Oleh: Najmuddin Saifullah
اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَاخْتِلَافَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعـد
فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ. قَالَ الله تَعَالَى: يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلَاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa menjadi guru haruslah ikhlas. Berapa pun gaji yang ia terima tidak boleh dipermasalahkan karena membagikan ilmu harus dilandasi dengan keikhlasan. Lantas apakah konsep ikhlas memang seperti ini?
Menurut M Husnaini dalam buku “80 Pepeling Diri,” ikhlas bukan berarti menolak imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan. Menerima ataupun menolak imbalan tidak ada kaitannya dengan keikhlasan. Justru kalau ada orang yang menolak imbalan karena takut disangka tidak ikhlas, maka sejatinya ia tidak ikhlas dalam hal itu.
Ikhlas juga bukan memberi sedekah ala kadarnya. Jumlah sedekah yang banyak ataupun sedikit tidak ada hubungannya dengan keikhlasan. Justru kalau ada orang yang menambah jumlah sedekah disebabkan takut dikira tidak ikhlas, maka ia sebenarnya tidak ikhlas. Demikian juga orang yang pasrah menerima nasib yang kurang baik. Bersikap aktif ataupun pasif ketika menerima nasib yang kurang baik tidak ada hubungannya dengan ikhlas. Bahkan, kalau orang yang ditimpa musibah hanya berdiam diri pasrah tanpa melakukan apapun supaya terlihat ikhlas, berarti orang tersebut tidak ikhlas.
Jama’ah juma’t yang berbahagia
Ikhlas pada hakikatnya adalah melakukan sesuatu karena dan untuk Allah SwT semata. Apapun motifnya, apapun tujuannya, semua perbuatan harus bermuara kepada Allah SwT. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Insan ayat 9 tentang orang-orang yang memberi makan kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan ridha Allah, kami tidak mengharapkan balasan dan terima kasih dari kamu.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu yang kita berikan kepada orang lain, baik itu berupa materi ataupun jasa, harus dilandasi dengan mengharap ridha Allah SwT. Orang yang sejak awal memiliki tujuan melakukan sesuatu hanya karena Allah, maka ia telah menjadi orang yang ikhlas. Ketika sampai pada level tersebut ia tidak akan menghiraukan apapun yang terjadi setelahnya. Apakah ia akan mendapatkan balasan dari orang yang ia bantu atau tidak. Kondisi hatinya juga tidak akan berubah-ubah. Hatinya tidak menjadi senang ketika mendapat balasan, tidak juga bersedih ketika tidak mendapatkannya. Bahkan dalam ayat di atas, sebatas ucapan terima kasih pun tidak ia harapkan.
Hal ini menjelaskan bahwa upah/gaji yang didapatkan karena bekerja tidak ada hubungannya dengan keikhlasan. Apabila sejak awal bekerja dan meniatkannya karena Allah, maka ia sudah menjadi orang yang ikhlas. Adapun gaji yang diberikan memang sudah menjadi haknya karena telah mengerahkan waktu dan tenaga untuk bekerja. Sehingga, jumlah gaji yang diterima tidak bisa menjadi patokan untuk menilai keikhlasan seseorang.
Jama’ah jum’at yang berbahagia rahimakumullah
Keikhlasan juga menjadi landasan pokok untuk beribadah kepada Allah SwT. Kita tidak mungkin beribadah tanpa dibarengi dengan keikhlasan. Karena beribadah memang harus ditujukan hanya kepada Allah semata. Kalau kita beribadah tanpa dibarengi dengan rasa ikhlas, maka harus hati-hati karena bisa terjatuh dalam perbuatan syirik. Ibadah yang dilakukan supaya dilihat orang akan menjadi riya’ yang merupakan syirik kecil. Apalagi ibadah karena ditujukan kepada selain Allah, maka orang yang melakukannya telah jatuh kepada syirik dan itu merupakan dosa besar. Perintah beribadah dengan ikhlas terdapat dalam surat al-A’raf ayat 29:
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ
“Katakanlah, ‘Tuhanku menyuruhku untuk berlaku adil. Dan hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap shalat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula.”
Syaikh As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mengikhlaskan dalam ayat tersebut adalah beribadah dengan tujuan hanya kepada Allah semata, tidak ada tujuan lain. Juga dalam berdoa dan berharap sasarannya hanyalah kepada Allah SwT.
Jama’ah jum’at yang berbahagia
Pada akhirnya kita harus kembali memperbaiki niat kita dalam segala aspek perbuatan yang dilakukan. Baik kegiatan ibadah maupun kegiatan lainnya. Karena segala perbuatan yang kita lakukan akan bernilai sebagaimana yang kita niatkan. Sebagaimana dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda:
إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Amal itu tergantung dengan niatnya, dan bagi setiap orang balasannya sesuai dengan apa yang diniatkannya.”
Sehingga hanya perbuatan yang ditujukan kepada Allah saja lah yang bisa dikatakan sebagai keikhlasan.
بارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ الله الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ
Khutbah kedua
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيْئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Maasyiral muslimin rahimakumullah
Pada khutbah kedua ini, marilah kita berdoa kepada Allah SwT, agar kita senantiasa diberikan hidayah dan kekuatan untuk senantiasa berbuat baik dan istiqamah dalam menjalankan syariat Allah. Serta semua perbuatan yang kita lakukan semoga menjadi amalan yang ikhlas dan mendapat ridah Allah SwT.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ
اللّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ سَلاَمَة ًفِى الدِّيْنِ وَعَافِيَة ًفِى اْلجَسَدِ وَ زِيَادَةً فِى اْلعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الِّرزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ اْلمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Najmuddin Saifullah, SPd., MH, Anggota MTT PWM DIY dan Sekretaris Majelis Tabligh PCM Pakem