YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Keberadaan aktor menjadi hal yang amat penting bagi sebuah media cetak. Kahadiran aktor ini menjadi penting untuk menjamin eksistensi media dalam menghadapi berbagai tantangan. Tak terkecuali Suara Muhammadiyah yang hari ini telah mencapai usia 110 tahun (13/8).
Terkait dengan itu, Roni Tobroni yang merupakan dosen ilmu komunikasi Universitas Muhammadiyah Bandung (UMB) mengatakan, Suara Muhammadiyah (SM) sejatinya memiliki banyak aktor kuat yang terus menyokong eksistensinya sebagai media Islam berkemajuan. Sebut saja Kiai Fachrudin, Buya Hamka, Buya Ahmad Syafii Maarif, dan Prof. Dr. Haedar Nashir, yang semuanya memiliki tradisi literasi yang kuat melalui latar belakang mereka sebagai jurnalis Islam yang menggugah.
Di sepanjang kiprahnya, mereka tidak hanya berbicara soal kemuhammadiyahan dan keislaman, tapi juga menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan secara global.
“Mulai dari Kiai Fachrudin hingga Buya Hamka, kalau kita baca konten tulisannya, selalu membicarakan isu-isu global yang mencerahkan,” ucap Roni.
Muhammadiyah bersama Suara Muhammadiyah melalui tokoh-tokohnya terus menyampaikan pikiran kritis yang kontruktif kepada pemerintah. Menyampaikan dengan bahasa yang lugas namun bernas, dan dapat diterima oleh semua kalangan.
Octo Lampito, Pimpinan Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat menyampaikan apresiasinya atas peluncuran buku karya Roni Tabroni berjudul Media dan Islam Berkemajuan: Perjalanan dan Pemikiran Jurnalis Islam Lintas Generasi. Dalam bukunya tersebut Roni secara gamblang menerangkan bagaimana seharusnya seorang jurnalis memiliki rasa tanggung jawab, bersikap kritis, serta mampu menarasikan peristiwa secara relevan sesuai dengan keperluan zaman. Hal inilah yang menjadikan buku telisan Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah tersebut terasa aktual untuk dibaca.
“Buku ini memberi inspirasi lewat tokoh-tokoh jurnalis Islam yang sangat luar biasa,” tegas Octo kepada Suara Muhammadiyah.
Selain menginspirasi, Octo menambahkan bahwa Suara Muhammadiyah juga memiliki daya ubah di masyarakat. Salah satunya melalui gaya jurnalismenya yang menggugah serta memiliki garis nilai perjuangan yang jelas.
Isngadi Marwah Atmadja mengamini keempat sosok yang ditulis dalam buku sebagai tokoh penting jurnalisme Islam di Indonesia. Dua diantaranya pernah dipenjara dan tidak bersekolah. Dua lainnya bersekolah dan mencapai gelar tertinggi di dunia akademik.
Mencoba mengambil hikmah dari kenyataan keempat tokoh tersebut, Isngadi berpesan kepada anak muda untuk terus belajar dan menjadikan teladan dari setiap tokoh secara bijak.
Dalam hal menghadapi tantangan zaman yang terus berubah, Redaktur Pelaksana Suara Muhammadiyah mengatakan bahwa masa depan media cetak hari ini tidak sedang baik-baik saja. Media cetak mesti menghadapi ekosistem media sosial yang kumuh dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
“Maka sebetulnya, salah satu media yang tidak begitu kumuh adalah media cetak. Karena media cetak itu tidak bisa diralat,” ujarnya.
Untuk menggambarkan situasi tersebut, ia mengutip perkataan dari seorang ahli usul fikih yang lebih relevan dengan dunia media hari ini. Kaidah tersebut berbunyi, informasi apa pun yang didapatkan dari media sosial adalah dusta, kecuali jika Anda mendapatkan petunjuk yang mengatakan sebaliknya. (diko)