JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Mengubah ulang cara berpikir (rethinking) menjadi solusi untuk menangani kekerasan seksual yang dapat dimulai dengan memahami bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara, perempuan bukan menjadi sumber fitnah, dan merubah paradigma dari menyalahkan korban jadi mendukung korban. Hal ini disampaikan oleh Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag. M.Si. MA, Ph.D. saat mengisi Seminar Internasional di Aula Kasman Singodimedjo FISIP UMJ, Kamis (02/05/2024).
"Setelah rethinking, kita harus masuk dan melakukan program redesigning yang memperkuat kebijakan mendukung pencapaian SDGs dalam menghentikan kekerasan berbasis gender (GBV), membuat program dan kegiatan yang fokus pada pencegahan dan penanganan GBV. Selain itu, harus memperkuat keterlibatan seluruh pihak terkait termasuk tokoh agama dalam hal ini merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan, program dan kegiatan yang terkait terhadap kesetaraan dan keadilan gender serta pemenuhan hak reproduksi dan seksual, serta bekerja sama untuk implementasi undang-undang yang fokus pada pemenuhan kebutuhan hak perempuan," jelas Alimatul.
Rektor UMJ Prof. Dr. Ma'mun Murod, M.Si. mengatakan bahwa seminar yang berjudul Domestic Violence Policies and Practices in Indonesia and Australia tersebut menjadi agenda positif, karena dapat memberikan perbandingan dan pembelajaran antara kebijakan dan praktik kekerasan dalam rumah tangga di dua negara. Menurutnya salah satu dari masalah domestic violence (kekerasan dalam rumah tangga) di Indonesia adalah karena rendahnya penegakan hukum, bukan hanya pada faktor ekonomi dan politik saja.
"Domestic violence berkaitan juga dengan rendahnya level pendidikan di Indonesia. Perempuan menempati posisi yang cukup serius dan tinggi, Ini yang menyebabkan apabila terjadi kekerasan domestik, perempuan selalu dominan jadi korban. walaupun kita tahu ada laki-laki yang menjadi korban, tetapi presentasinya lebih kecil," ujar Ma'mun via daring.
Dekan FISIP UMJ Prof. Dr. Evi Satispi, M.Si., menuturkan bahwa domestic violence bisa terjadi kepada siapapun terutama pada perempuan dan anak-anak. "Saya berharap para peserta dapat mengetahui lebih jauh domestic violence dan lebih waspada terhadap lingkungan, karena Australia merupakan negara tetangga Indonesia yang dinilai memiliki peraturan dan praktik kekerasan dalam rumah tangga yang lebih maju," ucapnya.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko BPM dan Kebudayaan Republik Indonesia, Woro Srihastuti Sulityaningrum, ST., MDIS., memaparkan tentang Kebijakan Nasional dan Rencana Aksi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Menurutnya percepatan penurunan kekerasan tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan Pentahelix yaitu berbagai pelaku sudah memiliki tugasnya masing-masing seperti pemerintah, media, akademisi, bisnis, dan komunitas.
"Tantangannya yaitu lemahnya perlindungan terhadap korban. Oleh karena itu yang dapat kami lakukan adalah percepatan penyusunan peraturan dan mensinergikan antara pemerintah pusat serta pemerintah daerah," jelas Woro.
Professor Patrick O'Leary (Professor in the School of Health Sciences and Social Work, Griffith University) menyampaikan topik Domestic Violence in Australia: A Snapshot. Ia menjelaskan tentang keadaan di Australia bahwa domestic violence adalah isu sosial yang utama dan berbahaya, termasuk tingkat kekerasan dan dampaknya terhadap anak-anak. Kemudian mengenai bagaimana respons terhadap kebijakan, hukum, praktik, sosial dan penelitian tentang domestic violence.
Patrick mengatakan angka domestic violence bisa turun dengan langkah-langkah preventif yang mampu mengintervensi pelaku. Hal ini dapat dilakukan dengan intervensi inovatif berdasarkan nilai-nilai namun dibentuk oleh bukti, sanksi hukum, inisiatif berbasis komunitas, respons dari seluruh masyarakat untuk menciptakan norma-norma sosial, peran pengamat, pemerintah lokal, korporasi dan bisnis, hingga memanfaatkan teknologi sebagai alat intervensi dan pencegahan.
Professor Donna McAuliffe (Professor of Social Work and Academic Lead for the discipline in the School of Health Sciences Griffith University) menyampaikan mengenai Domestic violence and social work ethics and education: A reflection. Menurutnya para mahasiswa harus lebih terbuka pikirannya dan mampu memberikan dampak positif terhadap domestic violence yang terjadi di lingkungan sekitar. Hal ini karena mahasiswa memiliki integritas dan gairah yang kuat, serta memahami dengan baik keadilan sosial untuk membantu sesama dan para korban.
Dr. Amy Young (Research Fellow of the Disrupting Violence Beacon, Griffith University) membahas topik Domestic Violence: Perpetrator Interventions and Impacts on Children. Ia mengatakan bahwa respons layanan terpadu sangat penting untuk mengatasi domestic violence, hal ini dapat didukung dengan salah satu aplikasi yaitu Be There App.
Dosen FISIP UMJ sekaligus Praktisi Pekerja Sosial, Tuti Alawiyah, MSSW., Ph.D. memaparkan materi dengan topik Domestic Violence: Prevalence, Trend and Research Gaps in Indonesia. Menurutnya hasil Research Gaps dari 27 peer review artikel yang dianalisis dan diriset saat ini tema penelitiannya lebih fokus pada pengalaman perempuan, korban, dan berbagai jenis domestic violence hingga kurangnya penelitian terhadap pelaku/pelanggar dan rehabilitasi pelaku dan sebagian besar studi empiris dilakukan antara tahun 2010-2020.
Seminar Internasional FISIP UMJ dan Universitas Griffith turut dihadiri oleh Dr. Rini Fatma Kartika, S.Ag., MH. (Warek III UMJ), Dr. Septa Candra, SH. MH. (Warek IV UMJ), Prof. Dr. Evi Satispi, M.Si. (Dekan FISIP UMJ) dan jajaran, Endang Zakaria, MH. (Kepala KUI UMJ), Dr. Khaerul Umam Noer (Moderator).