Kera dan Babi dalam Al-Qur'an: Hukuman Literal atau Metafora Perilaku?

Publish

5 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
76
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Mari kita telaah lebih dalam sebuah ayat Al-Qur'an yang kerap kali memicu kesalahpahaman. Fokus kita kali ini tertuju pada surah Al-Ma'idah [5], ayat 60 yang berbunyi: "Katakanlah (Muhammad), 'Maukah aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk balasannya di sisi Allah daripada orang-orang fasik itu? (Yaitu) orang-orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi, dan (mereka) menyembah thaghut.' Mereka itu lebih buruk kedudukannya dan lebih sesat jalannya (dari jalan yang benar)."

Di sinilah letak poin krusial yang menarik untuk kita bedah: frasa mengenai perubahan menjadi "kera dan babi." Tak jarang kita mendengar tafsir populer yang menyatakan bahwa Allah benar-benar mengubah kelompok orang tertentu menjadi hewan-hewan tersebut sebagai hukuman. Bahkan, ada pula ungkapan yang lebih ekstrem dengan menyebut sebagian orang sebagai "saudara kera dan babi," seolah-olah masih ada keterkaitan erat dengan mereka yang dikisahkan mengalami transformasi itu. Muncul pula pertanyaan menggelitik: mungkinkah keturunan dari kera dan babi "hasil transformasi" itu masih ada di sekitar kita?

Lantas, bagaimana kita memahami kisah transformasi ini? Sebuah hadits memberikan pencerahan bahwa mereka yang diubah wujudnya di masa lalu tidak meninggalkan keturunan. Artinya, fenomena tersebut terbatas pada generasi itu saja. 

Kendati demikian, penafsiran klasik justru memunculkan beragam spekulasi menarik di kalangan cendekiawan Muslim. Dalam konteks sosial mereka, wajar jika muncul pemikiran bahwa penyebutan "kera dan babi" mengindikasikan transformasi yang berbeda untuk individu yang berbeda. Sebagian menjadi kera, sebagian lagi menjadi babi, tidak keduanya sekaligus pada satu orang.

Lebih jauh lagi, diskusi berkembang mengenai nasib akal budi manusia pasca perubahan wujud. Muncul gagasan bahwa hewan-hewan "hasil transformasi" itu tetap memiliki kesadaran manusia agar hukuman tersebut bermakna. Logikanya, jika mereka hanya memiliki insting hewani, mereka takkan memahami bahwa mereka sedang dihukum. Alhasil, terbayanglah kondisi absurd, yaitu pikiran manusia yang terperangkap dalam tubuh kera atau babi.

Bagi nalar modern kita, konsep ini tentu terasa janggal. Meskipun mukjizat adalah keniscayaan dalam keyakinan, menerima tafsir literal ini sebagai sebuah fakta historis memerlukan keyakinan yang besar. Tak heran jika pandangan terbagi. Sebagian berpegang teguh pada makna harfiah firman Tuhan, sementara yang lain mempertanyakan apakah maksudnya sesungguhnya demikian.

Menariknya, keraguan terhadap interpretasi literal ini bukanlah fenomena baru. Jauh di masa lalu, Mujahid, seorang murid terkemuka Ibnu Abbas, telah mengemukakan pandangan alternatif. Pendapatnya tercatat dalam khazanah tafsir klasik, meskipun terkadang kurang mendapat penekanan. Beliau menawarkan perspektif yang mungkin melegakan bagi mereka yang kesulitan menerima makna harfiah ayat tersebut. Mujahid berpendapat bahwa transformasi itu bukanlah perubahan fisik menjadi kera dan babi, melainkan lebih kepada adopsi perilaku yang menyerupai hewan-hewan tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menggunakan perbandingan metaforis. Ketika kita mengatakan seseorang "makan seperti babi," kita tidak sungguh-sungguh menganggapnya sebagai seekor babi, melainkan menggambarkan kebiasaan makannya yang berlebihan. Begitu pula, julukan "babi" bisa merujuk pada perilaku yang dianggap kotor dan tidak bermoral, bukan identitas harfiah sebagai hewan.

Dengan demikian, ungkapan Allah mengubah sekelompok orang menjadi kera dan babi dapat dipahami sebagai metafora. Hukuman di sini bukan transformasi fisik, melainkan Allah menyebabkan mereka mengadopsi perilaku hina yang kita asosiasikan dengan kera dan babi. Analogi sederhananya, kita mungkin mencap seseorang "seperti kera" untuk menggambarkan tingkah lakunya yang buruk.

Oleh karena itu, menafsirkan ayat ini secara harfiah akan membebani akal, terutama bagi generasi muda Muslim. Terlalu jauh membayangkan detail transformasi fisik dan nasib keturunan mereka, apalagi merenungkan kemungkinan pikiran manusia terperangkap dalam tubuh hewan.

Kedua pendekatan interpretasi, literal dan metaforis, tetap valid. Sebagian akan teguh pada makna harfiah, sementara yang lain akan lebih nyaman dengan pemahaman metaforis. Namun, dari sudut pandang saya, interpretasi metaforis lebih bijaksana. Memaksakan pemahaman literal dapat menjadi penghalang bagi orang untuk menerima pesan Al-Qur'an, terutama bagi non-Muslim yang mungkin melihatnya sebagai kisah fantastis belaka.

Sebaliknya, jika kita menawarkan pemahaman metaforis, kita membebaskan diskusi dari perdebatan yang tidak perlu. Kita dapat fokus pada esensi ajaran Al-Qur'an yang lebih mendasar, yaitu tentang moralitas, etika, keesaan Tuhan, kehidupan setelah kematian, dan pertanggungjawaban atas perbuatan kita di dunia ini. Persis seperti pertanyaan retoris, mungkinkah pikiran manusia bersemayam dalam otak seekor babi? Interpretasi metaforis menghindari kebimbangan semacam itu dan membuka jalan bagi pemahaman yang lebih substansial.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Saeyag Sa Eka Praya Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon "Jika suatu umat memiliki nilai-....

Suara Muhammadiyah

1 October 2024

Wawasan

Muhammadiyah Bermuhasabah Oleh: Saidun Derani Menjelang tutup tahun 2023 dan memasuki tahun 2024 s....

Suara Muhammadiyah

30 December 2023

Wawasan

Umar Melarang Anaknya Dicalonkan Jadi Khalifah Oleh: Abdul Hafiz, Wakil Ketua PWM Bengkulu “....

Suara Muhammadiyah

13 February 2024

Wawasan

Sifat Cinta Orang Beriman Kepada Allah SWT Oleh: Rofiq Nurhadi, Dosen AIK Universitas Muhammadiyah ....

Suara Muhammadiyah

12 March 2025

Wawasan

Memakmurkan Masjid:  Karakter Terpuji Karyawan AUM Oleh: Amrozi Mufida Menurut Bahasa (Etimol....

Suara Muhammadiyah

7 September 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah