Sabar dari Keinginan Hawa Nafsu

Publish

28 June 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
410
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Sabar dari Keinginan Hawa Nafsu

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Di dalam bukunya Kuliah Akhlaq (hlm. 134-139)  Yunahar Ilyas menyitir pendapat Yusuf al-Qardhawi tentang macam-macam sabar. Ada enam macam sabar, yaitu (1) sabar menerima cobaan hidup, (2) sabar dari keinginan hawa nafsu, (3) sabar dalam taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, (4) sabar dalam berdakwah, (5) sabar dalam perang, dan (6) sabar dalam pergaulan.  Menurut Yunahar Ilyas, sabar merupakan salah satu akhlak pribadi yang wajib dimiliki oleh tiap muslim mukmin.

Menuruti keinginan hawa nafsu merupakan tindakan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua yang dilarang-Nya pasti mendatangkan keburukan. Nafsu cenderung mendorong untuk berbuat yang menyimpang dari perintah Allah Subḥanahu wa Ta'ala, melanggar larangan-Nya, dan  pasti merugikan. 

Jika keinginan nafsu diikuti, pasti segala jalan ditempuh demi tercapainya tujuan. Dengan jalan itu, memang ada yang berhasil menjadi orang kaya, menjadi pejabat publik, dan lain-lain yang menurut kaca mata duniawi berhasil. Namun, sesungguhnya, dia pasti merugi selama-lamanya di akhirat.

Kisah Qabil semestinya menjadi pelajaran berharga bagi tiap muslim mukmin. Di dalam surat al-Maidah (5): 30 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَطَوَّعَتْ لَهٗ نَفْسُهٗ قَـتْلَ اَخِيْهِ فَقَتَلَهٗ فَاَ صْبَحَ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

"Maka, nafsu (Qabil) mendorongnya untuk membunuh saudaranya, kemudian dia pun (benar-benar) membunuhnya, maka jadilah dia termasuk orang yang rugi."

Ibadah Haji dan Korupsi

Umat Islam Indonesia yang telah menunaikan ibadah haji sangat banyak. Semestinya, mereka adalah calon penghuni surga sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadis berikut ini.

وعَنْهُ أَنَّ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قالَ العُمْرَة إلى العُمْرِة كَفَّارة لما بينهما والحجُّ المَبرُورُ لَيس لهُ جَزَاء إِلَّا الجَنَّةَ متفق عليه

"Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu pula, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Umrah ke umrah yang berikutnya adalah menjadi penutup dosa dalam waktu antara dua kali umrah itu, sedangkan haji mabrur, maka tidak ada balasan bagi yang melakukannya itu, melainkan surga." (Muttafaq 'alaih).

Semestinya, mereka merupakan teladan hidup. Mereka adalah muslim mukmin yang rahmatan lil'alamin. Namun, di dalam kenyataan cukup banyak di antara mereka yang akhirnya menghuni kamar berterali besi, bahkan, ada yang sampai mati karena terjerat korupsi. Kenyataan tersebut membuat segelintir orang mengatakan misalnya, “Apa gunanya beribadah haji jika korupsi?” Lebih dari itu, ada juga yang sampai pada kesinisan, “Makin banyak yang sudah beribadah haji, tetapi kok banyak juga yang korupsi!” 

Apakah dengan serta merta kita mengangguk-angguk? Percayalah jumlah haji yang tidak korupsi jauh lebih banyak! Bahkan, banyak juga: yang semula koruptor, menjadi orang yang bertobat!

Kiranya tidak berbeda juga halnya dengan orang yang mengerjakan shalat, tetapi akhlaknya buruk! Berkaitan dengan hal ini pun ada yang nyinyir dengan mengatakan, “Untuk apa shalat jika tak beradab?”  

Bagaimanakah sikap kita? Percayalah orang yang mengerjakan shalat dan berakhlak mulia jauh lebih banyak. Malahan, banyak juga: yang semula berakhlak buruk menjadi berakhlak mulia!

Ada lagi kasus yang sangat menyedihkan. Biro umrah dan haji menipu, padahal umumnya biro tersebut dikelola oleh orang-orang yang sudah beribadah haji. Dulu ada kasus First Travel. Sangat banyak uang jamaah yang justru digunakan untuk memperkaya diri dan untuk berfoya-foya pemilik biro travel tersebut. Korbannya tidak kurang dari 10 ribu orang.

Pada tahun 2024 ini terbongkar rencana busuk  biro umrah dan haji. Biro ini menyiasati visa umrah, tetapi akan digunakan juga sebagai visa haji. Hal itu jelas melanggar peraturan Arab Saudi. Lebih-lebih lagi, tindakan tersebut jelas bertentangan dengan tujuan beribadah haji.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti benar bahwa pahala haji mabrur adalah surga. Namun, apakah secara otomatis orang yang beribadah haji pasti masuk surga? Di dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 25 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَبَشِّرِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَ نْهٰرُ ۗ كُلَّمَا رُزِقُوْا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِّزْقًا ۙ قَا لُوْا هٰذَا الَّذِيْ رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَاُ تُوْا بِهٖ مُتَشَا بِهًا ۗ وَلَهُمْ فِيْهَاۤ اَزْوَا جٌ مُّطَهَّرَةٌ ۙ وَّهُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
"Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata, "Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu." Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan di sana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di dalamnya."

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut, kita memahami bahwa haji yang memperoleh balasan surga adalah mereka yang beriman dan beramal saleh. Korupsi bukanlah amal saleh, melainkan amal salah! 

Menjemput Rezeki yang Halal

Di antara jamaah haji ada yang menjemput rezeki melalui usaha rumah makan. Ada yang membuka rumah makan dengan menu soto ayam atau soto sapi. Ada rumah makan dengan menu ayam goreng, rumah makan  dengan menu nasi gudeg, atau yang lain. 

Ada juga yang membuka usaha dagang buah-buahan. Ada buah-buahan lokal dan ada pula buah-buahan impor. Bahkan, ada di antara mereka yang menjual hasil panen sendiri.

Di antara jamaah haji, ada pula petani, guru, dosen, tentara, polisi, jaksa, hakim, anggota DPR, wali kota, bupati, gubernur, menteri, atau presiden. Di samping itu, pemulung, tukang becak, penjual nasi bungkus, ART, atau orang-orang yang berprofesi lain ada pula. 

Sebagian dari calon haji ada yang telah menabung lebih dari sepuluh tahun. Mereka yang melakukannya adalah petani, pemulung, tukang becak, penjual nasi bungkus, atau lainnya yang mempunyai niat kuat beribadah haji, tetapi termasuk kaum awam dan duafa.   

Sementara itu, di antara calon haji ada pula yang mempunyai uang banyak (yang diperolehnya melalui jalan halal) sehingga tidak perlu menabung. Namun, boleh jadi, ada calon haji yang mempunyai uang banyak, tetapi dari segi kehalalannya lebih kecil daripada keharamannya. Yang sangat memprihatinkan adalah jika ada di antara mereka yang beribadah haji dengan uang hasil kejahatan seperti korupsi atau menipu. 

Korupsi tentu dilakukan oleh orang-orang “pintar” dan karena itu, mempunyai atau dapat menciptakan kesempatan. Orang pintar,  bahkan, dapat menyiasati aturan atau hukum. 

Hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh kaum awam apalagi duafa. Orang-orang ini dapat dipastikan atau setidak-tidaknya diharapkan menjemput rezeki dengan cara yang halal. Uang yang “ditabung” pun halal.

Hal yang kontradiksi dengan cara kaum awam dan duafa misalnya adalah cara sebagian orang yang membuka usaha rumah makan dengan menu nasi soto ayam atau rumah makan dengan menu ayam goreng. Pada kain rentang tertulis “Soto Ayam Kampung“ atau “Ayam Goreng Kampung”. Namun, sesungguhnya, ayam yang dibuat soto atau digoreng adalah ayam pejantan. Banyak konsumen yang tidak memahami perbedaan antara ayam kampung dengan ayam pejantan. 

Ada lagi: tertulis di dinding atau kain rentang  “Soto Ayam”, tetapi yang disajikan kepada pembeli adalah soto tanpa ayam sama sekali. Jadi, yang disajikan di dalam mangkuk hanya nasi dan kuah soto. Jika menghendaki soto ayam, dia harus membayar di luar nasi dan kuah soto tersebut. 

Mirip dengan kasus itu adalah penjual nasi gudeg emperan ataup tenda. Penjualnya tanpa menanyakan lebih dahulu kepada pembeli langsung menyajikan nasi gudeg dengan lauk yang “super komplet”. Tahu-tahu, ketika akan membayar, pembeli terkejut karena besarnya tagihan yang sama sekali di luar perhitungannya.  

Usaha menjemput rezeki yang demikian apakah tidak haram? Jika uang diperoleh dengan cara haram, pasti berakibat buruk. Hati dan pikiran orang yang melakukannya makin kotor sehingga tidak takut lagi pada dosa. 

Ada orang yang menjemput rezeki dengan menjual buah-buahan atau oleh-oleh. Namun, di antara mereka ada yang melakukan kecurangan juga. Buah-buahan dikemas bagus, tetapi buah-buahan yang bagus dicanpur dengan buah-buahan yang tidak bagus. Penjual oleh-oleh pun ada yang curang. Makanan yang sudah kadaluwarsa (expired), tetapi tanggal kadalawarsanya diganti sehingga tampak baru. 
  
Betapa sia-sianya jika ada orang yang beribadah haji dengan uang yang diperoleh dengan cara korupsi atau menipu! Doa haji yang makan, memakai, dan memberikan uang haram tidak didengar, apalagi dikabulkan. Hal itu dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam HR Muslim berikut ini.,

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai, Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan mengabulkan doanya?"

Memang sangat berat sabar dari keinginan hawa nafsu. Sering kita sangat sulit membedakan antara amalan yang kita lakukan berdasarkan nafsu dan amalan yang kita kerjakan berdasarkan niat memperoleh rida Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh sangat tepat pelajaran K.H.A. Dahlan tentang membersihkan diri diri sendiri. Beliau mengutip surat al-Jasiyah (45): 23

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰٮهُ وَاَ ضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةً ۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ

"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas pelihatannya, maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?"

Allahu a’lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Budi Pekerti dalam Rimba Homo Digitalis Oleh: Al-Faiz MR Tarman, Dosen Universitas Muhammadiyah Kla....

Suara Muhammadiyah

18 June 2024

Wawasan

Refleksi Milad 59 dan Revitalisasi Fungsi Kokam Oleh: Badru Rohman, Kokam Sukoharjo Sejak awal ber....

Suara Muhammadiyah

2 October 2024

Wawasan

Against Zionist Narrative, Preventing The Next “Nakba” Mansurni Abadi  At dawn on....

Suara Muhammadiyah

16 October 2023

Wawasan

Muktamar IMM: Menyemai Pemimpin Masa Depan (Catatan Muktamar ke XX IMM di Palembang) Oleh:Abdul Gaf....

Suara Muhammadiyah

29 February 2024

Wawasan

Wanita sebagai Saksi: Perspektif Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universi....

Suara Muhammadiyah

14 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah