Kasih Sayang Allah dalam Islam dan Kristen: Menelisik Buku Paus Fransiskus

Publish

22 January 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
56
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Kasih Sayang Allah dalam Islam dan Kristen: Menelisik Buku Paus Fransiskus

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Konsep "Rahman", yang berarti "Kasih Sayang", memegang peranan sentral dalam ajaran Islam. Ia merupakan salah satu sifat Allah yang paling fundamental dan tercermin dalam salah satu dari 99 nama indah-Nya, yaitu Al-Rahman, Yang Maha Pengasih. Dalam konteks ini, saya hendak mengulas buku karya Paus Fransiskus yang berjudul The Name of God is Mercy (2016).

Buku ini menampilkan sebuah dialog yang intim antara Paus Fransiskus dengan pembaca, mengajak mereka untuk merenungkan makna mendalam dari kasih sayang Ilahi. Yang menarik, di sampul belakang buku terdapat foto Paus Fransiskus yang terlihat sangat berwibawa. Namun, yang paling menarik perhatian saya adalah judulnya sendiri, The Name of God is Mercy, yang seketika membuat saya terkesima. Bukankah itu ungkapan yang sering kita ucapkan? Ungkapan basmalah—Dengan nama Allah, Tuhan yang Maha Pengasih, Maha Penyayang—menunjukkan kesamaan yang mencolok antara konsep kasih sayang dalam Islam dan Kristen.

Paus Fransiskus dalam bukunya menguraikan konsep kasih sayang secara gamblang. Ia menyatakan bahwa kasih sayang adalah "kartu identitas Allah", sebuah pernyataan yang menegaskan betapa pentingnya sifat ini dalam mendefinisikan hakikat Tuhan. Paus juga berulang kali menyebut Allah sebagai "Tuhan yang Penyayang" atau "Allah yang Maha Penyayang".

Hal ini mengingatkan saya pada khutbah-khutbah yang sering disampaikan di masjid-masjid, terutama ketika menjelang malam Lailatul Qadr di bulan Ramadhan. Pada momen yang penuh berkah tersebut, para khatib seringkali mendorong umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah, memohon ampunan dan rahmat-Nya, seraya mengingatkan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Pengampun, dan Maha Lembut. Tema inilah yang menjadi benang merah dalam buku Paus Fransiskus, menunjukkan universalitas konsep kasih sayang dalam berbagai tradisi agama.

Meskipun The Name of God is Mercy ditulis oleh seorang Paus, jika kita kesampingkan beberapa elemen khas Kristen, buku ini menawarkan banyak pesan universal yang juga beresonansi dengan ajaran Islam. Salah satu contohnya adalah ketika Paus Fransiskus mengutip Mazmur 136, yang berisi pengulangan frasa "Sebab untuk selama-lamanya kasih setia-Nya". Pengakuan akan kasih sayang Allah yang abadi ini tentu saja sangat akrab di telinga umat Muslim, mengingatkan kita pada sifat Rahman dan Rahim Allah yang selalu dipuji dalam Al-Qur'an.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah buku ini benar-benar ditulis oleh Paus Fransiskus sendiri mengingat kesibukannya? Jawabannya agak kompleks. Buku ini sebenarnya merupakan gabungan dari dua sumber. Pertama, di bagian akhir buku, terdapat lampiran yang berisi sebuah ensiklik atau dekrit resmi yang dikeluarkan oleh Paus untuk mendeklarasikan periode tertentu sebagai "Tahun Kasih Sayang". Tahun Kasih Sayang ini dimulai pada Desember 2015 dan berakhir pada November 2016, bertepatan dengan beberapa perayaan penting dalam kalender liturgi Gereja Katolik. Dalam ensiklik ini, Paus Fransiskus menyampaikan pesan yang sangat kuat tentang pentingnya kasih sayang dalam kehidupan beragama. Ia secara khusus mengajak umat Katolik, bahkan mereka yang pernah terjerumus dalam kejahatan, untuk kembali kepada pangkuan Gereja, menyerahkan diri pada proses hukum yang adil, dan memohon kasih sayang Tuhan.

Namun, bagian utama buku ini sebenarnya berasal dari sebuah wawancara eksklusif antara Paus Fransiskus dengan seorang jurnalis Vatikan. Dalam dialog yang menarik ini, sang jurnalis mengajukan berbagai pertanyaan seputar tema kasih sayang, merujuk pada poin-poin yang dikemukakan dalam ensiklik. Paus kemudian memberikan penjelasan dan elaborasi yang mendalam atas setiap pertanyaan. Format dialog inilah yang membuat buku ini sangat mudah dicerna dan dipahami oleh pembaca dari berbagai latar belakang. Alih-alih menyajikan argumen teologis yang rumit, buku ini menawarkan sebuah percakapan yang mengalir dan penuh kehangatan.

Dari perspektif Islam, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang muncul ketika membaca buku ini. Salah satu pertanyaan utama adalah sejauh mana Paus Fransiskus membuat perbedaan yang jelas antara Yesus dan Allah. Dalam beberapa bagian, tampaknya Paus berusaha menunjukkan pemisahan tersebut, seperti ketika dia menyatakan bahwa Allah mengampuni, kemudian menambahkan, "dan Yesus juga mengampuni." Pernyataan ini dapat diartikan bahwa ada dua entitas yang berbeda, yaitu Allah dan Yesus. Namun, dalam keyakinan Islam, hal ini tidak sesuai dengan prinsip dasar tauhid, yang menegaskan bahwa Yesus adalah seorang nabi dan hamba Allah semata, bukan bagian dari Tuhan atau entitas yang setara dengan-Nya.

Selain itu, gagasan tentang pengorbanan Yesus sebagai bentuk penebusan dosa menjadi perhatian khusus. Dalam pandangan Islam, konsep ini bertentangan dengan pemahaman tentang keadilan dan kasih sayang Allah. Islam mengajarkan bahwa Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, yang dapat mengampuni dosa-dosa hamba-Nya secara langsung tanpa memerlukan perantara atau pengorbanan dari pihak lain. Pengampunan sejati, menurut Islam, adalah ketika Allah memaafkan dosa secara penuh dan tanpa syarat, sebagai wujud kasih sayang-Nya yang tak terbatas.

Hal menarik lainnya yang layak dicermati adalah konsep pengakuan dosa kepada seorang mediator, seperti yang dipraktikkan dalam tradisi Katolik. Dalam buku ini, Paus Fransiskus sempat menyebutkan bahwa, secara teori, seseorang dapat mengakui dosa-dosanya langsung kepada Allah dan menerima pengampunan tanpa melalui seorang mediator. Namun, dalam praktiknya, tradisi Katolik tetap menekankan pentingnya pengakuan dosa kepada seorang imam sebagai perantara. Dari sudut pandang Islam, pengakuan dosa secara langsung kepada Allah tanpa mediator adalah prinsip yang sangat ditekankan, karena hubungan antara manusia dan Allah bersifat personal dan langsung.

Meskipun ada perbedaan mendasar dalam pandangan teologis antara Islam dan Kristen, buku ini tetap mengandung banyak ide progresif yang menarik untuk direnungkan. Salah satu contoh adalah penggunaan bahasa yang berbeda, seperti menggambarkan gereja sebagai "pasangan Kristus" alih-alih "mempelai Kristus." Perubahan semantik semacam ini mencerminkan upaya untuk memperbarui cara berpikir dan pendekatan terhadap keyakinan. Dari sudut pandang Muslim, meskipun terdapat perbedaan yang signifikan terkait keyakinan, banyak gagasan dalam buku ini, terutama mengenai kasih sayang dan pengampunan, yang tetap relevan dan mampu memberikan inspirasi bagi pembaca lintas agama.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Falsafah ‘Menjadi’ Manusia Oleh: Rahmatullah, M.A, Sekretaris LDK PWM Kaltim, Dosen Ilm....

Suara Muhammadiyah

30 December 2024

Wawasan

Menjaga Kesadaran dalam Berkomunikasi Oleh: Afita Nur Hayati, Bekerja di UIN Sultan Aji Muhammad Id....

Suara Muhammadiyah

29 April 2024

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (23) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tinggal di M....

Suara Muhammadiyah

11 February 2024

Wawasan

Kita harus bersyukur sampai sekarang, masih bisa menjalani hidup di muka bumi dengan keadaan sehat. ....

Suara Muhammadiyah

4 October 2024

Wawasan

Oleh: Sobirin Malian Belum lagi tertangani secara hukum akun Fufufafa, muncul kasus baru yang lebih....

Suara Muhammadiyah

1 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah