh nelayan Indonesia. Maka Prof Marsudi setuju dengan kritik tajam Buya Anwar terhadap penerapan berbagai Undang-undang yang ada. Lanjut Prof marsudi, “PP 11 tentang Penangkapan Ikan Terukur ini bagus. Sudah ada Permen dan dan SE Menterinya juga. Tetapi isu pembagian zonasi memberatkan bagi nelayan kecil. Sumberdaya mereka belum merata.”
Pembicara yang tidak kalah menariknya adalah Susi Pujiastui, Menteri Kelauatan RI 2014-2019. Beliau tegas menyatakan PP tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) ini mengombang ambing nasib nelayan. Saat menjadi Menteri Susi setuju dengan visi presiden bahwa laut adalah masa depan bangsa. Susi lalu meminta independen dalam eksekusinya. Beliau lalu merumuskan pilar-pilar kementeriannya. Pertama, kedaulatan. Tanpa kedaulatan laut dikuasai bangsa lain. Kedua, keberlanjutan. Masa depan harus berlanjut sampai anak cucu cicit sampai ribuan generasi yang akan datang. Maka alat tangkap diatur. Laut itu renewable resources. Tidak boleh ditambang habis. Ketiga, kesejahteraan. Ini dampak dari dua pilar sebelumnya. Pilar-pilar ini dilengkapi dengan Perpres no 44. Bahwa penangkapan hanya untuk perusahaan, orang, dan kapal buatan Indonesia. Ini semua membuat galangan kapal hidup dan Indonesia bersih dari penangkapan ikan oleh orang asing. Kapal asing yang masuk ditenggelamkan.
Sekarang pemerintah membagi laut menjadi beberapa konsesi. Maka nelayan Indonesia harus membeli tiket untuk menangkap ikan di negeri sendiri. Menurut Susi hanya nelayan yang berduit yang bisa menangkap ikan di kawasan tertentu. Semestinya laut tidak bisa dikapling seperti tambang. Kalau laut dikapling maka kita tidak punya kedaulatan. Susi berharap visi misi Jokowi Laut masa depan bangsa dikembalikan. Plasma nutfah kini juga diperjualbelikan sehingga dikuasai mafia perikanan. Padahal di banyak negara, Mesir misalnya, memperjualkan plasma nutfah dianggap tindakan subversi. Pada 2016 di seputar Natuna setiap hari penduduk sekitar pantai bisa menangkap gurita senilai satu sampai dua miliar hanya dengan bambu dan perahu. Waktu itu pemerintah melindungi mereka. Kapal asing yang mendekat ditenggelamkan. Sekarang semua negara mencari gurita. Kapal besar Cina dan Vietnam menghabisi mereka di tengah laut. Maka potensi uang 4 triliun setahun dari hasil gurita pun lepas.
Dengan kapling laut jangan harap nelayan kita bisa mencari ikan ke laut yang jauh. Ke laut di sekitar Papua, misanya. Kapling laut menutup jalan mereka mencari ikan di laut mereka sendiri. Lalu pada 2021 pemerintah mengizinkan kapal asing masuk. Mereka mengeruk ikan sebanyak-banyaknya. Kapal-kapal besar pemilik konsesi itu takut kapal-kapal kita menjadi saksi tindakan-tindakan mereka. Sekarang sebagai orang biasa Susi juga merasa tidak bisa berusaha. Di Pandandaran, misalnya, tidak ada lagi lobster. Bibitnya sudah habis. Padahal sejak puluhan tahun sebelumnya Susi menjadi bakul lobster dan ikan disana. Semua habis kini. Padahal mestinya ikan itu renewable resoruces. Jadi tidak boleh diikutkan rezim tanah. Persoalannya sekarang ini pembuat kebijakan adalah mayoritas pengusaha tambang. Ketika laut dikapling maka menjadi milik pusat. Susi menegaskan, “Kembalikan Perpres 44. Laut bukan tambang. MPM do the best that you can. For your country. Anda punya jaringan. Anda punya organisasi.”
Nasib nelayaan Indonesia memang tidak seindah pantai dan lautnya. Seminar ini menjadi ajang mereka curhat. Irwansyah dari Sulawesi Tenggara mengeluhkan transaksi nakal di tengah laut dengan cara barter. Sehingga data tangkapan ikan tidak tercatat di dinas terkait. BBM untuk juga nelayan sering tidak tersalurkan sesuai peruntukan. Sadikin yang datang langsung dari dari Lamongan berterima kasih karena acara ini telah menguatkan motivasi mereka. Selama ini mereka mati-matian bekerja di laut. Tetapi kesejahteraan diraih para tengkulak. Diharapkan dengan JALAMU mereka bisa bergerak secara berjamaah. Forum ini menjadi ajang peresmian JALAMU, Jaringan Nelayan Muhammadiyah. Jalamu melengkapi JATAM, Jamaah Tani Muhammadiyah yang sudah lebih dulu berkiprah. Keduanya bentuk nyata kepedulian Muhammadiyah pada jamaah akar rumput. Khususnya nelayan yang banyak diabaikan negara dan dihempas ekonomi pasar bebas. Terutama di era kapling laut ini.
Pesisir Selatan Gunung Kidul, 20 Oktober 2023
Mahli Zainuddin Tago