SEMARANG, Suara Muhammadiyah - "Desa Menari Tanon Ngrawan" terpampang megah di antara gapura merah yang koko. Itulah gerbang masuk menuju Desa Wisata Tanon, Ngrawan, Kabupaten Semarang. Di kejauhan tampak pula menjulang gunung Telomoyo yang sejuk dan asri.
Trisno, seorang lulusan sarjana pertama di desanya telah memberikan sumbangsih berharga bagi Dusun Tanon, kampung halamannya itu. Meskipun mayoritas penduduknya berprofesi sebagai peternak dan petani, Trisno melihat potensi yang belum tersentuh dalam pariwisata. Dengan tekad kuat, ia meluncurkan inisiatif "Desa Menari", yang dikenal sebagai jenama dari Dusun Tanon.
Julukan desa Tanon menjadi Desa Menari awalnya merek (branding) dengan desa wisata, namun julukan itu kalah pamor dengan daerah lain yang kebetulan namanya sama, Tanon, sebuah kecamatan di kabupaten Sragen. "Sering sekali orang nyasar ke sana, kita berfikir bagaimana caranya agar orang penasaran datang ke sini," tutur lulusan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu. Maka Kang Tris, sapaan akrabnya, yang saat kuliah mengambil jurusan Sosiologi, belajar dan mencari identitas yang sangat lokal dan melekat: menari.
Melalui Desa Menari, para pengunjung disajikan dengan ragam kesenian lokal, termasuk penampilan dari berbagai jenis tarian tradisional seperti Tari Topeng Ayu, Kuda Debog, Kuda Kiprah, dan Warok Kreasi, yang dipersembahkan oleh penduduk dari berbagai usia di Dusun Tanon.
Kesenian tradisional terutama menari telah menjadi bagian dari warisan budaya di desa, diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Hal ini menyebabkan dalam satu rumah, sebuah keluarga dapat memiliki kemampuan menari dan memainkan alat musik gamelan.
Menari memiliki dua definisi, pertama menari karena secara turun temurun warga desa Tanon pelestari kesenian tari. "Menari identik dengan hobi kolektif atau aktivitas yang menyatukan warga masyarakat," ungkap Kang Tris.
Tetapi ada definisi kedua menari yang lebih luas. Yaitu akronim dari "Menebar Harmoni, Merajut Inspirasi, Menuai Memori." "Kita berharap orang yang datang ke sini bisa merasakan harmoni, jadi keselarasan," tambah Trisno. Keselarasan bukan hanya antar manusia, melainkan keselarasan dengan alam dan lingkungan.
Dusun Tanon tidak hanya berfokus pada pelestarian budaya semata, tetapi juga memberikan ruang khusus untuk kegiatan latihan menari dan praktik gamelan. Ruang terbuka ini diubah menjadi panggung besar di teras rumah Trisno. Panggung tersebut tidak hanya digunakan untuk latihan, tetapi juga sebagai tempat khusus bagi para penabuh gamelan untuk menampilkan karya mereka secara profesional.
Kang Tris mengakui bahwa menginspirasi para remaja untuk tertarik pada kesenian dan meninggalkan penggunaan gawai (gadget) bukanlah hal yang mudah. Proses meyakinkan warga setempat membutuhkan waktu sekitar lima tahun, dengan penolakan awal dari warga yang baru berhasil pada tahun 2012.
Dalam waktu tiga tahun, usaha pariwisata Trisno telah menghasilkan pendapatan sebesar Rp 250 juta, di samping pendapatan perorangan dari penjualan produk lokal. "Dengan banyaknya pekerjaan yang bisa dilakukan di Desa Wisata Tanon, saya berharap para pemuda tidak lagi menjadi buruh di tempat lain, tapi bisa bekerja di kampung sendiri," kata Trisno memotivasi.
Kang Tris memilih untuk tidak berhenti di situ. Dia percaya bahwa desa wisata di Dusun Tanon dapat terus berkembang. Saat ini, ia sedang merancang konsep wisata peternakan untuk memberikan lebih banyak kesempatan pekerjaan bagi pemuda setempat, sehingga mereka tidak perlu mencari pekerjaan di luar desa. Dengan cara ini, Trisno berharap untuk menciptakan ekosistem yang mendukung dan berdaya bagi penduduk lokal.
Di balik semangatnya untuk memperkenalkan kekayaan budaya lokal, Trisno juga telah menciptakan ruang bagi warga Dusun Tanon untuk mengasah bakat mereka dalam seni tari dan musik tradisional. Melalui panggung yang ia sulap dari teras rumahnya sendiri, masyarakat memiliki tempat khusus untuk melatih keterampilan mereka. Selain menjadi tempat latihan, panggung itu juga menjadi wadah bagi para seniman lokal untuk menampilkan karya mereka.
Dalam perjalanan panjangnya, Trisno telah berhasil mengubah pola pikir masyarakat setempat. Dengan kesabaran dan ketekunan, ia berhasil membujuk warga setempat untuk mengambil bagian dalam pengembangan pariwisata di Dusun Tanon. Kesuksesannya dalam membangun Desa Menari telah diberkati dengan penghargaan sebagai pengelola Kampung Berseri Astra (KBA) pertama di Jawa Tengah pada 2016.
Para lulusan dari Universitas Muhammadiyah, termasuk Trisno, menunjukkan bahwa mereka tidak anti budaya. Sebaliknya, mereka melihat budaya sebagai peluang penting untuk menyampaikan pesan dakwah.
Trisno sendiri telah menunjukkan betapa pentingnya melestarikan kesenian tradisional dan memanfaatkannya sebagai alat untuk mempromosikan nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal. Dengan demikian, ia tidak hanya menghidupkan kembali budaya di Dusun Tanon, tetapi juga mendorong semangat keagamaan dan moralitas yang kuat di antara warga desa.
Dengan semangatnya yang menginspirasi, Trisno percaya bahwa Dusun Tanon akan terus menjadi destinasi yang menawarkan harmoni antara budaya lokal dan kesadaran spiritual. Di tengah kepenatan kehidupan perkotaan, ia melihat Dusun Tanon sebagai tempat di mana seseorang dapat menemukan kedamaian dan harmoni yang sejati, sambil tetap terhubung dengan kearifan lokal yang kaya. Trisno menjadi teladan bagi generasi muda serta memberikan harapan bagi masa depan yang lebih cerah bagi komunitasnya. (Riz)