YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengajak umat Islam untuk memaknai Idul Adha. Menurutnya, Idul Adha sering disebut Idul Kurban, merupakan bagian vital dari ibadah kaum Muslimin yang memuat ibadah menyembelih hewan kurban.
“Bagi kaum Muslimin, Idul Adha dan berkurban merupakan perintah Allah yang murni ibadah. Yakni sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan syariat, menjauhi larangan-Nya dan menjalankan apa yang menjadi izin Allah dalam kehidupan,” katanya, Kamis (5/6) dalam Refleksi Idul Adha.
Haedar menyebut, tujuan dari Idul Adha sekaligus Idul Kurban, sebagai bentuk dari meningkatkan dan ritual ibadah untuk meraih meraih ketakwaan.
“Hidupnya senantiasa religius, saleh, dan memancarkan serba kebaikan dalam kehidupan. Hidupnya senantiasa merasa diawasi dan dekat dengan Allah. Dia akan senantiasa menjalankan apa yang serba baik dan menjauhi apa yang dilarang-Nya,” tegasnya.
Dengan ibadah kurban, sebagaimana dipercontohkan oleh Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail, mengajarkan jiwa berkorban bagi peraihan ketakwaan. Melalui kisah ini, seorang ayah dan ibu merelakan melepaskan putranya demi memenuhi syariat Allah (disembelih), tapi pada akhirnya diganti dengan hewan kurban.
“Itu menunjukkan jiwa ketakwaan yang tertinggi. Maknanya siapa pun ketika dirinya memiliki jiwa takwa, maka dia rela berkorban untuk segala hal yang bermakna dalam kehidupan demi meraih rida dan anugerah Allah,” ujarnya.
ibadah kurban, lanjut Haedar, telah mengajarkan umat Islam untuk melepas apa yang dimiliki. “Sejatinya mereka yang berkurban sudah terbebaskan jiwa, hati, pikiran, rasa, dan segala apa yang Ia miliki lillahi ta’ala untuk meraih ridha dan karunia Allah SwT,” sebutnya.
Kurban juga mengajarkan pentingnya berbagi, alih-alih kegemaran menumpuk-numpuk harta. Muslimin yang sungguh-sungguh menghayati ibadah ini akan memafhumi, sejatinya mereka yang berkurban sudah terbebaskan jiwa, hati, dan pikirannya dari belenggu pernak-pernik duniawi yang meninabobokan setiap diri.
"Segala apa yang ia miliki (menjadi) lillahi ta’ala, untuk meraih ridha dan karunia Allah SwT," jelasnya.
Di sinilah setiap orang beriman di mana pun posisi dan berada, saat berkurban maupun tidak berkurban, mengkoreksi diri apakah termasuk orang beriman tetapi tak pernah puas dalam kehidupan, lalu menjadi insan yang serakah, tamak, takabur, dan penuh ambisi yang melampaui batas lalu lupa akan kebenaran, kebaikan, dan nilai-nilai luhur dalam fondasi ketakwaan.
“Lepas segala kepentingan demi kebenaran, kebaikan, dan keluhuran, dan untuk kemaslahatan hidup orang banyak. Jika itu bisa dipenuhi, maka berkurban berarti telah membebaskan kita dari segala pesona duniawi itu untuk hidup yang cukup dan moderat tetapi membawa kemaslahatan duniawi dan ukhrawi,” tandasnya. (Cris)